Paradoks Hari Pahlawan
Oleh: Anita Sya’ban (Anggota Lisma Bali)
Bulan November indentik dengan bulan pahlawan. Jatuh pada tanggal 10 pada bulan ini. Peringatan ini biasa dilakukan untuk mengenang jasa dan memberi semangat juang selayaknya yang telah dilakukan para pahlawan. Namun apakah demikian nyatanya. Pada keadaan saat ini justru semakin nampak kerusakan yang terpampang jelas. Sebagai contoh didalam keluarga, orangtua adalah yang paling mungkin diharapkan sebagai pahlawan keluarga khususnya ayah.
Pada faktanya justru tidak, pada awal November ini diberitakan bahwa, seorang pria berinisial RN di RT 003 RW 008 Kelurahan Jatijajar, Tapos, Depok diduga membunuh anaknya berinisial KPC yang berusia 13 tahun pada Selasa (1/11/2022) pagi. Pelaku juga diduga menganiaya istrinya NI hingga kritis (m.republika.co.id). Berita yang sangat menggemparkan. Bapak yang tega membunuh anak kandung dan istrinya.
Peranan ayah dalam hal ini sebagai qawwam telah sirna terkikis oleh kehidupan semu. Istilah lainnya dunia tipu – tipu, yang mana kehidupan model ini berkembang dan tumbuh subur di era sekuler seperti saat ini. Seharusnya peran ayah bisa menjadi pahlawan didalam keluarga. Tapi lagi-lagi tidak. Disebabkan kebahagiannya semu yang dinilai dari status finansial atau kekayaan semata. Justru kenyataannya, menimbulkan kerusakan yang sangat masif.
Tiada lagi kedamaian dan keharmonisan dalam keluarga. Orang tua sibuk mencari harta sehingga melupakan perannya sebagai pendidik anak yang pertama dan utama. Apalagi mengenal agama, mungkin dicukupkan hanya sebatas pada menyerahkan tanggung jawab mengajar mengaji pada lembaga semisal TPQ. Itupun sudah dapat dikatakan baik.
Tapi peranan sebagai penanggung jawab mendidik agama tidak hanya sebatas itu. Perlu dan wajib menambah tsaqafah Islam sebagai bekal melanjutkan kehidupan.
Pengemban amanah sebagai orang tua sejatinya melimpahkan kasih sayang pada anak. Tatacara mendidik anak sebagaimana yang Rasulullah saw contohkan.
Memberi perlindungan serta senantiasa memberi contoh teladan agar mudah bagi anak untuk mengikuti apa yang biasa dilakukan orangtuanya. Tidak akan Allah pertanyakan harta apa yang akan ditinggalkan Tapi lebih kepada pendidikan agama seperti apa yang orang tua bekalkan pada buah hati mereka.
Apalagi melihat fenomena film–film yang menjadi tontonan harian mereka.
Anak–anak sedari dini sudah dikenalkan pada superhero fiktif. Sebut saja Kapten Amerika, Superman dan Batman yang memang hanya karangan semata. Begitu mudah untuk dikenali dan sangat digandrungi oleh mereka.
Sedangkan sangat sedikit dari mereka yang mengenal superhero nyata sekelas Khalid bin Wahid atau Sultan Muhammad al-Fatih misalnya. Bahkan bisa jadi bagi mereka, adalah superhero khayalan. Hal tersebut terjadi karena tak kenal maka tak sayang. Disebabkan tidak pernah dikenalkan pada mereka. Sehingga terasa jauhnya padahal itulah pahlawan sesungguhnya yang patut untuk ditiru.
Bagaimana ketakwaan, semangat pantang menyerah, terus-menerus mendekatkan diri pada Allah Ta’ala menjadi sejata mereka, berharap hanya pada RidhoNya dan memperoleh bantuanNya sehingga Allah ijinkan mencapai cita-citanya dan tujuannya.
Dengan hal tersebut maka semangat untuk berjuang pada diri anak-anak akan tumbuh dan terus terasah sampai akhirnya mereka dewasa dan menjadi “pahlawan” setidaknya untuk diri mereka sendiri dengan karakteristik muslim yg kuat. Dimana karakter itu merupakan modal dalam mewujudkan generasi emas penerus dan pelanjut kehidupan Islam.
Wallahu’alam bishowab.
Posting Komentar