Lagi-lagi Banjir Melanda Negeri
Oleh: Bunda Hanif
Banjir terjadi di berbagai wilayah di Indonesia seiring datangnya musim hujan. Di Riau 6.467 orang dari Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai harus mengungsi akibat banjir. Sejak beberapa pekan terakhir, banjir melanda pemukiman mereka. Ribuan rumah dan fasilitas umum tergenang banjir. Banyak sekolah yang akhirnya terpaksa diliburkan karena ruang kelas terendam. (CNN Indonesia, 13-1-2024)
Banjir juga terjadi di Jakarta lantaran hujan deras pada Kamis (11-1-2024). Lima RT dan enam ruas jalan di DKI Jakarta terendam banjir. (Berita Satu, 11-1-2024). Di Jambi, banjir terjadi di Kerinci-Kota Sungai Penuh, Bungo, Tebo, Batang Hari, Muaro Jambi, Merangin dan Sarolangun. Bukan hanya banjir, beberapa daerah di Jambi, seperti Kerinci, Sungai Penuh, Bungo, Tebo, Merangin, dan Sarolangun Jambi juga mengalami bencana tanah longsor. Total ratusan ribu jiwa sudah terdampak akibat banjir besar tersebut. (Detik, 14-1-2024).
Bencana banjir yang terjadi awal 2024 ini merupakan kejadian berulang, lebih tepatnya “langganan banjir” karena tiap tahun selalu terjadi. Bencana banjir yang melanda tanah air dikarenakan pembangunan wilayah yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam. Di wilayah bagian utara kota Bandung saja sering terjadi banjir karena wilayah tersebut sudah dipenuhi pemukiman, padahal awalnya merupakan daerah serapan.
Pembangunan wisata di Bandung Selatan yang semakin pesat juga menyebabkan alih fungsi kawasan yang memiliki fungsi konservasi. Sama halnya dengan yang terjadi di Jambi, Tim Geographic Information System Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi mencatat sebesar 73% hutan alam di Jambi sudah beralih fungsi sehingga menyebabkan terjadinya banjir.
Beginilah realitas yang ada, berbagai pembangunan dilakukan tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Semuanya demi mengejar cuan. Inilah ciri pembangunan ala kapitalisme yang hanya mengutamakan keuntungan tetapi mengabaikan dampak terhadap lingkungan dan tata kota secara keseluruhan. Lagi-lagi rakyat yang menjadi korbannya. Bencana banjir tidak hanya menimbulkan kerugian materi tetapi korban jiwa. Banyak rumah yang terendam banjir sehingga penduduk harus mengungsi. Belum lagi penyakit yang timbul pasca banjir seperti diare.
Pembangunan kapitalistik tentu saja mengabaikan aturan Islam dan hanya memperturutkan hawa nafsu semata demi memperoleh keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Padahal Allah telah memperingatkan di dalam Al-Qur’an, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum: 41)
Sungguh jauh berbeda dengan pembangunan di dalam Islam. Acuan dalam kebijakan pembangunan harus sesuai dengan syariat Islam agar terwujud kemaslahatan masyarakat. Jadi, aspek keuntungan materi bukanlah tujuan satu-satunya dalam paradigma pembangunan Islam.
Paradigma pembangunan dalam Islam tetap memperhatikan lingkungan sehingga lingkungan tetap harmonis. Pembangunan tidak boleh merusak alam dan merugikan masyarakat meskipun jika dilihat dari segi materi sangat menguntungkan.
Pelaksanaan pembangunan dalam sistem Islam untuk kepentingan umat dan memudahkan kehidupan mereka. Penguasa merupakan ujung tombak pembangunan. Oleh karenanya, penguasa sebagai pengurus (raa’in) rakyat harus menjalankan kebijakan pembangunan berdasarkan aturan Allah dan Rasul-Nya, bukan kemauan para investor.
Negara akan turun langsung di dalam pelaksanaan pembangunan suatu wilayah agar tidak semrawut dan tumpeng tindih. Negara akan menentukan kawasan yang menjadi pemukiman, perkantoran, kawasan industri, lahan pertanian, hutan, sungai, dan sebagainya. Tidak boleh ada pemukiman di daerah bantaran sungai, karenanya warga di berikan tempat tinggal yang layak di daerah yang aman dan cocok untuk pemukiman.
Begitu juga dengan pembangunan fasilitas publik, seperti sekolah, rumah sakit, jalan, pasar, masjid, dan lain-lain akan diatur dengan memperhatikan lokasi pemukiman. Hal ini bertujuan agar warga mudah mengakses fasilitas publik. Sedangkan industri dan pertambangan akan dijauhkan dari pemukiman agar tidak membahayakan kesehatan maupun keselamatan warga.
Hasil hutan juga boleh dimanfaatkan, tetapi laju pengambilannya harus sesuai dengan hasil pengkajian para ahli sehingga tidak merusak alam. Begitupun dengan pengambilan hasil tambang, harus memperhatikan analisis mengenai dampak lingkungan agar tidak menimbulkan kerusakan dan limbah yang mengganggu kesehatan rakyat.
Paradigma pembangunan Islam ini telah diterapkan selama berabad-abad oleh Khilafah. Tidak hanya tertata dengan baik sehingga menghasilkan kenyamanan bagi warga, tata kotanya bahkan menjadi simbol peradaban Islam. Sebagian kota pada negara Khilafah menjadi pusat politik dan pemerintahan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan pusat studi agama.
Khilafah juga melindungi kawasan tertentu. Ada kawasan yang tidak boleh diambil hasilnya demi menjaga kelestarian lingkungan. Inilah hutan lindung dalam konteks hari ini. Dengan demikian pembangunan dalam Khilafah tidak hanya pesat, tetapi juga memperhatikan kelestarian lingkungan dan terwujudnya keamanan bagi warga.
Wallahu a’lam bisshowab
Posting Komentar