Penderitaan Perempuan di balik Kenaikan Indeks Pembangunan gender
Oleh: Ummu Salman
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pembangunan Gender. "Perempuan semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender," kata Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta, Sabtu ( 6-1-2024 )
Lenny N Rosalin mengatakan perempuan berdaya akan menjadi landasan yang kuat dalam pembangunan bangsa. Keterwakilan perempuan dalam lini-lini penting dan sektoral juga ikut mendorong kesetaraan gender di Indonesia yang semakin setara.
Semakin banyak perempuan menjadi pemimpin baik di desa, sebagai kepala desa atau kepala daerah hingga pimpinan di Kementerian atau Lembaga," katanya. KemenPPPA pun menargetkan peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan pada 2024. "Tentunya yang ingin dicapai di 2024 adalah peningkatan kualitas dan peran perempuan dalam pembangunan," kata Lenny N Rosalin.
Menyongsong tahun 2024, komitmen KemenPPPA untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak akan terus ditingkatkan. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menambahkan pihaknya akan berfokus pada penguatan kelembagaan dan perbaikan pelayanan publik, terutama terkait lima arahan prioritas Presiden dengan mengedepankan sinergi dan kolaborasi lintas sektor mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, dunia usaha, dan media.
Pertanyaannya, benarkah meningkatnya Indeks Pemberdayaan gender turut meningkatkan kualitas hidup perempuan?
Pemberdayaan perempuan selalu menjadi program andalan untuk meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan. Keterwakilan dan keterlibatan perempuan dalam ruang politik, seperti menjadi anggota legislatif dan eksekutif; dan ruang publik, seperti bekerja dan menjadi pemimpin lembaga/organisasi, kerap menjadi tolok ukur keberhasilan pemberdayaan perempuan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa pemberdayaan perempuan dalam kacamata kapitalisme adalah perempuan yang bekerja, mandiri, memiliki karier dalam banyak bidang, dapat menghasilkan banyak uang dan memberi sumbangsih bagi ekonomi keluarga bahkan negara, dengan menjadi pelaku ekonomi.
Nyatanya, jika kita melihat fakta yang ada, meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender tidak berkorelasi positif dalam menuntaskan problem yang mendera pada perempuan, semisal tingginya angka perceraian, KDRT, kekerasan seksual, maraknya bunuh diri, dan beberapa problem lainnya.
Problem pertama yaitu perceraian, maraknya perceraian tentu berdampak banyak pada kehidupan perempuan. Mereka menjadi ibu tunggal yang harus menghidupi anak-anaknya dalam memenuhi kebutuhan hidup. Mereka juga harus menjadi tulang punggung sekaligus mendidik anak-anaknya. Selain itu, anak-anak yang tumbuh dalam keluarga broken home cenderung menghadapi masalah psikologis yang butuh pendampingan. Hal ini juga menambah berat tugas seorang ibu dalam mendidik anak-anaknya. Apakah beban berat ini dapat terselesaikan melalui pemberdayaan dengan bekerjanya perempuan? Justru bekerjanya perempuan di tengah kemelut rumah tangga yang berantakan akan memicu masalah baru lainnya, seperti stres karena beban yang dipikul, anak yang tidak terurus dengan baik, emosi labil, depresi, hingga yang paling fatal yaitu bunuh diri.
Problem kedua KDRT, tidak jarang kasus KDRT berakhir dengan pembunuhan. Betapa banyak kasus pembunuhan istri oleh suaminya sendiri, entah karena alasan ekonomi, cemburu, sakit hati, merasa harga dirinya direndahkan dan emosi yang tidak terkendali. Di balik meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender, masih banyak perempuan yang meregang nyawa di tangan suaminya sendiri. Sungguh miris dan ngeri. Kehidupan sekuler kapitalisme membuat kontrol diri lemah, gelap mata, iman entah ke mana, dan nyawa begitu tidak berharga.
Problem ke tiga yaitu kekerasan seksual, perlu kita garis bawahi, maraknya kekerasan seksual terjadi lantaran sistem sekuler tidak memberi jaminan keamanan dan kenyamanan bagi kaum perempuan. Kejahatan seksual salah satunya terjadi karena faktor yang mendorong perbuatan asusila, semisal tontonan yang mengandung konten porno dan tidak mendidik. Gaya hidup serba bebas menjadi sesuatu yang dianggap biasa dan dinormalisasi, seperti budaya pacaran, berzina, aborsi, dan dampak pergaulan bebas lainnya yang merusak generasi.
Maraknya kasus perceraian, KDRT, kekerasan seksual, dan sebagainya, menjadi bukti bahwa di bawah asuhan sistem sekuler kapitalisme, perempuan menderita. Budaya patriarki yang dianggap sebagai biang kerok penderitaan perempuan sejatinya juga tidak tepat.
Pasalnya, berbagai persoalan perempuan muncul sejak sistem sekuler kapitalisme diterapkan. Apalagi narasi pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender yang terus digaungkan dan diperjuangkan. Ide yang katanya menyelamatkan perempuan dari diskriminasi dan penindasan, nyatanya malah menjadi bumerang bagi perempuan sendiri.
