Harga Pangan Melambung Di Akhir Tahun, Dimana Peran Negara?
Oleh: Iva Fahri (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Seperti tahun-tahun sebelumnya, jelang natal dan tahun baru, sejumlah bahan pokok naik pasti naik. Bahkan kompak naik tiga minggu jelang Natal dan tahun baru.
Kenaikan paling nyata terlihat nyata pada cabai rawit. Dilansir dari cnnindonesia.com (12/12/2022), pusat informasi harga pangan strategis (PIHPS), menyebutkan rata- rata harga cabai pada awal pekan ini bertengker RP 51.850 per kg, naik dibanding awal pekan lalu yang RP 48.250 per kg. Di jakarta bahkan, harga cabai rawit tembus Rp 56.650 per kg, sementara di maluku harga cabai rawit tembus 100.350 per kg.
Tak hanya harga cabai rawit, kenaikan juga di alami beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam, bawang merah, bawang putih dan cabai merah. Untuk beras, harga naik dari Rp12.400 jadi Rp12.500 per kg untuk daging ayam, harga naik dari Rp35.200 jadi Rp35.800 per kg. Daging sapi naik dari Rp133.550 menjadi 133.800 per kg. Untuk telur ayam, harga naik dari Rp30.450 jadi Rp31.150 per kg. Untuk bawang merah harga naik dari Rp37.900 menjadi Rp38.100 per kg. Sementara itu untuk cabai merah, harga naik dari Rp37.700 menjadi Rp 38.950 per kg.
Naiknya harga bahan pokok jelang natal dan tahun baru, ataupun perayaan hari besar yang lain, seolah bukan menjadi hal yang baru bagi masyarakat. Hal ini dikarenakan permintaan akan bahan pokok ini meningkat. Potensi kenaikannya bahkan menjadi peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk menimbun barang sebelumnya dan menjualnya kembali saat permintaan pasar tinggi.
Hal ini seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah dengan menjamin ketersediaan barang serta mengatur pemerataan distribusinya ke berbagai tempat. Sehingga lonjakan harga yang biasa terjadi bisa diantisipasi sebelumnya. Seharusnya pemerintah bisa lebih tegas dalam mengawasi distribusi barang, serta oknum-oknum yang sengaja menimbun barang, tidak hanya penyiataan atau pencabutan ijin usaha. Karena mereka dari kalangan bawah pasti merasakan beratnya kenaikan harga-harga tersebut.
Sebenarnya, gejolak kenaikan harga pangan ini adalah Inilah buah sistem ekonomi kapitalisme. Sistem inilah yang menjadikan peran negara sangat minim dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Akibatnya kebijakan yang dihasilkan seringkali tidak pro rakyat, dan cenderung berpihak pada korporasi. Sehingga wajar saja problem pangan tidak pernah berkesudahan, lantaran negara hanya memposisikan diri sebagai regulator, sedangkan operatornya adalah para korporasi. Hal inilah yang menyebabkan terciptanya kapitalisme korporasi pangan yang semakin menggurita dan tak terkendali.
Kondisi ini tentunya beda jauh dengan sistem Islam. Negara dalam Islam adalah sebagai pengatur urusan umat, bukan sekedar regulator yang memfasilitasi korporasi berjual beli dengan rakyat. Pemerintah wajib menjamin terpenuhnya seluruh kebutuhan umat termasuk pangan. Dalam islam peran distribusi ada ditangan pemerintah, bukan korporasi. Jika ada individu-individu yang membutuhkan pangan dan tidak mampu mengaksesnya karna miskin dan tidak mampu bekerja, maka negara akan hadir menjamin seluruh kebutuhan pokok mulai dari, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan semua dijamin oleh negara.
Selain itu negara wajib memastikan mekanisme pasar berjalan sesuai dengan syariat. Sehingga tidak ada satupun rakyat yang tidak mampu membeli kebutuhan pangan sehari-harinya. Negara wajib menjaga rantai tata niaga yaitu mencegah dan menghilangkan distorsi pasar, seperti melarang penimbunan, melarang riba, melarang praktik tengkulak, kartel dan sebagainya. Sebab Islam telah memerintahkan negara untuk menjaga terealisasinya perdagangan yang sehat. (Wallahu alam bishawab).
Posting Komentar