Pinjol Menjerat Masyarakat
Oleh: Shofi Lidinilah
Pendidik Generasi
Sudah menjadil hal yang tak asing lagi, bank emok dan pinjaman online (Pinjol) masih sering digunakan oleh masyarakat khususnya warga Kabupaten Bandung padahal kedua hal tersebut merupakan musuh bersama. Keberadaan layanan pinjaman uang yang mudah dan cepat tersebut seringkali menimbulkan masalah bagi para penggunanya.
dilansir dari ayobandung.com Wakapolresta Bandung, mengatakan bahwa bank emok dan pinjol sering menjadi sumber keluhan yang diterima kepolisian. Namun, pihak kepolisian merasa kesulitan dalam upaya untuk memberantas layanan tersebut. Terlebih lagi, masalah pinjaman umumnya termasuk dalam ranah masalah perdata yang jarang ditangani oleh kepolisian.
kepolisian hanya dapat memberikan imbauan kepada masyarakat untuk menghindari penggunaan jasa bank emok atau pinjol ketika membutuhkan dana tambahan. Bank emok dan pinjol seringkali menjadi penyebab masalah di Kabupaten Bandung, bahkan beberapa di antaranya telah menyebabkan terjadinya kasus pidana.
Maraknya penyedia jasa pinjol tidak lepas dari kondisi masyarakat yang membutuhkan pinjaman untuk kebutuhan sehari-hari. Ada yang karena tekanan ekonomi. Ada pula yang memang untuk membiayai gaya hidup. Keadaan ini ditangkap oleh para pengusaha berotak kapitalis sebagai peluang investasi pinjol.
pada saat ini, prinsip ekonomi bersandar pada sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, pinjol atau bank emok sekalipun sudah tersistem agar jadi solusi keuangan saat ini. Bahkan pendidikan tingkat tinggi saja menawarkan mahasiswa nya memakai skema pinjol untuk membayar biaya kuliahnya.
Dengan menerapkan sistem kapitalisme yang sekuler, tampaknya hampir tidak mungkin bagi pinjol dan bank emok untuk benar-benar dihapuskan. Faktanya, hal ini menimbulkan keraguan apakah memang sejak awal ada niat yang sungguh-sungguh untuk memerangi fenomena ini. Karena, saat ini riba adalah bagian dari sistem ekonomi kapitalisme. Para kapitalis, seperti para pemilik bank, menjadikan pinjaman sebagai investasi untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi ekonomi orang lain dengan pinjaman berbunga yang mencekik.
Penyelesaian terhadap transaksi ribawi pada zaman ini tidak hanya menjadi tanggung jawab individu semata. Ini karena transaksi ribawi telah menjadi permasalahan sistemik yang memengaruhi banyak pihak di negara ini. Oleh karena itu, dalam Islam, negara memiliki kewajiban untuk melindungi rakyatnya dari praktik transaksi ribawi.
Dalam Islam, Khilafah akan menghapuskan praktik ribawi karena dianggap haram dan merupakan dosa besar yang dapat merusak perekonomian. Selanjutnya, Khilafah akan menyusun kembali mekanisme proses utang-piutang agar tidak melibatkan riba, sambil tetap memperhatikan hak-hak kekayaan warga negara. Khalifah akan menetapkan bahwa yang harus dibayar hanyalah jumlah pokok utangnya. Sedangkan riba atau bunga yang telah dibayar oleh pihak yang berutang harus dikembalikan kepada mereka.
Negara juga akan memberlakukan sanksi terhadap warga yang masih terlibat dalam praktik transaksi ribawi. Sanksi ini dapat berupa ta'zir yang ditentukan oleh keputusan hakim, termasuk hukuman penjara atau cambuk. Sanksi akan diberlakukan kepada semua pihak yang terlibat dalam riba, baik pemberi riba, penerima riba, saksi riba, maupun para pencatatnya.
Selain itu, Kaum Muslim juga perlu diingatkan untuk tidak mengadopsi gaya hidup konsumtif dan kecenderungan mudah berutang yang dapat menyebabkan kesulitan finansial.
Wallahu'alam bii shawwab
Posting Komentar