PPKSP tak Menyentuh Akar Masalah, Solusi Hakiki Hanyalah Islam Kaffah
Oleh: Heti Suhesti, S. Pd (Aktivis Dakwah)
Darurat perundungan dan kekerasan seksual memang tak bisa lagi dianggap sepele, korban dan pelaku dari tindakan tersebut mayoritas adalah mereka yang berstatus pelajar.
Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) terdapat 16 kasus perundungan sejak Januari sampai Juli 2023 yang terjadi di lingkungan sekolah, 4 kasus di dalamnya terjadi di awal tahun ajaran baru. Kasus perundungan tertinggi terjadi ditingkat sekolah dasar dan menengah yaitu mencapai 50 persen sedang korban dan pelaku didominasi oleh pelajar mencapai lebih dari 90 persen.
Belum lagi, data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat kasus kekerasan seksual hingga tindakan kriminal terhadap anak di Indonesia mencapai 9.645 kasus sepanjang Januari sampai 28 Mei 2023. Jika dirinci berdasarkan jenis kasusnya, kasus kekerasan seksual pada anak menempati peringkat pertama dengan 4.280 kasus, sedang kasus kekerasan fisik mencapai 3.152 kasus dan kekerasan psikis mencapai 3.053 kasus.
Data tersebut bukan hanya sekedar angka namun terdapat fakta terjadinya kekerasan seksual dan tindakan kriminal yang dialami anak bangsa negeri ini, sungguh ironis.
Bahkan sekolah bukan lagi tempat yang aman, nyaman dan mampu memberikan penanganan dan pencegahan perundungan namun selain rumah, sekolah menjadi tempat yang cukup rawan terjadinya perundungan baik dilakukan oleh guru kepada siswa, guru dengan guru, siswa dengan guru atau sesama siswa sangat mungkin terjadi.
PPKSP tak Menyentuh Akar Masalah
Permasalahan yang genting ini seharusnya sudah mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat bahkan memiliki solusi sebelum permasalahan tersebut terjadi. Namun sayangnya pemerintahan kita baru bisa mencari solusi atau melakukan tindakan pada saat kasus sudah terjadi dan genting.
Seperti Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP) yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim.
Peraturan ini dibuat dengan tujuan untuk mengatasi dan mencegah kasus kekerasan seksual, perundungan, diskriminasi, dan intoleransi. Selain itu, peraturan ini bertujuan untuk membantu lembaga pendidikan dalam menangani kasus-kasus kekerasan, termasuk bentuk daring dan psikologis, sambil memberikan prioritas pada perspektif korban. Peraturan ini juga menggantikan peraturan sebelumnya, yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Lembaga Pendidikan. (itjen.kemdikbud.go.id, 08/08/23).
Permen (Peraturan Menteri) yang diluncurkan kemendikbud ristek sebagai solusi atas masalah perundungan dan tindakan kekerasan di satuan pendidikan membutuhkan regulasi panjang, waktu yang tak sebentar, perangkat dan tim baik satgas pemerintah provinsi/kota atau Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) di satuan pendidikan yang tak mampu menangani secara langsung dan cepat. Padahal kasus tersebut sudah sangat darurat dan kritis, terbukti hanya dengan waktu 7 bulan saja kasus perundungan dan kekerasan seksual sudah sangat marak.
Selain itu, tindakan penerapan dari Permendikbudristek atas tindakan perundungan dan kekerasan seksual pun tak menyentuh akar permasalahan, aplikasi dari PPKSP hanya dalam bentuk menangani kasus yang berpedoman pada kebijakan kementerian terkait pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. Berupa menegur, menasehat dan menindak saat telah terjadi kasus. Namun akar utama dari penyebab terjadinya tak disentuh sama sekali. Bahkan hanya menangani anak berstatus pelajar sedang mereka yang putus sekolah dan hidup di jalanan tak mendapatkan perlindungan hukum padahal ancaman terjadinya bully dan kekerasan seksual pada mereka pun berpotensi tinggi.
Pokok Masalah
Perundungan dan kekerasan seksual terjadi tak terlepas dari tiga faktor. Pertama, minimnya peran keluarga terkhusus peran ayah dan ibu dalam memberikan pendidikan, perhatian dan perlindungan. Dalam kehidupan saat ini yang serba sulit dan mahal, bukan hanya ayah yang dipaksa fokus bekerja, Ibu pun ikut andil dalam mencari nafkah untuk memenuhi semua kebutuhan sehari-hari, pendidikan juga kesehatan. Sehingga sebagian waktu mereka habis untuk bekerja dan minimnya waktu untuk anak. Anak dibebaskan memegang gadget dan mengakses berbagai tonton tanpa didampingi dan diarahkan orang tua.
