Pencabutan Izin Perguruan Tinggi, Akankah Pendidikan Lebih Baik?
Oleh: Rut Sri Wahyuningsih (Institut Literasi dan Peradaban)
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengaku, sebanyak 23 perguruan tinggi swasta (PTS) dicabut izin operasionalnya atau ditutup. Menurut Plt. Dirjen Diktiristek Kemendikbud Ristek Prof. Nizam, kampus yang ditutup karena melakukan pelanggaran berat Mulai dari jual beli ijazah kepada mereka yang tidak berhak/tanpa proses belajar mengajar, manipulasi data mahasiswa, pembelajaran fiktif, penyalahgunaan KIP Kuliah, dan lainnya (Kompas.com, 30/5/2023).
Nizam mengatakan, bagi mahasiswa, dosen dan tenaga pendidik yang terdampak karena pencabutan izin operasional, maka akan dibantu untuk dipindahkan ke perguruan tinggi lainnya lewat Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) selama ada bukti pembelajaran yang otentik.
Direktur Kelembagaan Diktiristek Kemendikbud Ristek, Dr. Lukman mengatakan, setiap perguruan tinggi harus patuh pada Permendikbudristek No. 7 tahun 2020. Permendikbudristek ini mengatur tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Bila tidak patuh, kata dia, akan dikenakan sanksi ringan, sedang, berat sampai pada pencabutan izin operasional. "Tahapan pemberikan sanksi dilakukan secara berjenjang untuk sanksi ringan ada di LLDikti."
Dan ternyata terdapat hanya 1 dari 10 pemuda di dalam negeri yang mampu menamatkan pendidikan hingga bangku kuliah setiap tahunnya. Berdasarkan wilayahnya, pemuda di Yogyakarta paling banyak menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi nasional, yakni 17,12%. Berikutnya Bali, sebesar 17,03%. Papua menjadi provinsi dengan persentase pemuda yang menamatkan pendidikan hingga perguruan tinggi paling rendah secara nasional, yakni 7,15%. Posisinya diikuti Lampung dan Kalimantan Barat dengan persentase berturut-turut sebesar 7,93% dan 8,95% (dataindonesia.id, 29/9/2022).
Deputi Menteri Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Pendidikan Dan Moderasi Beragama, Kemenko PMK Prof Dr R Agus Sartono, MBA mengatakan, dari data Kemenko PMK tahun 2021, hanya 1,8 juta lulusan SMA yang bisa meneruskan kuliah ke perguruan tinggi. Hal ini karena kondisi keterbatasan ekonomi atau keterbatasan bangku kuliah. Sebab pada akhirnya, lulusan SMA yang kurang beruntung tersebut akhirnya masuk ke lapangan kerja tanpa memiliki bekal keterampilan yang maksimal. "Dan para lulusan sekolah menengah yang masuk lapangan kerja itu, terpaksa harus bersaing dengan lulusan perguruan tinggi. Ini berlangsung hampir setiap tahun," papar Agus (detik.cok, 29/6/2021).
Angka-angka di atas diambil di tahun 2021, yang pastinya hingga hari ini belum terselesaikan secara tuntas, dari angka mahasiswa yang berhasil menyelesaikan kuliah, lulusan SMA dan SMK atau sederajat yang tidak terserap Perguruan tinggi, minimnya jumlah perguruan tinggi hingga tingginya biaya pendidikan di negeri ini. Jika kemudian ada 23 perguruan tinggi yang dicabut izinnya jelas menjadi bencana luar biasa dalam dunia pendidikan kita. Belum lagi dengan mutu pendidikan kita yang rendah, hingga viral lulusan UI kalah dengan lulusan STM saat melamar kerja di PT PAL. Lantas, benarkah dengan dicabutnya izin operasional perguruan tinggi itu akan memperbaiki mutu pendidikan bahkan menjadi solusi bagi persoalan dunia pendidikan hari ini?
Pencabutan Ijin Perguruan Tinggi Bukti Nyata Pendidikan Dikapitalisasi
Pencabutan izin operasional perguruan tinggi terjadi karena tidak memenuhi ketentuan standar pendidikan tinggi, juga karena melaksanakan praktik terlarang, seperti pembelajaran fiktif, jual beli ijazah, dan penyimpangan beasiswa KIP Kuliah. Miris, karena praktek-praktek tersebut justru mencederai tujuan pendidikan itu sendiri. Ibarat pepatah, senjata makan tuan, aturan yang sudah ditetapkan ternyata tak bisa diterapkan oleh sebagian besar perguruan tinggi karena menciptakan celah bagi oknum di dunia pendidikan itu sendiri.
