Rempang Butuh Keadilan
Oleh: Hamnah B. Lin
Laman kepri[dot]nu[dot]or[dot]id menjelaskan bahwa pembangunan Rempang Eco-City menggusur 1.835 bangunan di daerah itu. Angka ini merujuk Laporan tentang Percepatan Investasi Pulau Rempang Direktorat Pengelolaan Pertanahan Badan Pengusahaan (BP) Batam yang terbit pada Oktober 2022.
Ribuan warga Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, terancam tergusur sebagai buntut rencana pengembangan kawasan Rempang Eco-City. Proyek ini dibangun di atas dua Kelurahan Pulau Rempang, yakni Kelurahan Sembulang dan Rempang Cate.
Penggusuran ini berawal dari rencana pengembangan kawasan ekonomi baru atau The New Engine of Indonesian’s Economic Growth dengan konsep “Green and Sustainable City” di daerah itu. Pembangunan ini menjadi fokus pemerintah pusat usai Presiden Jokowi melakukan kunjungan ke Cina akhir Juli lalu. Terlebih lagi adanya komitmen investasi dari perusahaan asal Cina, Xin Yi International Investment Limited.
Sungguh miris ketika melihat bagaimana intimidasi aparat ketika hendak mengukur lahan. Lahan yang sedianya sudah ditempati sejak tahun 1834, akan dikosongkan guna pembangunan proyek strategi nasional yang digadang akan mendongkrak perekonomian. Pemerintah berdalih warga tidak punya legalitas tanah, padahal jauh sebelumnya minta surat legalitas tanah, namun pemerintah tak kunjung memberikan.
Kasus di Pulau Rempang adalah bukan kasus pertama. Dengan dalih proyek strategi nasional dan mengejar pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengorbankan rakyat. Jikapun ada relokasi dan ganti rugi, hal demikian hanyalah obat penenang. Untuk jangka panjang proyek-proyek tersebut hanya menguntungkan segelintir orang. Sejatinya, proyek tersebut adalah proyek korporasi.
Harus diakui, jeratan investasi para oligarki sudah sedemikian menggurita. Terlebih setelah ketuk palu UU Omnibus Law yang menghapus seluruh hambatan masuknya investasi di lapangan. Alhasil, saat pembangunan suatu negara hanya bersandar pada investasi, saat itu pula arah pembangunan ditentukan segelintir orang. Melalui investasi pula, korporasi dengan mudah mendikte kebijakan pemerintah meski harus mengorbankan rakyat. Karena sejatinya korporasilah yang berkuasa.
Penguasa yang pro terhadap korporasi adalah bukan rahasia lagi, karena memang watak penguasa dalam kapitalisme saat ini berjalan atas titah pemodal, penguasa hanya sebagai wayang, penguasa hanya sebagai pelayan para pemodal. Rakyat yang dahulu telah memilihnya, dijadikan tumbal dalam seluruh kebijakan yang diputuskan penguasa.
Ketidakadilan ini harus disudahi, dengan mencari alternatif sistem kehidupan yang lain, maka Islam sebagai agama dan ideologi yang memiliki seperangkat aturan lengkap berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna, Allah Ta'ala, akan mampu menyolusi permasalahan pembangunan dan seluruh permasalahan manusia.
Dalam Islam, pembangunan infrastruktur dilakukan untuk kepentingan masyarakat. Pembangunan tersebut harus dikelola negara dan dibiayai dari dana milik umum. Boleh berasal dari sumber kepemilikan negara, tetapi negara tidak boleh mengambil keuntungan dari pengelolaannya.
Dari aspek jangka waktu pengadaannya, pembangunan infrastruktur dalam Islam dibagi menjadi dua jenis. Pertama, infrastruktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat dan menundanya akan menimbulkan bahaya atau dharar bagi umat. Misal, satu kampung atau komunitas tertentu belum memiliki jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, dan saluran air minum. Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan tetapi tidak begitu mendesak dan masih bisa ditunda pengadaannya, misalnya jalan alternatif, pembangunan gedung sekolah tambahan, perluasan masjid dll. (Abdurrahman al-Maliki, (1963), As-Siyasah al-Iqtishadiyah Al-Mutsla).
Kemudian, cara membiayai proyek pembangunan dalam Islam. Pertama, meminjam ke negara asing atau lembaga keuangan global, tetapi tidak dibolehkan jika terdapat unsur riba di dalamnya. Kedua, memproteksi dengan mengambil kemaslahatan dari beberapa aset yang termasuk milik umum, seperti pertambangan komoditas strategis (hutan, air, minyak bumi, gas). Rasulullah saw. pernah memproteksi sebuah lahan di Madinah untuk menggembalakan kuda dan itu untuk kepentingan negara.
Ketiga, mengambil pajak (dharibah), hanya boleh dipungut jika diperuntukkan untuk biaya infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat dan sifatnya mendesak. Namun, yang dipungut hanyalah laki-laki kaya dan warga negara muslim.
Demikianlah seharusnya pengaturan pembangunan infrastruktur yang mengutamakan pelayanan terhadap rakyatnya, maka kewajiban penguasa akan tertunaikan dan rakyat bahagia.
Wallahu a'lam.
Posting Komentar