Mekanisme Pasar Terjaga, Harga Stabil
Oleh: Yeni Ummu Athifa (Muslimah Peduli Negeri)
Kisah sendu si minyak goreng ‘Minyakita’ belum berakhir juga. Minyak goreng rakyat dengan kemasan sederhana ini masih menimbulkan momok di tengah masyarakat. Bagaimana tidak? Harganya kian meningkat akhir-akhir ini.
Padahal minyakita ini diklaim oleh Pemerintah sebagai solusi atas tingginya harga minyak goreng bagi rakyat kecil. Sebagaimana pertama sekali diluncurkan ke pasar secara resmi oleh Pemerintah pada tanggal 6 juli 2022 yang lalu, melalui Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan bersama Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga ini, di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta. Namun ternyata berjalan tidak sesuai dengan harapan.
Bukan saja harganya yang semakin menanjak, tidak sesuai HET yang Pemerintah tetapkan, namun juga sistem pembeliannya yang terkesan rumit. Jika dulu pada awal peluncurannya, pembelian minyak goreng ini harus menunjukkan peduli lindungi. Kini pembelian minyak goreng rakyat ini bukan hanya di batasi namun Minyakita juga dijual bersyarat atau dengan sistem bundling. Artinya, pedagang yang ingin membeli Minyakita dari distributor/agen harus membeli produk minyak lainnya juga.
Hal ini membuat para pedagang tidak membeli langsung ke distributor/agen tapi justru dari pihak ketiga. Tentu saja, harganya menjadi lebih mahal. Wajar, kalau penjualan ke masyarakat lebih tinggi di atas harga HET yakni Rp 14.000. Mereka menjualnya dengan harga Rp 15.000 bahkan Rp. 16.000 per liter.
Jika dijual sesuai HET berarti pedagang akan merugi. Seperti keluhan yang disampaikan oleh pedagang sembako di pasar, via dan Andika, di mana selisih harga dari tangan ketiga dibandingkan beli langsung ke agen bisa mencapai Rp. 10.000 per dus. (www.Idxchannel.com, 29/05/2023)
Naiknya harga minyak goreng memang bukan kali ini saja dan banyak faktor disinyalir menjadi penyebabnya. Dari mulai naiknya harga bahan baku yaitu kelapa sawit, terjadinya kelangkaan minyak goreng di pasar akibat permainan oknum, maupun distribusi yang tidak berjalan sesuai aturannya seperti saat ini.
Dan ini tidak aneh jika terjadi demikian, menilik sistem ekonomi yang di terapkan saat ini adalah sistem ekonomi Kapitalisme. Dengan prinsip dasar mengeluarkan modal sekecil mungkin untuk memperoleh keuntungan sebesar-sebesarnya. Berbagai upaya akan dilakukan walau itu menzalimi yang lain, bahkan perputaran ekonomi bisa diatur/dimonopoli oleh pemilik modal besar demi memperkaya diri.
Mirisnya, negara terkesan membiarkan. Lihat saja, apa hubungannya ketika minyak kelapa sawit (CPO) internasional mahal, maka harga minyak goreng dalam negeri juga mahal. Padahal negeri ini merupakan salah satu satu penghasil crude palm oil (CPO) terbesar di dunia. Harusnya produsen CPO lebih mengutamakan kebutuhan dalam negeri bukan malah mengekspor demi keuntungan pribadi semata.
Belum lagi ulah para pengusaha yang menimbun minyak goreng ini. Mereka menahan stok dalam masa tertentu, akibatnya terjadi kelangkaan minyak goreng di pasar, sehingga harga pun meningkat. Lagi-lagi demi keuntungan pribadi semata.
Parahnya lagi, pengusaha/distributor juga membuat aturan yang ikut memberatkan masyarakat seperti pembatasan quota dan Buildling dalam pembelian minyak goreng. Wajar menimbulkan berbagai masalah dalam distribusi pada masyarakat seperti saat ini.
Menyingkapi apa yang terjadi terhadap distribusi minyak goreng “minyakita” menunjukkan bahwa negara gagal menjaga kestabilan Harga padahal minyak goreng merupakan salah satu bahan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Bukannya pantas kita berpikir, jika ada yang salah dalam sistem pengaturan maupun regulasi Distribusi bahan pangan khususnya minyak goreng ini. Di sisi lain negara juga lemah dari segi pengontrolan terhadap sistem distribusi ini. Ditambah lagi tidak tegas juga dalam sistem hukuman/sanksi ketika terdapat kecurangan di tengah masyarakat. Hingga kecurangan berulang kembali, tidak membuat pelaku jera karenanya.
Islam Mengatur
Bandingkan bagaimana Sistem Islam di bawah naungan negara Khilafah menjaga kestabilan harga di tengah masyarakat. Karena Islam memiliki sistem ekonomi yang khas, berangkat dari keimanan, yang pengaturannya berdasarkan dalil syariah baik alquran, hadist, qiyas maupun ijma sahabat.
Ekonomi Islam adalah ekonomi yang rill. Di mana pasar sangat berperan dalam menjalankan perputaran ekonomi masyarakat. Wajar, kalau Islam sangat memperhatikan mekanisme pasar berjalan secara baik, artinya para pelaku ekonomi di biarkan menjalankan peran dan fungsinya masing-masing tanpa ada saling mencurangi sehingga terbentuk keseimbangan pasar secara alamiah, bahkan tanpa perlu intervensi dari negara.
Namun demikian negara tidak berlepas tangan, senantiasa mengawasi/mengontrol jalannya mekanisme pasar. Hal ini terlihat saat Syariah menetapkan Qadhi di pasar (Qadhi Hisbah), yaitu hakim yang senantiasa mengawasi berjalannya mekanisme pasar sesuai dengan syariat. Sungguh Jika keberadaan Qadhi ini kembali di terapkan Maka tidak akan ada yang namanya monopoli, penimbunan, penipuan dan perbuatan curang lainnya, karena qadhi akan memberikan sanksi yang tegas bagi pelakunya.
Bahkan pada masa rasulullah, rasul sendiri yang berkeliling untuk mengontrol kegiatan di pasar. Ketika pada saat itu beliau menemukan kecurangan penjual kurma, di mana kurma yang basah di sembunyikan di bawah kurma kering. Beliau langsung menegurnya, hingga terjadi dialog dan beliaupun meluruskan kejadian ini, Kemudian beliau bersabda,
“Barang siapa di antara kalian yang melakukan kecurangan dan penipuan, maka dia tidak termasuk dalam golongan kami” (HR Muslim).
Sementara jika pasar kekurangan stok/terjadi ketidak seimbangan barang di pasar maka negara tidak akan berdiam diri. Karena Negara akan mendatangkan barang yang dibutuhkan oleh masyarakat baik dari daerah lain maupun dari negara luar.
Demikianlah dalam sistem Islam, negara berperan menjaga keseimbangan mekanisme pasar sehingga harga produk/barang akan stabil. Namun yang pasti, sistem ekonomi Islam ini tidak akan berjalan sempurna tanpa penerapan Islam secara kafah oleh negara Daulah Khilafah, yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Khalifah lah sebagai sebagai penanggung jawab dalam mengurusi dan memastikan segala kebutuhan umat terpenuhi.
الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِه
“Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus “(HR al-Bukhari dan Ahmad). (Waliahu A’lam Bi Shawwab).
Posting Komentar