Islam, Solusi Jitu Mengatasi Banjir
Oleh: Anastasia S.Pd.
Memasuki bulan Maret, dapat dipastikan beberapa kota di Indonesia akan mengalami intensitas hujan yang sangat tinggi. Bukan Maret merupakan, bulan puncaknya musim hujan. Padahal seharusnya hujan adalah rahmat, terlebih puncak hujan terjadi bulan Ramadan, yang merupakan bulan istimewa umat Islam. Namun sayang, pemandangan ibu kota dan kota-kota besar di Indonesia mengalami banjir, yang diakibatkan derasnya hujan sehingga tanah tidak mampu menyerap secara optimal.
Jakarta, sebagai ibu kota berpotensi banjir kembali di awal tahun 2024. Efek dari beberapa fenomena atmosfer. Seperti penjelasan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan,
"Kita perhatikan kejadian banjir besarnya itu di periode awal tahun, dan bulan-bulan berikutnya, ini terjadi di wilayah DKI Jakarta, karena apa kenapa bisa seperti itu terjadi? Karena memang di bulan Januari dan bulan berikutnya, adalah periode puncaknya musim hujan untuk wilayah DKI," kata Miming Saepudin, Koordinator Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG di acara Kesiapsiagaan Menghadapi Musim Hujan di Provinsi DKI Jakarta, CNN Indonesia Rabu (15/11/2023).
Sejak beberapa waktu lalu, BMKG sudah memprediksi puncak musim hujan akan terjadi di awal tahun 2024, khusus Jakarta. Saat itu, ada 55 persen bagian di Indonesia atau 385 wilayah zona musim (ZOM) memasuki musim hujan. CNN Indonesia Jumat (29/13/2023).
Ada tiga faktor utama yang kerap menyebabkan banjir khususnya yang sering terjadi di Jakarta:
Pertama, curah hujan ekstrem. Tren curah hujan ekstrem dengan intensitas tinggi dan durasi singkat semakin sering terjadi. Curah hujan ekstrem adalah dampak nyata dari krisis iklim. Yang mana ini terjadi bukan hanya di Indonesia.
Kedua, perubahan tutupan lahan. Analisis data tutupan lahan KLHK tahun 2000 dan 2019 menunjukkan peningkatan luas hutan tanaman hingga 117.7% di kawasan hulu sungai yang mengalir menuju Jakarta, menggantikan dominasi lahan pertanian. Luas permukiman juga tumbuh pesat hingga 47.4%, menggantikan lahan pertanian dan ruang terbuka hijau di kawasan tengah dan hilir. Di Jakarta sendiri, luas ruang terbuka hijau hanya 9.8% di tahun 2019. Hal ini meningkatkan peluang meluapnya sungai dan jaringan drainase akibat besarnya air limpasan permukaan (runoff), belum lagi ancaman sedimentasi di sungai akibat laju erosi yang besar di kawasan hulu.
Ketiga, penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah Jakarta mencapai rata-rata 12 cm/tahun, dan terjadi dengan lebih ekstrem di bagian pesisir utara Jakarta dengan laju penurunan hingga 25cm/tahun. Hingga tahun 2050 diproyeksikan luasan banjir akibat penurunan tanah bertambah hingga 110.5 km2, setara dengan 75% luas wilayah Jakarta Utara. Beban bangunan di permukaan dan ekstraksi air tanah berlebih turut mempercepat laju penurunan tanah. Saat ini masih ada 35% warga Jakarta yang menggunakan air tanah untuk kebutuhan harian. Akibatnya, tinggi muka air tanah di Jakarta semakin dangkal dan kapasitas simpan air menjadi lebih rendah. WRI Indonesia (03/08/2023).
Bencana Hujan Akibat Hilangnya Fungsi Lahan
Jakarta kota dengan segenap fasilitas transportasi dan pembangunan gedung-gedung besar ternyata memberikan efek yang luar biasa. Salah satunya menghambat penyerapan air, apalagi di musim hujan seperti ini, banjir kerap kali terulang. Namun, begitulah ciri negara kapitalis yang lebih mengutamakan pembangunan dari pada melihat dari besarnya efek kerusakan alam. Kita sudah paham, bahwa bencana banjir, disebabkan bukan hanya semata-mata masalah hujan saja. Tapi hilangnya fungsi lahan yang seandainya apabila pemerintah mampu mengelolanya sebagai resapan air, banjir akan lebih mudah diatasi, namun malah beralih fungsi menjadi pembangunan gedung besar-besaran.
