KEK Bukan Jalan Menuju Sejahtera
Oleh: Puspita Ningtiyas
KEK singkatan dari Kawasan Ekonomi Khusus. Hingga akhir tahun 2023, tercatat Indonesia memiliki 20 kawasan ekonomi khusus, 10 diantaranya fokus di bidang pariwisata, dan sisanya dibidang manufaktur. (cnbcindonesia.com 13/12/23).
KEK adalah salah satu program nasional yang dianggap meningkatkan investasi dan lapangan kerja untuk rakyat. Benarkah demikian ?
Setiap ada geliat ekonomi dengan berdirinya pabrik di sebuah wilayah, memang akan membutuhkan tenaga kerja untuk menunjang operasionalnya. Biasanya pekerja yang direkrut adalah warga di sekitar pabrik itu didirikan. Tapi Faktanya, pekerjaan yang didapatkan bukanlah pekerjaan yang mapan, walaupun masyarakat dengan edukasi yang kurang dan kondisi ekonomi yang sulit, sudah merasa sudah cukup dengan pekerjaan yang ditawarkan tersebut. Itupun kalau pabrik yang berdiri di bidang pertambangan, pekerja yang direkrut tentu tidak akan banyak karena operasional pabriknya dominan menggunakan mesin. Harapan tidak berbuah hasil yang diinginkan, begitulah yang terjadi.
Ketika Investor asing sudah berkuasa, mereka sudah pasti akan mengesampingkan pribumi atas nama kepentingan bisnis. Kepentingan itu kadang menyelinap di dalam undang-undang yang diketok palu penguasa. Karena itulah, investasi asing juga akan membahayakan kedaulatan negara, karena dengan adanya investasi asing, akan bisa membuat negara bertekuk lutut pada apapun titah pengusaha.
Kalau sudah demikian, maka Jelas, KEK hanya menyejahtera pemilik modal dalam hal ini investor, dan akhirnya rakyat tetap hidup menderita.
Islam mewajibkan negara mengelola pembangunan secara mandiri dengan dana dari berbagai sumber. Dana yang didapatkan adalah harta halal yang memang diizinkan oleh Allah untuk mengelolanya. Dana tersebut meliputi kepemilikan negara yang bersumber dari jizyah misalnya, atau kepemilikan umum dari berbagai sumber daya alam yang ada.
Kenapa harus dilakukan secara mandiri ? Dilakukan secara mandiri agar tidak ada intervensi asing yang bertujuan meraup keuntungan sebesar-besarnya untuk mereka. Dan melihat sumber daya alam di negeri-negeri muslim yang melimpah, sebenarnya negeri musilim mampu untuk melakukan pembangunan di segala aspek secara mandiri.
Selain menjaga kedaulatan dalam negeri, pembangunan di dalam Islam juga ditujukan untuk kemaslahatan rakyat dan bukan untuk pemilik modal atau pengusaha. Artinya pembangunan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, baik pangan, sandang, papan, maupun kebutuhan yang bersifat komunal seperti keamaan, pendidikan dan kesehatan.
Negara Islam juga memberikan Jaminan kesejahteraan setiap individu rakyat bukan dihitung secara perkapita atau dihitung dengan menghitung pendapatan nasional. Dengan cara ini Islam hendak menjamin pemenuhan kebutuhan setiap individu tanpa terkecuali. Pembangunan ekonomi pun akan mempertimbangkan apakah sesuai kebutuhan rakyat atau tidak. Dan apakah dengan pembangunan tersebut akan mensejahterakan rakyat atau tidak. Rakyat menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembangunan karena pemerintah ada untuk menjadi pelayan bagi rakyatnya.
Yahya bin Aktsam berkata, “Pada suatu malam aku menginap di rumah Amirulmukminin al-Makmun. Aku terbangun di tengah malam karena rasa haus yang sangat, maka aku pun bangkit (mencari air). Tiba-tiba Amirulmukminin berkata, “Wahai Yahya, apa gerangan yang terjadi?” Aku menjawab, “Demi Allah, aku sangat haus wahai Amirulmukminin.”
Lalu, Khalifah Makmun bangun seraya membawa seteko air untukku. Aku berkata, “Wahai Amirulmukminin, mengapa tidak kau suruh pembantu atau budak saja?” Beliau menjawab, “Tidak.” Karena bapakku meriwayatkan hadis dari bapaknya dan dari kakeknya dari Uqbah bin ‘Amir ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, "Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka." (HR Ibnu Asakir, Abu Nu’aim).
Wallahu A’lam Bi Showaba
Posting Komentar