Pembagian Rice Cooker Gratis: Solusi atau Masalah?
Oleh: Syifa Islamiati
Pemerintah Indonesia sudah sejak lama mewacanakan akan membagi-bagikan rice cooker gratis kepada masyarakat. Memang rice cooker (penanak nasi) ini dibutuhkan oleh sebagian masyarakat. Tetapi bagi sebagian yang lain, rice cooker mungkin tidak benar-benar dibutuhkan. Pasalnya, rice cooker hanya dapat digunakan sebagai alat penanak nasi saja, sedangkan untuk memasak lauk dan sayur mesti memakai LPG. Bahkan mereka yang tinggal di perkampungan/pedesaan rata-rata masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.
Jika sebelumnya pembagian rice cooker gratis ini hanyalah sebuah wacana. Namun tahun ini, pemerintah optimis akan dapat merealisasikan pembagian rice cooker gratis tersebut. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menyiapkan anggaran sebesar Rp347,5 miliar yang diperuntukkan bagi 500 ribu kelompok rumah tangga miskin. Anggaran tersebut bersumber dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian ESDM. Aturan pembagian rice cooker gratis ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.11/2023 tentang Penyediaan Alat Masak Berbasis Listrik bagi Rumah tangga.
Dirjen Ketenagalistrikan Jisman P. Hutajulu mengatakan pembagian 500 ribu rice cooker berpotensi meningkatkan konsumsi listrik sekitar 140 GWh, setara dengan kapasitas pembangkitan 20 MW. Menurutnya, program ini akan berpotensi menghemat LPG sekitar 29 juta kg atau setara 9,7 juta tabung 3 kg. (CNNIndonesia.com, 10/10/2023)
Lantas, apakah benar yang masyarakat butuhkan saat ini adalah rice cooker? Sungguh ironi, di saat harga beras melambung tinggi, pemerintah malah terlihat kurang peka. Seharusnya yang dibagi-bagikan secara gratis adalah kebutuhan pokok seperti beras. Bagaimana bisa memasak nasi jika ada rice cookernya tapi tidak ada berasnya? Terdengar lucu memang.
Bisa jadi rice cooker yang dibagi-bagikan tersebut hanya jadi pajangan, bahkan mungkin ada yang dijual kembali untuk mendapatkan uang agar bisa membeli beras. Bukankah menjadi sia-sia akhirnya? Mengingat anggaran yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Alhasil, program pemerintah tersebut dapat menyebabkan pemborosan anggaran negara dan juga merugikan masyarakat.
Jika pemerintah memang berniat ingin membantu masyarakat, banyak hal lain yang bisa dilakukan dengan dana yang telah dianggarkan. Misal dengan menyediakan subsidi pupuk guna membantu para petani, menyediakan sembako murah bagi masyarakat dan sebagainya. Dengan begitu, anggaran yang ada tidak akan terbuang sia-sia, masyarakat pun terbantu. Dan ini jelas lebih bermanfaat.
Tetapi apakah pemerintah hari ini bisa melakukan hal tersebut? Karena yang kita tahu bahwa pemerintah didikan sistem sekuler kapitalisme selalu membuat kebijakan yang tidak tepat dan berbuntut masalah baru. Bukan sekali dua kali program pemerintah bersifat tidak efektif. Berkali-kali bahkan seringkali dinilai tidak memiliki urgensi, termasuk pemberian rice cooker gratis kepada masyarakat inilah salah satunya.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menilai pembagian rice cooker kepada masyarakat kurang bijaksana. Karena program ini dilakukan ketika harga beras mengalami kenaikan yang signifikan dan tak kunjung mereda. Bisa jadi masyarakat berpotensi menjual rice cooker yang dibagikan tersebut untuk menambah pendapatan membeli beras. (Katadata.co.id, 10/10/2023). Seorang pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi juga menilai bahwa tujuan pembagian rice cooker gratis kepada masyarakat hanya untuk membagikan cuan kepada perusahaan yang ditunjuk dalam pengadaannya. (Republika.co.id, 9/10/2023)
Pemerintah ala sekuler kapitalisme dianggap selalu gagal dalam merumuskan masalah dan memberikan solusi untuk rakyat secara pas dan tepat. Bahkan kewajiban memenuhi kebutuhan rakyat seringkali dijawab dengan kebijakan yang tidak matang dan bersifat asal-asalan.
Inilah potret kepengurusan rakyat oleh negara di bawah naungan sistem kapitalisme. Apa saja yang mendatangkan keuntungan bagi korporasi mesti dilakoni. Konsep ekonomi yang digagas sistem kapitalisme juga melahirkan kebijakan yang hanya meningkatkan konsumsi dan investasi. Investasi akan selalu dianggap baik selama mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, negara hanya menjadi objek pasar industri kapitalistik.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, sistem Islam justru mengalokasikan anggaran berdasarkan kebutuhan masyarakat dengan melihat fakta di tengah-tengah mereka. Semua pendapatan negara dalam baitulmal digunakan untuk membiayai berbagai pos pengeluaran. Karena negara memahami betul bahwa harta yang dibelanjakan akan dihisab di kemudian hari. Maka dari itu, khalifah akan berhati-hati serta amanah dalam menggunakan dana baitulmal.
Khalifah juga benar-benar memperhatikan kebutuhan masyarakat dan menjamin kesejahteraan mereka. Bukan hanya kebutuhan pokok yang akan terpenuhi, kebutuhan lain seperti air, listrik dan lain-lain juga akan dimudahkan. Dan kebijakan tak efektif yang sarat dengan kepentingan kapitalis itu akan senantiasa lahir jika kita masih rida hidup dalam aturan sistem sekuler kapitalisme.
Oleh karena itu, jika kita merindukan pemimpin Islam yang memahami konsekuensi dari kepemimpinannya, bukan soal maju dan tidaknya negaranya tapi juga surga dan neraka, maka kita harus memiliki pemikiran politik ideologis dengan mengkaji Islam. Maka sudah sepatutnya kita mendedikasikan diri menjadi bagian dari para pengemban dakwah untuk mengembalikan kehidupan Islam. Untuk itulah tegaknya daulah Islam harus kita perjuangkan bersama agar kehidupan umat sejahtera. Allahu Akbar!
Posting Komentar