Pola asuh yang berlandaskan sekuler yang menciptakan kebiasaan serba boleh/permisif dan tak adanya susana keimanan di dalam rumah menjadikan anak semakin bebas dan tak terkontrol. Maka wajar jika anak berulah dengan menjadi pelaku karena anak tak memahami mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk.
Kedua, masyarakat yang tak berfungsi sebagai kontrol sosial semakin mendukung bebasnya individu atau anak dalam melakukan sesuatu. Masyarakat cenderung masa bodo dengan apa yang seorang anak lakukan, bahkan hanya menganggap becanda karena sosoknya yang hanya anak-anak juga asal tidak terjadi pada anak mereka maka masyarakat akan berdiam diri dan membiarkannya.
Ketiga, negara telah membiarkan media sosial diakses seluas-luasnya tanpa ada protect, mana yang pantas dan tak pantas ditonton anak-anak, sedangkan anak dengan fasenya meniru dan menjadikan tonton sebagai tuntutan mengakibatkan terjadinya sebagian besar kasus perundungan dan kekerasan seksual
Ditambah dengan Kurikulum pendidikan yang bongkar pasang tak mampu mencetak peserta didik yang berkarakter, bermoral apalagi beriman dan bertaqwa. Kurikulum yang ada hanya semakin membebaskan setiap aktivitas, kreativitas dan pendapat peserta didik tanpa ada dasar yang baku dan mengakar yang menjadi pijakan peserta didik.
Kegentingan dan kedaruratan dari tindakan perundungan dan kekerasan seksual dengan segala apa yang melatarbelakanginya semua bersumber dari asas sistem negara yang diterapkan, negara dengan asasnya sekulerisme telah memisahkan antara agama dengan kehidupan dan negara.
Agama hanya diposisikan di pojok-pojok masjid untuk beribadah secara khusus antara hamba dan pencipta, sedang kehidupan dibiarkan diatur oleh manusia yang akalnya terbatas dan sarat akan kepentingan.
Sehingga terciptalah berbagai permasalahan dalam kehidupan karena kehidupan dihilangkan dari peran agama, padahal kehidupan ini diciptakan oleh Allah SWT. Sang Pencipta alam semesta, manusia dan kehidupan yang juga telah memberikan seperangkat aturannya.
Sekulerisme telah berhasil menjadikan pendidikan hanya bernilai akademis semata sedang nilai pemahaman dan aplikasinya dikesampingkan, maka wajar jika seorang siswa bagus nilai akademisnya namun rusak moralnya.
Padahal sekolahlah tempat mencetak individu yang berkepribadian, bermoral bahkan beriman dan bertaqwa. Namun sistem yang ada telah memandulkan peranannya.
Maka pemisahan agama dari kehidupan dan negara telah menjadi pokok masalah dari berbagai permasalahan termasuk perundungan dan kekerasan seksual yang berstatus darurat di tanah air ini.
Islam Kaffah Pemecah Masalah
Dengan segala permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan saat ini dan telah gagalnya sistem yang ada dalam mengatur urusan manusia terkhusus pendidikan, tentu masih ada sistem alternatif yang terbukti belasan abad mengatur manusia telah mampu membawa kemaslahatan dan kesejahteraan bagi semua umat. Sistem tersebut adalah Khilafah Islamiyah yaitu sistem yang mengatur seluruh kehidupan dengan IsIam kaffah.
Terciptanya suasana yang kondusif baik di keluarga, masyarakat dan negara sebagai faktor utama dalam pembentukan karakter anak akan sangat mudah tercipta.
Keluarga yang berperan sebagai madrasah pertama bagi anak akan berfungsi dengan baik, karena seorang ibu akan terfokuskan perannya sebagai ummu warobatul bait maka sebagian besar waktunya untuk keluarga. Dan ayah sebagai pencari nafkah tak akan terhabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja karena beban nafkahnya hanya untuk makan sehari-hari sedangkan kesehatan dan pendidikan menjadi tanggungjawab negara sepenuhnya.
Kemudian masyarakat yang islami akan berperan sebagai kontrol sosial sehingga setiap tindak perundungan atau kejahatan seksual tak akan dibiarkan begitu saja terjadi di masyarakat. Semua akan bergerak untuk saling menasehati dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Dan terakhir peran negara dalam menerapkan Kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah IsIam telah berhasil menciptakan sistem pendidikan yang mampu mencetak para peserta didik yang berkepribadian IsIam dimana pola pikir dan pola sikapnya berjalan beriringan, mumpuni dalam bidang agama dan berbagai disiplin ilmu.
Maka mereka tercetak menjadi anak-anak sholeh, berperangai baik, dengan ilmu mumpuni dibidangnya sehingga kemampuan ilmunya bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar.
Inilah gambaran dari output pendidikan IsIam dimana pemahaman dan aplikasi ilmu lebih diutamakan dari sekedar nilai akademis semata. Wallahu a'lam...
Posting Komentar