Dilema PLTU Baru, Kualitas Udara Semakin Tak Bermutu
Oleh: Julia Sara, S.I.Kom
Masyarakat Banten dan sejumlah kelompok pemerhati lingkungan hidup secara resmi telah mengajukan pengaduan terhadap Grup Bank Dunia yang secara tidak langsung mendukung pembangunan dua pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Jawa 9 dan 10 ke Compliance Advisor Ombudsman (CAO) pada Rabu (13/9). Aduan tersebut memaparkan keterlibatan lembaga swasta pemberi pinjaman anak usaha Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC) dalam proyek tersebut dan juga menuntut agar pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 segera dihentikan serta memberikan kompensasi yang adil dan penuh atas kerugian yang telah diderita masyarakat sekitar PLTU (trendasia.org, 14/09/2023).
Pembangunan PLTU baru tersebut akan memperluas wilayah kompleks PLTU Suralaya unit 1-8 sekaligus. Total kapasitas proyek PLTU Jawa 9 dan 10 mencapai 2.000 MW atau hampir 50% dari total kapasitas eksisting kompleks PLTU Suralaya unit 1-8. Ekspansi pembangunan PLTU baru ini akan menambah ancaman kesehatan yang telah dirasakan masyarakat dan juga memasifkan dampak buruk atas kesehatan dan lingkungan yang selama ini dirasakan oleh masyarakat setempat, seperti masalah pernapasan (ISPA) akibat polusi udara dari debu batubara dan limbah beracun. Selain itu, proyek PLTU baru ini diperkirakan akan menyebabkan ribuan kematian dini dan akan melepaskan sekitar 250 juta metrik ton karbon dioksida ke atmosfer selama 30 tahun masa operasi (voaindonesia.com, 14/09/2023).
“Dampak buruk terhadap masyarakat lokal, termasuk penggusuran paksa terhadap mereka yang tinggal di lokasi proyek, sudah terjadi,” kata surat tersebut, yang dikirim atas nama Inclusive Development International, sebuah organisasi non-pemerintah di AS. IFC, Bank Dunia dan Hana Bank Indonesia tidak segera menanggapi permintaan surat tersebut. Bahkan, IFC dulu berjanji untuk berhenti berinvestasi di sektor batu bara pada 2020. Namun, IFC tetap menjadi pemegang saham di lembaga-lembaga keuangan yang memiliki investasi di industri batu bara, seperti Hana Bank. Dalam peraturan IFC yang diperbarui tahun ini, disebutkan bahwa klien keuangannya harus berkomitmen untuk tidak memulai dan membiayai proyek batubara baru apa pun sejak IFC menjadi pemegang saham (tagar.id, 15/09/2023).
Kebutuhan akan listrik menjadi dilema negara yang satu sisi membutuhkan ketersediaan listrik yang mumpuni. Namun, satu sisi lagi ada polusi udara yang akan menjadi taruhannya. Terlebih lagi, ada Bank dunia yang siap mendukung pembangunan PLTU batubara baru. Tentu saja, Indonesia menerima dengan lapang dada investasi di bidang PLTU batubara. Karena dari segi ekonomi, hal ini menjadi keran investasi yang bagus untuk Indonesia. Dan bagi investor, Indonesia bisa menjadi potensi pasar yang besar untuk kebutuhan energi yang tak tercukupi.
Seolah lupa, pembangunan PLTU tersebut sebenarnya sudah melanggar komitmen Perjanjian Paris yang disepakati bersama oleh 197 kepala negara pada tahun 2015 untuk berhenti mendukung penggunaan bahan bakar fosil. Juga pada 2021 lalu, pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia yang menghasilkan tiga kesepakatan menonjol, yakni menghentikan pembangkit listrik energi batu bara secara bertahap, terus menjaga suhu bumi tidak naik 1,50 celsius, dan mempercepat mitigasi krisis iklim dengan meninjau komitmen penurunan emisi 2030 dalam nationally determined contribution atau NDC tiap negara pada 2022.
Namun, apa daya karena pembangunan ala kapitalisme tak benar-benar memikirkan kemaslahatan melainkan keuntungan, sehingga dengan mudahnya mengabaikan potensi resiko yang mengancam keselamatan dan kesehatan masyarakat. Padahal, penting bagi pemerintah dan investor untuk mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Pembangunan PLTU di Jawa ini, sebenarnya tak urgent pula untuk dilakukan karena masyarakat setempat mengatakan bahwa pembangkit listrik di wilayah mereka tidak diperlukan lagi, lantaran kebutuhan listrik di daerah tersebut sudah terpenuhi dan jaringan listrik Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan. Jadi, untuk apa sebenarnya pembangunan ini? Apakah benar-benar untuk sumber energi atau hanya topeng investasi belaka?
