Gurita Korupsi Di Lembaga Peradilan Bukti Rusaknya Sistem Hukum Negeri Ini
Oleh: Ummu Almira
Tersangka kasus suap kepengurusan perkara di Mahkamah Agung hakim Yustisial (Panitera pengganti MA) EW ditetapkan sebagai tersangka ke 14 oleh KPK. EW dikawal petugas untuk dilakukan penahanan di gedung merah putih KPK Jakarta pada Senin (19-12-2022).
Ironis memang, yang seharusnya penegak hukum yang seharusnya menjadi tempat untuk mencari keadilan malah terjerat hukum. Dan fakta ini semakin membuktikan rusaknya hukum di Negeri ini dengan kasus korupsi yang semakin merajalela dan menggurita.
Terlebih lagi tentang anggapan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang semakin merusak citra bangsa ini. Dan anggapan ini datang dari kordinator bidang kementerian dan investasi Luhut Binsar Panjaitan. Bahkan Luhut tidak ingin KPK lebih sering melakukan OTT dan lebih bersikap toleran.
Namun pernyataan tersebut malah mencederai kepercayaan rakyat dan menyakiti para anggota KPK tersebut. Dan sumber dari semua masalah ini adalah diterapkannya sistem politik demokrasi sekuler dan dengan biaya yang tinggi.
Belum lagi politik demokrasi sekuler yang tidak terikat dengan aturan agama. Dan kedaulatan hukum yang ada di tangan manusia. Hasilnya hukum dalam sistem ini bisa diotak-atik sesuai dengan kepentingan pihak tertentu.
Untuk mendapatkan jabatan politik misalnya, Disini para calon membutuhkan proses yang panjang dan biaya yang begitu mahal. Kondisi membuka celah kongkalikong antara pihak yang berkepentingan. Ini sangat jelas uang menjadi pelicin dalam hal ini.
Seperti pernyataan seorang mantan hakim agung yang menyatakan celah korupsi itu bisa terjadi saat seorang hakim mendapat promosi atau mutasi. Realita ini membuat pemberantasan korupsi laksana mimpi, ini karena berbagai pemblaan terhadap para koruptor.
Kasus korupsi bukan sekedar karena individu pejabat yang Amoral dan tidak amanah. Namun nyatanya korupsi terjadi diterapkan sistem batil yakni sekuler demokrasi yang memang menyuburkan praktik korupsi.
Ini semua jauh berbeda apabila dibandingkan dengan sistem Islam. Praktik korupsi tidak akan menjadi penyakit kronis yang dapat merusak tubuh pemerintahan seperti dalam sistem sekuler demokrasi. Ini disebabkan Islam memiliki cara pandang yang khas pada setiap masalah.
Dalam pandangan Islam korupsi adalah kejahatan, korupsi adalah perbuatan khianat dan orang yang berkhianat disebut khaa'in. Islam memiliki sanksi uqubat untuk para koruptor yakni ta'zir. Yaitu sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Berat atau ringannya sanksi ta'zir akan disesuaikan dengan tingkat dan level kejahatannya.
Misalnya untuk sanksi yang paling ringan bisa berupa nasihat atau teguran dari hakim, bisa juga berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik atau media massa, hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas adalah hukuman mati, dengan cara digantung atau dipancung.
Tentu sanksi ini tidak asal dibuat. Karena sanksi uqubat bisa memberi efek jawabir dan zawajir. Yakni efek jawabir sebagai penebus dosa bagi pelaku kelak di akhirat. Sedangkan efek zawajir berfungsi sebagai pencegah. Dengan ini pelaku akan merasa jera dan masyarakat merasa ngeri dengan sanksi yang diberikan.
Namun begitu, sanksi uqubat dilakukan sebagai jalan terakhir. Sebagai bentuk hukuman kepada para pelaku.
Allah SWT berfirman.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءُ بِمَا كَسَبَا نَكَلًا مِّنَ اللَّهِ وَاللَّهُ قلے عَزِيزٌ حَكِيمٌ )
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana (al-maidah 38).
Dalam pemerintahan Islam wajib merekrut pegawai negara dengan asas profesionalitas dan integritas. Bukan berasaskan koneksi atau nepotisme. Negara wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Negara wajib memberi gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya.
Rasulullah shalallahu alayhi wasallam bersabda:
Siapa saja yang bekerja untuk kami , tapi tak punya rumah hendaklah ia mengambil rumah, jika tidak memiliki istri hendaklah ia menikah, jika tidak memiliki pembantu atau kendaraan hendaklah ia mengambil pembantu atau kendaraan (HR. Ahmad).
Islam juga melarang aparat negara menerima hadiah atau suap.
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kekufuran (HR. Ahmad).
Sudah saatnya kita kembali kepada sistem Islam. Karena hanya Islam satu-satunya solusi yang dapat menuntaskan masalah korupsi di negeri ini.
Wallahu a'lam bishawwab.
Posting Komentar