Dalam pandangan kapitalisme, perempuan berdaya adalah ketika ia mampu mandiri secara ekonomi, tidak bergantung pada suami, dan berkarier dalam ranah publik. Pada akhirnya, pandangan ini menimbulkan masalah baru. Angka gugat cerai meningkat, ketahanan keluarga di ambang sekarat.
Selain itu, menderasnya pemberdayaan dan kesetaraan gender membuat peran perempuan lebih superior dalam rumah tangga. Merasa bisa mencari nafkah, peran suami sebagai kepala keluarga makin mengerdil seiring lapangan kerja yang kian menyempit untuk laki-laki. Alhasil, suami dan istri perannya menjadi terbalik. Muncullah istilah “bapak rumah tangga”. Istri yang bekerja, sedangkan suami mengasuh anak di rumah. Fenomena ini sangat jauh dari fitrah laki-laki dan perempuan dalam Islam.
Kapitalisme memandang perempuan sebagai kelompok marginal yang perlu disetarakan.
Alhasil, berbagai tuntutan perempuan agar setara dengan laki-laki terus dikampanyekan bak bola liar. Bahkan, mereka (pegiat gender) berani mengutak-atik hukum Islam seputar perempuan.
Islam Memuliakan Perempuan
Oleh karenanya, agar tidak salah memahami, Islam memiliki sejumlah mekanisme dalam menuntaskan problem perempuan dan cara memuliakannya.
Dalam Islam, pemberdayaan perempuan tidak dilihat dengan pandangan materi dan ekonomi. Islam juga tidak memandang perempuan sebagai warga kelas dua yang terdiskriminasi. Islam melihat perempuan sebagai sosok yang wajib dimuliakan dan dihormati.
Perannya sebagai al-umm wa rabbatul bayt (ibu dan manajer rumah tangga) bukanlah peran kaleng-kaleng. Merekalah “pabrik” untuk mencetak generasi mulia dan berkualitas. Islam telah menempatkan perempuan dalam kemuliaan dan keutamaan. Potensi perempuan yang cenderung penyayang dan lemah lembut menjadikan peran domestiknya sangatlah penting bagi lahirnya sebuah peradaban.
Islam memiliki berbagai mekanisme agar perempuan sejahtera dan tetap terjaga fitrahnya, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, Islam memandang perempuan dengan tepat dan menempatkannya pada posisi mulia, yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Posisi ini sangat strategis sebab masa depan generasi dan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh posisi ini. Proses pendidikan pada anak yang dilakukan oleh kaum ibu menjadi kunci utama tingginya peradaban sebuah bangsa.
Adapun kewajiban mencari nafkah, hanya dibebankan pada kaum laki-laki. Bukan untuk menunjukkan kekuatan laki-laki dan kelemahan perempuan. Peran ini diberikan sesuai dengan kemampuan fisik dan tanggung jawab yang diberikan Allah Swt. pada laki-laki.
Kedua, negara menjamin kebutuhan pokok setiap individu dengan kemudahan mendapatkannya, seperti layanan pendidikan dan kesehatan secara gratis. Adapun dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, negara memberikan kemudahan bagi para pencari nafkah (laki-laki) dengan menyediakan lapangan kerja, memberi bantuan modal usaha, dan membekali dengan keterampilan yang membantu mereka melakukan pekerjaan. Hal ini ditetapkan agar kewajiban mencari nafkah bagi laki-laki dapat tertunaikan.
Ketiga, dalam peran publik, perempuan boleh menjadi dokter, perawat, guru, dan lainnya dengan tetap mengutamakan peran domestiknya sebagai ibu. Laki-laki maupun perempuan memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam mengenyam pendidikan, menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, dan berdakwah. Adapun jika terdapat ketentuan hukum yang berkaitan dengan predikatnya sebagai laki-laki dan perempuan, hal itu tidak bermakna tidak setara.
Allah Swt. memberikan diferensiasi atas peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan pernikahan dan bermasyarakat tidak didasarkan pada pengertian hierarki gender, tetapi pada apa yang diperlukan secara efektif untuk mengatur kehidupan keluarga dan masyarakat secara proporsional dan berkeadilan. Alhasil, tercipta kehidupan yang harmoni dan sinergi.
Keempat, negara melaksanakan sistem pendidikan dan sosial masyarakat yang berbasis akidah Islam. Dengan penerapan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam akan terwujud generasi berkepribadian Islam yang tidak mudah terseret pada kemaksiatan. Begitu pun dengan sistem sosial masyarakat yang berdasarkan syariat Islam mampu membentuk ketakwaan komunal sehingga mencegah individu berbuat maksiat atau kriminal.
Kelima, negara memberlakukan sistem sanksi Islam yang berefek jera. Maraknya kriminalitas akibat sanksi yang tidak tegas. Dengan sanksi Islam akan mencegah individu bertindak kriminal. Jika terjadi pelanggaran, sanksi Islam akan membuat pelakunya tidak mengulangi perbuatannya kembali.
Demikianlah, sistem Islam kaffah mampu memberi jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi perempuan dan generasi. Hanya sistem Islam yang mampu memuliakan perempuan dan generasi. Wallahualam bishowab
Posting Komentar