Membabat Habis Korupsi Hanya Mimpi Di Negara Demokrasi
Oleh: Dhiyaul Haq (Aktivis Muslimah Malang Raya)
Mimpi menggenjot budaya antikorupsi di masyarakat dan birokrasi pemerintah terbukti masih perlu upaya ekstra. Berdasarkan rilis terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), nilai Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) Indonesia 2023, mengalami penurunan dibandingkan dengan IPAK tahun 2022, menjadi sebesar 3,92. Tahun lalu, nilai IPAK yang dirilis BPS mencatat angka 3,93.
IPAK merupakan indeks yang mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan skala 0-5 pada level nasional. Semakin tinggi nilai IPAK atau mendekati 5, maka semakin tinggi budaya antikorupsi. Sebaliknya, semakin rendah nilai IPAK, maka semakin menunjukkan budaya permisif korupsi di masyarakat. Skor IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu indeks persepsi dan indeks pengalaman.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan data yang dikumpulkan dalam riset IPAK mencakup pendapat atau persepsi terhadap kebiasaan di masyarakat yang berhubungan dengan layanan publik dalam hal penyuapan, gratifikasi, pemerasan, nepotisme, serta sembilan nilai anti korupsi, termasuk kejujuran dan tanggung jawab. (tirto.id)
Demokrasi Biang Keroknya
Kasus korupsi dalam demokrasi tak pernah berhenti. Alih-alih menurun yang terjadi kasus korupsi semakin merajalela. Pelaku tak pandang kondisi rakyat yang semakin hari semakin tercekik. Korupsi selalu dilakukan demi kepuasan nafsu pribadi.
Di Indonesia, demokrasi bukan hanya melahirkan wakil-wakil rakyat (DPR) yang korup, tetapi juga menghasilkan para pejabat selevel menteri juga korup. Bahkan, jika melihat indikator korupsi, kualitasnya semakin parah. Pangkal masalah itu semua bersumber dari sistem yang masih diterapkan di negeri ini yaitu demokrasi.
Pandangan demokrasi bukan bersandar pada halal dan haram, melainkan hanya kepada keuntungan semata. Inilah yang menjadi demokrasi semakin berhasilkan menumbuh suburkan para koruptor di negara.
Kembalilah Pada Islam
Sungguh tak cukup bagi rakyat hanya menelan kekecewaan, akan tetapi harus sadar betul bahwa semua ini akan terselesaikan dengan kembalinya kita berhukum dengan Islam secara keseluruhan.
Risywah (suap) ialah memberikan harta kepada seorang pejabat untuk menguasai hak dengan cara batil, atau membatalkan hak orang lain atau agar haknya didahulukan dari orang lain. Nabi Saw telah melaknat para pelakunya, baik yang menerima maupun yang memberi suap,
“Rasulullah saw. telah melaknat penyuap dan penerima suap.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya untuk memuluskan suatu transaksi bisnis, atau ia mendapatkan fee (komisi) dari suatu proyek, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram. Pelakunya berhak diganjar dengan sanksi tegas Khalifah.
Sistem demokrasi dan Islam bagaikan minyak dan air yang tidak bisa dipersatukan. Keduanya lahir dari asas yang saling bertentangan. Yang satu kebenaran, yang lain kekufuran. Ia meyakinkan, selama demokrasi dikukuhi, kasus korupsi dan penyimpangan lain tidak mungkin bisa dieliminasi apalagi dihapuskan.
Maka dalam Islam, pelaku suap, korupsi atau penerima gratisfikasi diberi sanksi penjara hingga hukuman mati sesuai keputusan qadhi sebagai ta’zir dalam sistem pidana Islam. Hal ini berbeda sekali dengan hukuman yang diberikan oleh Demokrasi kepada para koruptor. Para koruptor mendapatkan fasilitas tempat yang mewah sehingga wajar tidak memberikan efek jera kepada para pelakunya. Jelas sistem islam lah yang mampu untuk melahirkan para pemimpin yang amanah. Prestasi seperti ini belum pernah bisa diraih peradaban mana pun dalam sejarah, kecuali Islam dalam bingkai Khilafah. Karena itu, sudah saatnya umat kembali pada syariat Islam yang datang dari Allah Maha Sempurna. Masihkah meragukan keberhasilan Khilafah memimpin Dunia?
Wallahu a’lam bi ash-shawab
Posting Komentar