Di beberapa perkotaan besar, lahan hijau keberadaan sudah semakin terkikis, sempit dan kini sudah semakin berkurang jumlahnya. Salah satu penyebab terus berkurangnya ruang publik taman kota adalah, pembangunan gedung komersial seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen, dan gedung lainya.
“Nyaris di semua kota di Indonesia, penataan kotanya tidak pernah terencana dengan baik sebab selalu kalah oleh kepentingan pemodal,” ujar Pengamat Sosial dan Budaya Institut Teknologi Bandung (ITB) Acep Iwan Saidi kepada Bisnis, Rabu (17/3/2014).
Acep menyampaikan sudah menjadi idiom yang diketahui umum bahwa taman yang identik dengan banyak tumbuh pohon di dalamnya, kini telah berubah menjadi taman beton atau hutan beton. “Seperti di Jakarta terdapat central park, tetapi isinya rumpun-rumpun gedung komersial,” katanya.
Dapat dipastikan segala bentuk kemudahan pembangunan gedung-gedung dan perijinannya adalah sebuah negosiasi antara politisi dan pemodal. Inilah wajah diterapkan sistem kapitalis yang ujung-ujungnya membawa bencana dan kerusakan. Sistem ini pun membebaskan kepemilikan individu, khususnya lahan seluas-luasnya. Akibatnya kepemilikan tanah yang seharusnya lahan untuk kepentingan umum, malah dikuasai pemodal untuk menopang pundi-pundi keuntungan.
Solusi Islam Dalam Pemanfaatan Lahan
Tentu fakta ini berbeda dengan Islam, dari aspek kepemilikan, Islam membaginya menjadi tiga yaitu, ada yang dimiliki negara, umum, dan individu. Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan dua aspek yang terkait dengan tanah, yaitu zat tanah (raqabah al-ardh), dan manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya. Hal ini termasuk di dalamnya pengelolaan tanah diatur oleh syariat Islam, yaitu ada kewenangan khilafah apabila tanah/lahan tersebut menyangkut kepentingan umum. Maka negara akan menetapkan hima.
Hima adalah tanah atau wilayah yang ditetapkan secara khusus oleh negara untuk kepentingan tertentu, tidak boleh dimanfaatkan oleh individu apalagi memperjualbelikan untuk kepentingan bisnis. Karena contoh pemanfaatan hima, akan menempatkan pada suatu lahan tanah kosong dan hutan sebagai tempat resapan air di kala hujan, sehingga mampu menahan air supaya tidak terjadi banjir.
Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya pernah menetapkan hima pada tempat-tempat tertentu. Rasulullah SAW pernah menetapkan Naqi` (nama padang rumput di kota Madinah) khusus untuk menggembalakan kuda-kuda milik kaum muslimin, tidak untuk lainnya. Abu Bakar pernah menetapkan Rabdzah (nama padang rumput juga) khusus untuk menggembalakan unta-unta zakat, bukan untuk keperluan lainnya.
Islam pun membagi jenis-jenis tanah berdasarkan fungsi dan karakteristiknya, yaitu tanah yang cocok untuk lahan pertanian, maka akan dialokasikan untuk kebutuhan pertanian, apabila tanah itu cocok untuk pemukiman maka akan dijadikan tempat untuk hunian. Begitu pun tanah yang akan dijadikan sebagai sarana irigasi dan menyimpan cadangan air hujan, sehingga tidak akan dibangun gedung yang bisa mematikan fungsi tanah tersebut.
Islam pun melarang setiap individu untuk tidak melakukan kerusakan di dalam bumi. Seperti firman-Nya
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik." (QS Al A'raf: 56)
Dari ayat di atas, jelas Islam mendorong setiap hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa menjaga bumi dan alam semesta.
Syariat Islam pun memberikan solusi untuk memanfaatkan lahan secara cermat, sehingga dapat mengatasi banjir yang terus berulang. Wallahu' Alam
Posting Komentar