Idealnya, pembangunan infrastruktur atau pembangunan yang berkaitan dengan umat harus dipikirkan lagi kemanfaatan yang akan diperoleh, bukan hanya melihat nominal rupiah yang diinvestasikan oleh Bank Dunia, karena Bank Dunia yang dicengkram oleh sistem kapitalisme tak memikirkan lagi dampak dan pengaruh buruk bagi masyarakat sekitar, yang mereka pikirkan hanya materi dan keuntungan yang diperoleh kelak. Sehingga, jika pun harus mengorbankan nyawa yang lainnya, tak masalah sama sekali karena hal tersebut bukanlah hambatan. Bahkan, mereka bisa menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dikehendaki.
Sebenarnya, ada berbagai alternatif energi yang lebih ramah lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengganti PLTU batubara, seperti tanaman bioenergi atau tenaga surya, juga bisa menggunakan tenaga angin, air, atau geothermal. Seiring dengan perkembangan teknologi dan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan, sebenarnya semakin banyak investasi dilakukan pada sumber energi berkelanjutan ini, sehingga tak perlu PLTU sebagai pembangkit listrik yang sudah jelas menimbulkan banyak kemudharatan. Namun, perlu juga disadari bahwa menerapkan sumber-sumber daya tersebut memerlukan biaya tinggi serta infrastruktur dan regulasi yang tepat dari pemerintah untuk mendukungnya.
Akan tetapi, jika hal ini diterapkan maka akan terjadi keran investasi yang lebih besar dan meluas lagi, sehingga pembangunan yang mulanya diperuntukkan untuk masyarakat, malah jadi dikomersialisasikan untuk mengembalikan hasil investasi pada para pemilik modal. Harusnya, fokus negara pada aspek terpenuhinya pendistribusian instalasi listrik di semua daerah hingga daerah yang sulit terjangkau listrik bisa merasakannya. Terhadap wilayah yang tidak ada instalasi listrik, negara bisa membangun pembangkitnya sesuai kebutuhan masyarakat. Bukan malah memaksakan kehendak dengan membangun PLTU pada daerah yang memiliki kelebihan pasokan daya listrik.
Dalam Islam, negara wajib menyediakan infrastruktur publik yang memadai. Dalam membangun infrastruktur tersebut, Islam menetapkan prinsip-prinisip yang harus diperhatikan. Pertama, listrik merupakan bagian dari SDA yang jumlahnya sangat besar sehingga pembangunannya memerlukan peran negara. Dalam hal ini, negara membangun pembangkit beserta instalasi listrik agar manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat. Negara tidak boleh mengambil keuntungan dari hasil pembangunan tersebut. Negara bisa memberikannya secara gratis atau rakyat membayar dengan harga yang sangat murah untuk mengganti biaya produksinya saja.
Kedua, negara memetakan wilayah-wilayah yang membutuhkan instalasi listrik sehingga pembangunan infrastruktur listrik tidak akan mubazir atau mengalami kelebihan daya. Pendistribusian listrik benar-benar dipastikan dapat dinikmati rakyat dari pusat kota hingga pelosok desa. Inilah yang akan diprioritaskan negara dalam menjalankan kewajibannya.
Ketiga, pembangunan dalam Islam berorientasi untuk kebaikan hidup manusia dalam menjalankan perannya sebagai hamba Allah. Kebijakan negara tidak boleh membawa kemudharatan dan kezaliman. Dalam perencanaan pembangunan, negara harus melakukan analisis dampak kebijakan tersebut bagi lingkungan dan masyarakat, sehingga tak ada efek buruk nantinya.
Keempat, pembangunan infrastruktur publik dibiayai negara melalui keuangan baitul mal. Dalam pengelolaan kepemilikan umum, seperti SDA berupa batu bara, tambang, dan sebagainya, negara tidak boleh menyerahkannya kepada pihak lain baik dalam bentuk investasi asing, utang, swastanisasi, privatisasi, ataupun konsesi.
Kelima, negara memberikan edukasi secara menyeluruh tentang kewajiban menjaga lingkungan, memanfaatkan hasil SDA secara bijak, dan sanksi tegas bagi setiap individu yang merusak lingkungan, mengeksploitasi SDA dengan serampangan, dan segala aktivitas yang bisa mengancam keseimbangan alam dan lingkungan.
Demikianlah, visi pembangunan infrastruktur dalam Islam yang bertujuan terpenuhinya hajat dan kebutuhan masyarakat semata. Sayangnya, hal ini hanya dapat terwujud dengan penerapan sistem Islam kaffah melalui khilafah Islamiyyah bukan sistem lainnya, apalagi sistem kapitalisme.
Wallahhu'alam bishawab.
Posting Komentar