Pahitnya Harga Gula
Penulis: Dinda Kusuma W T
Gula adalah salah satu dari sembilan bahan pokok yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia. Si manis ini digunakan nyaris di semua resep masakan Indonesia, baik makanan maupun minuman. Namun apa jadinya, jika harga gula jadi tak manis lagi? Sebagaimana diketahui, harga gula terus naik beruntun sejak awal tahun 2023 sampai hari ini masih ada prediksi harganya akan terus naik. Dari Rp. 12.000, 00 per kilo, harga gula naik konsisten hingga Rp 17.000, 00 per kilo. Diperkirakan nantinya akan menembus harga Rp. 18.000, 00 - Rp. 20.000, 00 per kilo. Kenaikan harga ini mungkin tidak terlalu berpengaruh bagi ibu rumah tangga, namun bagi pelaku UMKM yang salah satu bahan utamanya gula, tentu hal ini adalah pukulan besar.
Masyarakat Indonesia merupakan salah satu pengguna gula terbesar di dunia. Berdasarkan data dari Kamar Dagang dan Industri Jatim, konsumsi gula rakyat Indonesia mencapai 2,8 juta ton pertahun. Di sisi lain, produksi gula dalam negeri masih tergolong rendah, yaitu berkisar 2, 350 juta ton sepanjang tahun. Praktis terdapat defisit sekitar 450 ribu ton. Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikoen menyebut, kenaikan harga gula di tingkat konsumen terjadi karena ketersediaannya yang kurang, serta minimnya cadangan gula nasional (cnbcIndonesia.com, 19/04/2024).
Sayangnya, pemerintah tidak memberikan respon yang berarti pada kondisi ini. Kenaikan harga pangan pokok tampaknya tidak dianggap sebagai persoalan besar. Seperti yang sudah-sudah, defisit pangan selalu dijadikan alasan untuk membuka kran impor. Padahal, impor adalah solusi pragmatis yang apabila dilakukan terus menerus akan menimbulakan masalah baru. Negara menjadi ketergantungan kepada negara lain sehingga dapat membahayakan stabilitas keamanan dalam negeri.
Indonesia adalah negara agragris beriklim tropis. Tanahnya pun terkenal sangat subur sehingga sejak jaman nenek moyang, banyak bangsa barat datang ke Indonesia demi mencari rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Mencapai swasembada pangan harusnya bukanlah hal yang sulit. Ditambah saat ini begitu banyak SDM ahli Indonesia yang mumpuni dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas pertanian.
Persoalan defisit pangan ini pun bukan persoalan kemarin sore. Kondisi ini telah berlangsung bertahun-tahun lamanya sehingga aneh bila pemerintah belum juga menemukan solusinya, kecuali memang masalah ini dianggap sepele atau memang tidak ada upaya serius dari pemerintah. Perlu adanya perombakan sistem pengelolaan negara sehingga setiap masalah bisa diselesaikan hingga ke akarnya.
Selama ini, sistem yang diterapkan oleh Indonesia dan hampir seluruh negara di dunia adalah sistem sekuler kapitalis. Yaitu sebuah sistem kehidupan yang memisahkan aturan agama dari kehidupan, serta memperhitungkan segala perbuatan hanya berdasarkan keuntungan materi semata. Sistem yang diterapkan dengan dalih modernisasi dan hak asasi manusia ini nyatanya telah menggiring umat manusi menuju jurang kehancuran.
Ketidak hadiran iman dan taqwa dalam segala lini kehidupan, telah menyebabkan berbagai kerusakan. Termasuk dalam hal pangan bagi rakyat, baik penyediaan atau pendistribusiannya hanya berdasarkan asas kapitalisme atau keuntungan segelintir orang semata. Itulah sebab, persoalan ini tidak pernah bisa tuntas.
Keniscayaan sistem sekuler kapitalis adalah sistem pemerintahan demokrasi. Dimana dalam sistem ini, semua aturan dibuat oleh manusia. Secara logika, tentulah aturan-aturan tersebut hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu, khususnya pihak yang membuat aturan dan golongannya. Slogan demokrasi "dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat" hanya tinggal slogan tanpa makna.
Kapitalisme yang berkolaborasi dengan demokrasi praktis menjadikan orang-orang yang berkuasa di pemerintahan adalah kaum kapital atau para pemilik modal besar. Siapa punya uang, dialah yang bisa menduduki pemerintahan. Kemudian dengan kuasa dan jabatannya dibuatlah aturan sedemikian rupa agar melanggengkan atau melebarkan sayap bisnis pribadinya. Kemudian menguasai sektor vital masyarakat, termasuk penyediaan bahan pangan dalam negeri.
Penerapan sistem kapitalisme menjadikan negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pengelola urusan rakyat. Massifnya kapitalisasi korporasi pangan yang semakin menggurita inilah yang menyebabkan stabilitas harga pangan tak pernah terwujud, bahkan mimpi untuk menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan jauh dari harapan.
Kapitalisme ibarat lingkaran setan. Dalam sistem ini, yang kaya makin kaya, yang miskin semakin terpuruk dan sengsara. Tidak ada peluang bagi rakyat miskin untuk keluar dari kemiskinannya. Dengan demikian satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah mengganti sistem sekulerisme dan kapitalisme dengan sistem yang lebih baik dan sempurna.
Islam Solusi Tuntas
Islam merupakan agama sekaligus ideologi yang memiliki seperangkat aturan dalam menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia, termasuk dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam Islam, penguasa berperan dalam mengurus dan melayani umat. Dalam hal penyediaan pangan, tentu ini adalah salah satu persoalan pokok dan utama yang sangat diperhatikan dalam sebuah negara bersistem Islam.
Sistem Islam mengedepankan kemandirian pangan. Islam melarang keras meminta bantuan dari asing sehingga swasembada pangan adalah hal yang diutamakan untuk dicapai. Dalam Islam, negara dituntut untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri. Tanah-tanah produktif harus ditanami, tidak boleh terbengkalai. Negara menjamin kelancaran proses produksi ketersediaan stok pangan yang memadai bagi masyarakat. Selain itu, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas pertanian terus dilakukan. Sistem Islam lah satu-satunya yang mampu mewujudkan negara mandiri dengan swasembada pangan, kemudian menciptakan kehidupan makmur dan sejahtera yang hakiki bagi seluruh umat manusia. Waallhu a’lam bish shawab.
Posting Komentar