Mengurai Persoalan Mudik, Bukan Sekadar Jargon
Oleh: Ummu Hanan (Pegiat Literasi)
Mudik menjadi salah satu tradisi yang tidak bisa dilepaskan dari masyarakat kita. Mudik yang merupakan singkatan dari Bahasa Jawa “mulih dhisik” atau “pulang dulu” diartikan sebagai rangkaian kegiatan para perantau untuk kembali pulang ke kampung halamannya. Mudik biasanya terjadi menjelang Hari Raya atau pekan liburan panjang. Mudik juga menjadi momentum yang tidak akan disia-siakan bagi individu masyarakat yang tinggal jauh dari kampung halamannya. Mayoritas para pemudik berasal dari kota-kota besar yang menjadi tujuan utama para perantau. Meski seolah hanya sebatas ritual migrasi penduduk, namun persoalan mudik acapkali memunculkan problematika tersendiri.
Salah satu diantara persoalan yang muncul ketika mudik adalah kemacetan. Macet tak terelakkan manakala ribuan kendaraan harus berjibaku mengantre agar dapat segera sampai ke daerah tujuan. Gambaran kemacetan saat mudik dapat tergambar jelas ketika kita melihat realitas yang terjadi di Pelabuhan Merak, Banten. Menurut pantauan berbagai pihak, dibutuhkan waktu tempuh sekitar tujuh jam untuk melakukan perjalanan dari Jakarta dan sekitarnya ke Merak hingga sampai ke atas kapal. Diantara titik penyebab kemacetan adalah sebelum embarkasi ke kapal dan para penumpang harus antre selama kurang lebih 4 jam (cnbcindonesia.com,6/4/2024).
Tak terbayangkan rasa penat dan ketidaknyamanan manakala mudik disertai dengan kemacetan parah. Namun kondisi semacam ini justru dianggap sebagai keunikan tersendiri bagi para pemudik. Tidak sedikit yang memandang kemacetan saat mudik merupakan hal lumrah dan kenikamatan tersendiri. Mereka memakluminya. Cukup disayangkan, mengingat mudik adalah bagian kebutuhan mendasar masyarakat. Mudik membutuhkan kehadiran sistem transportasi yang secara integral mengatur aspek mobilisasi masyarakat. Sistem semacam ini tentu tidak sekadar berkutat pada penyediaan alat transportasi, tetapi juga bagaimana regulasi transportasi tegak di atas asas pelayanan menyeluruh bagi masyarakat.
Keberadaan sistem transportasi yang berorientasi melayani masyarakat lahir dari sistem Islam. Bagaimana bisa? Ya, penerapan syariat Islam dalam sebuah sistem kehidupan meniscayakan masyarakat diatur dengan aturan Pencipta, Allah Swt. Aturan inilah yang akan menjamin pemenuhan setiap kebutuhan individu masyarakat tanpa terkecuali. Penjaminan atas kebutuhan rakyat diamanahkan kepada negara melalui penguasa. Dalam salah satu hadits Nabi Saw bersada yang artinya, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Bukhari). Penguasa diperintahkan oleh Allah Swt untuk serius mengurus rakyat dengan syariat-Nya. Penguasa tidak boleh abai terhadap pemenuhan hajat hidup rakyat.
Dalam penerapan sistem Islam, segala regulasi dibuat dalam rangka mendekatkan manusia pada Pencipta. Termasuk dalam hal sistem transportasi, Islam mensyariatkan agar penguasa membuat regulasi yang memudahkan individu masyarakat untuk selalu taat pada ketentuan Allah Swt. Bagaimana caranya dan apa kaitan ketaatan kepada Allah Swt dengan sistem transportasi? Pelaksanaan sistem transportasi yang baik akan memastikan setiap indivividu masyarakat untuk melakukan perjalanan dengan aman, nyaman agar menunjang kekhusyukan dalam beribadah. Dapat dibayangkan bagaimana kesyahduan menjalankan ibadah puasa Ramadan menjadi buyar ketika waktu yang seharusnya digunakan untuk beramal shalih justru teralihkan pada kejenuhan dalam antre kendaraan.
Syariat memiliki mekanisme untuk mengurai persoalan mudik yang solutif dan aplikatif. Syariat Islam melalui penerapan sistem Islam secara menyeluruh akan memastikan tersedianya armada transportasi dalam jumlah yang cukup, laik guna, berbiaya murah (atau bahkan dapat digunakan secara cuma-cuma), birokrasi mudah dan tenaga pelayanan yang professional. Negara dalam sistem Islam tidak akan berhitung soal untung rugi karena berorientasi pada mengurusi urusan umat (masyarakat). Dengan kondisi demikian tentu akan meminimalisir persoalan yang mungkin muncul utamanya saat mudik. Karena itu, kita berharap mudik tidak mengulang problematika yang sama setiap tahunnya. Kita butuh solusi mendasar yang tak sekadar jargon kosong. Inilah kepentingan kita semua untuk merujuk pada sistem Islam yang melahirkan solusi hakiki atas seluruh problematika manusia. Allahu’alam.
Posting Komentar