Inilah bukti adanya kapitalisasi pendidikan, upaya menutup izin perguruan tinggi ibarat api jauh dari api, hanya menyelesaikan persoalan dari permukaan saja. Akar persoalannya tak tersentuh. Kapitalisme meniscayakan seseorang menjadi tamak dengan berbagai kepentingan. Salah satunya menciptakan korupsi menjadi budaya, kebutuhan akan perguruan tinggi masih tinggi, dan sayangnya negara tidak mampu menyediakan, maka tak ayal, jika bukan perguruan tinggi negeri itu yang menciptakan berbagai mekanisme " memudahkan" jalur penerimaan mahasiswa baru ya swasta yang kemudian justru mengkapitalisasi.
Berbagai kebijakan diketok pemerintah, namun tetap saja posisi pemerintah hanya sebagai regulator kebijakan, yang memberikan karpet merah kepada para pemilik modal yang berusaha di bidang pendidikan ini. Persaingan harga yang makin memperlihatkan seoalah semakin mahal biaya maka kualitas juga semakin bagus meracuni para orangtua dan para stackholder untuk terus menghias pendidikan sebagaimana persepsi liar yang beredar. Padahal, tidak ada dalam sejarah bahwa pendidikan mahal dan terlihat wah adalah penjamin satu-satunya kesuksesan lahirnya generasi terbaik.
Islam: Sistem Pendidikan Handal dan Berkualitas
Kapitalisme justru menghambat hak-hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan terbaik, samasekali tak layak untuk dipertahankan. Maka, saatnya kita beralih pada Islam. Yang bukan hanya bicara dan mengatur akidah, tapi juga memberi solusi tuntas bagi semua persoalan manusia, salah satunya pendidikan, dengan sistem yang berasal dari wahyu Allah Swt.
Islam memiliki sistem penddikan yang handal dan berkualitas tinggi serta murah bahkan gratis. Hal ini karena didukung penuh oleh sistem ekonomi dan politik Islam yang berorientasi penuh melayani rakyat dan berasaskan akidah Islam. Rasulullah Saw bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Maka, wajib bagi negara untuk mengurusi urusan rakyat sepenuhnya. Tanpa melibatkan swasta atau asing.
Kebutuhan pokok rakyat adalah sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan. Haram hukumnya negara hanya setengah-setengah mengurusinya. Yang pertama harus dijamin adalah ketersediaan lapangan pekerjaan yang cukup bagi setiap laki-laki baligh agar mereka mampu menafkahi keluarga dan orang-orang yang berada dalam tanggungjawab mereka. Jelas ini harus dengan penerapan ekonomi Islam , bukan sekadar embel-embel syariat namun masih bersandar kepada kapitalis atau pemilik modal asing.
Ekonomi Islam yang shahih, mensyaratkan adanya pembagian kepemilikan dalam pengelolaan SDA, yaitu kepemilikan individu, negara dan umum. Ketiganya akan dikumpulkan di kas negara, Baitul mal, yang nantinya digunakan sebagai pembiayaan langsung maupun tak langsung kebutuhan rakyat dan kewajiban negara. Kepemilikan individu yang masuk Baitul mal berasal dari harta zakat, infak dan shadaqah. Dimana syariat telah menetapkannya untuk delapan asnaf.
Sedang kepemilikan negara dan umum inilah yang kemudian diperuntukkan bagi kaum Muslim secara keseluruhan. Baik itu berupa zatnya seperti misalnya BBM, dan berupa pembangunan infrastruktur umum, baik untuk akomodasi, pendidikan, kesehatan dan yang lainnya. Di sinilah yang kemudian memunculkan lowongan pekerjaan yang banyak bagi rakyat, jika rakyat bekerja dengan mudah, maka kesejahteraan keluarga akan tercapai, ditambah dengan jaminan negara atas kebutuhan kolektif, maka, pendidikan juga akan naik mutu, ketersediaan hingga outpunya.
Berikutnya, kurikulum pendidikan akan ditetapkan oleh negara, swasta boleh mendirikan sekolah namun kurikulum wajib mengambil kurikulum yang sudah diputuskan negara. Pendanaan operasional perguruan tinggi maupun lembaga pendidikan di bawahnya dijamin negara, hal ini menjadikan perguruan tinggi fokus pada pendidikan dan tidak berubah menjadi lembaga keuangan yang pada akhirnya menciptakan celah berbagai tindak kriminal.
Ketika negara tidak bertindak sebagai regulator kebijakan semata maka saat itulah kita bisa berharap kejayaan pendidikan akan terbit lagi, sebagaimana sejarah ketika Islam memimpin yang menghasilkan banyak ilmuwan, ulama, sekaligus kontributor terbaik dalam dekake peradaban mulia. Wallahu a'lam bish showab.
Posting Komentar