Refleksi Hari Guru: Patutkah Merayakan Rusaknya Generasi Buah Merdeka Belajar?
Oleh: Fatmawati
Hari Guru Nasional (HGN) yang diperingati setiap 25 November oleh bangsa Indonesia. Tahun ini, HGN bertema Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar (tirto.id, 13/11/2023). Dalam rangka memperingati hari guru ini, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menerbitkan surat Pedoman Peringatan Hari Guru Nasional Tahun 2023 (kemdigbud.go.id, 30/10/2023). Dalam surat tersebut, pemerintah menghimbau berbagai instansi pendidikan di pusat maupun daerah, dan bahkan kantor perwakilan RI di luar negeri untuk meaksanakan berbagai kegiatan kreatif yang mampu mendorong semangat guru serta memberikan apresiasi kepada guru yang telah berjasa membersamai anak-anak Indonesia dalam menemukan minat, bakat, serta potensi mereka.
Tema yang diusung dalam peringatan HGN ini tentu saja menjadi pertanyaan besar bagi pemerhati pendidikan mengingat beragam permasalahan yang berkelindan di dunia pendidikan hari ini. Literasi peserta didik maupun guru di Indonesia, maraknya bullying di kalangan siswa, kasus tawuran, bunuh diri, pergaulan bebas, narkoba dan berbagai permasalahan lainnya masih menghantui masyarakat yang menginginkan pendidikan lebih baik. Keberadaan Program Merdeka Belajar pun tidak mengurangi permsalahan-permasalahan sama sekali. Lantas, apakah masih layak Program ini untuk dirayakan?
Perayaan Program Merdeka Belajar seakan-akan hanya menjadi agenda yang digunakan oleh pemerintah untuk menimbulkan kesan bahwa program ini telah berhasil dan gemilang. Pada saat yang sama, pemerintah mengajak masyarakat untuk melupakan tumpukan permasalahan itu dan seakan tidak pernah terjadi. Tentu saja ini juga berarti pemerintah hanya ingin memenuhi kepentingannya saja tanpa benar-benar serius bermaksud menyelesaikan permasalahan pendidikan.
Menghargai para guru tentu saja adalah keharusan. Namun, apalah maknanya jika hanya perayaan sehari dan terbatas hanya untuk mereka yang dipandang berprestasi dengan standar tertentu untuk diberikan penghargaan. Bagaimana dengan para guru yang tetap bersungguh-sungguh dan tulus menjalankan amanah mereka untuk meididik generasi, namun tidak masuk dalam standar prestasi yang ditentukan oleh pemberi penghargaan? Apakah mereka akan diabaikan? Bagaimana juga dengan nasib para guru di hari-hari lain selain HGN? Apakah mereka tidak perlu diperhatikan?
Kurikulum Merdeka Belajar telah dan sedang diterapkan dalam berbagai institusi pendidikan, namun sayangnya kurikulum tidak mampu menghasilkan peserta didik dengan ketinggian ilmu dan moral. Fakta ini menunjukkan bahwa terjadi kesalahpahaman dalam pengambilan kebijakan pendidikan. Praktik pelaksanaan kurikulum ini hanya berfokus pada bagaimana sekolah mampu menghasilkan lulusan yang memenuhi standar dunia kerja.
Program lain yang berkembang bersamaan dengan implementasi Merdeka Belajar ini adalah Program Guru Penggerak. Program ini pada faktanya juga hanya berfokus pada paedagogi, pengembangan holistik peserta didik, dan pelatihan kepemimpinan instruksional. Program ini tidak bertujuan untuk membentuk kepribadiaan manusia yang bertakwa. Keberhasilan pengembangan SDM sekolah mulai dari guru, siswa, dan kepala sekolah hanya diukur dari pencapaian hasil belajar.
Tampak sangat nyata bahwa Program Merdeka Belajar ini adalah produk pemikiran sekuler kapitalis yang memandang ilmu pengetahuan sebagai faktor produksi. Akibatnya penyelenggaraan pendidikan harus mampu menghasilkan keuntungan bagi dunia industri. Lebih buruk lagi, sistem sekuler kapitalistik ini juga memandang nilai spiritualitas, moral, dan kemanusiaan tidak lebih penting dari keterampilan paserta didik dalam dunia kerja.
Belum lagi dampak ikutan yang lain. Ambil saja contoh penggunaan internet yang masiv sebagai tuntutan pelaksanaan kurikulum Merdeka Belajar. Tanpa adanya kebijakan pembatasan laman maupun konten internet yang bisa diakses oleh peserta didik, maka ini terbukti telah menjadi bencana yang mengerikan. Banyak anak-anak usia sekolah yang melakukan kegiatan asusila karena dipicu konten yang mereka dapatkan dari internet.
Alih-alih menyelesaikan permasalahan pendidikan, Program Merdeka Belajar menambah tinggi tumpukan permasalahan yang sudah ada. Momen HGN seharusnya menjadi momen untuk berevaluasi dan berbenah. Dunia pendidikan telah rusak karena kungkungan sistem yang melingkupi masyarakat hari ini. Sistem kapitalis menjadikan standar kebaikan dunia pendidikan bukan lagi nilai-nilai yang berasal dari Allah, Dzat Yang Maha Mengetahui kebutuhan manusia. Pendidikan tidak lebih dari bidang yang harus menghasilkan profit materi bagi manusia-manusia serakah.
Kesalahan ini tentu saja harus dibenahi dengan mengembalikan standar kehidupan manusia dengan standar yang benar dan sesuai fitrah, yaitu standar Islam. Islam mengatur dengan baik seluruh aspek detail sistem kehidupan termasuk pendidikan. Pada masa kekhilafahan, dengan penerapan seluruh aturan Islam, kita bisa melihat dengan jelas bukti kegemilangan keberhasilan dunia pendidikan. Sistem pendidikan membentuk pola pikir dan pola sikap yang benar dan kuat pada peserta didik.
Sistem Islam juga mengatur ketiga pilar penyokong pendidikan yaitu keluarga, masyarakat, dan negara. Keteraturan tiga pilar ini akan memastikan bahwa generasi tidak hanya belajar ilmu pengetahuan mereka di institusi pendidikan secara formal, tetapi juga melihat penerapan berbagai ilmu dan nilai itu di pendidikan informal yaitu lingkungan masyarakat tempat mereka hidup. Dengan penerapan sistem Islam, tidak akan ada lagi kebingungan peserta didik tentang ketidaksesuaian antara konsep yang mereka pelajari di sekolah dengan penerapannya di masyarakat. Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar