Aliran Dana pada Partai, Kedaulatan Negara Tergadai
Oleh: D Budiarti Saputri (Tenaga Kesehatan)
2024 adalah tahun pemilu, kemeriahan pesta demokrasi makin meriah berbanding lurus dengan money politic yang semakin terasa. Biaya politik yang besar dalam sistem demokrasi memang sebuah keniscayaan, hal tersebut mungkin menjadi alasan para pelaku-pelaku politik demokrasi menggunakan uang untuk mencapai tujuannya, termasuk menerima aliran dana dari luar negeri.
Seperti yang belum lama ini dikabarkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mereka mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan ada 21 rekening bendahara yang terendus PPATK menerima aliran dana fantastis tersebut. Adapun, jumlah transaksinya mencapai 9.164 transaksi. Hal ini disampaikan dalam konferensi pers Refleksi Kerja PPATK 2023 yang disiarkan di YouTube PPATK, Rabu (10/1/2024).
Menurut Ivan, nilai transaksi aliran dana pada tahun 2023 tersebut meningkat dibandingkan 2022 yang hanya Rp 83 miliar. Sayangnya, Ivan tidak merinci nama dan parpol yang menerima aliran dana. Dia hanya menegaskan bahwa temuan tersebut mencakup bendahara parpol di semua wilayah di Indonesia.
Ivan juga menuturkan PPATK juga menemukan laporan transaksi besar dari luar negeri yang melibatkan para daftar caleg terdaftar (DCT). PPATK menganalisa 100 DCT. Hasilnya, kata ivan, PPATK menemukan adanya penerimaan senilai Rp7,7 triliun. Sementara itu, PPATK mencatat nilai transaksi dari 100 DCT ke luar dengan total nilai Rp5,8 triliun. Dari 100 DCT, Ivan mengatakan PPATK menemukan transaksi pembelian barang mencapai ratusan miliar rupiah atau sekitar Rp592,52 miliar. Dikutip dari cnnindonesia.com (12/1/2024).
Banyak pihak yang mendukung temuan tersebut untuk segera diproses. Seperti Menko Polhukam yang juga cawapres no urut 3 Mahfud MD meminta KPK, kejaksaan, dan kepolisian untuk menindaklanjuti temuan tersebut. Jika memang terbukti aliran dana masuk pada parpol dan caleg, semua itu telah melanggar Undang-Undang. Ketentuan tersebut tertuang dalam pasal 40 ayat (3) No. 2 tahun 2028 tentang Parpol yang mengatakan bahwa Parpol dilarang menerima atau memberikan pihak asing sumbangan dalam bentuk apa pun. Parpol yang melanggar ketentuan ini dipidana dengan pidana paling lama dua tahun dan denda dua kali lipat dari jumlah dana yang diterima, sebagaimana diatur pada pasal 48 ayat (4) No 2 tahun 2008. Dikutip dari CNN Indonesia (11/1/2024).
Tetapi, banyak pihak pesimis jika temuan PPATK ini dapat ditindaklanjuti. Seperti menjadi rahasia umum jika hukum di negeri ini sering kali diintervensi oleh kepentingan politik. Apalagi saat ini kredibilitas KPK kian turun sejak Ketua KPK menjadi tersangka korupsi.
Dalam sistem demokrasi, aliran dana dalam pemilu dari berbagai pihak termasuk asing memang sulit untuk dihindarkan sebab politik transaksional memang menjadi spirit dalam pemilu demokrasi. Ia yang mampu membayar besarlah yang kepentingannya akan diprioritaskan. Inilah yang akhirnya melahirkan politik oligarki, karena dalam sistem demokrasi kebijakan dan kekuasaan sesungguhnya ada di tangan elit yang telah menyuntikan dana pada parpol atau pada calon legislatif. Kedaulatan bangsa tergadai oleh kepentingan-kepentingan mereka. Maka, selama sistem kapitalisme demokrasi masih diterapkan, aliran dana pada partai-partai politik akan terus ada.
Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Dalam Islam, pemilu sendiri merupakan perkara yang mubah. Contohnya pada masa pemilihan Khalifah Utsman bin Affan. Dari sana kita mendapatkan gambaran proses pemilu yang sederhana, efektif, dan efisien. Para kandidat adalah orang-orang terbaik yang siap mengabdi pada umat. Kontestasi bukan menjadi ajang saling menjatuhkan, apalagi memoles rupa demi mendulang suara. Dalam Islam, kontestasi benar-benar mencari yang terbaik dari yang terbaik, bukan mencari pemimpin yang mudaratnya lebih sedikit.
Seorang khalifah juga bukan ia yang hanya pintar secara intelektualitas. Sosok khalifah adalah ia yang mau menerapkan Islam secara kafah dalam pemerintahannya. Jika adapun calon pemimpin yang mau menerapkan syariat Islam, metode penerapannya bukanlah dengan metode demokrasi. Mekanisme baku untuk mendapatkan kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Pemilu hanyalah uslub (cara) yang boleh digunakan atau tidak, sesuai dengan kondisi. Wallahualam bissawab.
Posting Komentar