Pemilu: Demokrasi vs Islam
Oleh: Eviyanti
Pendidik Generasi dan Pegiat Literasi
Menjelang pemilu 2024 yang akan digelar beberapa bulan lagi, Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan atau PPATK menemukan adanya peningkatan pembukaan rekening baru, tak tanggung-tanggung sekitar 704 juta rekening. Mereka pun mengungkapkan adanya aliran dana masuk ke kantong parpol mencapai Rp193 miliar. Seperti yang dikutip oleh media online cnbcnews Indonesia, Jumat (12/01), Kepala Biro Humas PPAT, Natsir Kongah mengatakan langkah PPATK mengungkap aliran dana luar negeri ke parpol sebagai bentuk kepedulian untuk menjaga demokrasi Tanah Air.
Temuan ini merupakan hasil dari pantauan Tim khusus PPATK sejak awal tahun 2023 yang dipantau dari aliran International Fund Transfer Instruction Report dari perbankan.
Beginilah yang terjadi dalam sistem demokrasi, momentum pemilu dijadikan ajang pertarungan berbagai kepentingan. Aliran dana pemilu dari berbagai pihak ini termasuk dari asing justru menunjukkan pemilu dalam sistem demokrasi berpotensi sarat kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Para pemangku jabatan berlomba untuk memenangkan hati rakyat, mereka rela menggelontorkan dana untuk itu, karena mereka pun punya kepentingan.
Padahal, ada bahaya yang mengintai di balik itu, yakni akan tergadaikannya kedaulatan negara. Semua ini menjadi satu keniscayaan mengingat politik demokrasi berbiaya tinggi, sehingga rawan adanya kucuran dana dari berbagai pihak yang ingin mendapatkan bagian tentunya. Akibatnya parpol dalam sistem ini kehilangan idealismenya, bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Siapapun nanti yang terpilih, maka oligarkilah pemenangnya.
Dalam sistem Islam, pemilihan pemimpin sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya. Pemerintahan Islam (khilafah) adalah khalifah/Amirul Mukminin itu sendiri, karena itu kekuasaan di dalam sistem Islam berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara lain. Maka, pemerintahan Islam tidak mengenal pembagian kekuasaan sebagaimana yang diperkenalkan oleh sistem demokrasi. Meski demikian kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam tetap di tangan rakyat. Amirul Mukminin yang berkuasa dalam sistem Islam juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari rakyat. Hanya saja, meski Amirul Mukminin memerintah atas mandat yang diperolehnya melalui baiat in’iqad yang diberikan kepadanya.
Namun, rakyat bukan majikan khalifah/Amirul Mukminin, sebaliknya dia juga bukan buruh rakyat. Sebab akad antara rakyat dengan khalifah/Amirul Mukminin bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah rakyat dengan hukum Allah.
Dalam pemerintahan Islam calon Amirul Mukminin harus memenuhi 7 syarat in’iqad dan dia dipilih untuk menjalankan amanah sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Ada 7 syarat in’iqad bagi khalifah/Amirul Mukminin yakni muslim, laki-laki, aqil (berakal), baligh, adil (bukan orang fasik), merdeka (bukan budak), serta mampu (Abdul Qadim Zallum, Nizhamul Hukm fi al-Islam).
Sungguh berbeda sekali pemilu dalam sistem demokrasi dengan sistem Islam. Mari kita mengerahkan potensi untuk bersama berjuang menegakkan syariat secara menyeluruh dengan melakukan dakwah bersama jemaah ideologis yang mengembannya.
Wallahualam bissawab
Posting Komentar