THR Berpajak, Kurang Puaskah Memeras Rakyat
Oleh: Fitri Khoirunisa, A.Md (Aktivis Muslimah)
Tunjangan yang di tunggu masyarakat setiap tahun sekali dan itupun tidak seberapa, kini THR pun dikenai pajak. Besarnya pajak yang ditarik di negri ini membuat rakyat makin tercekik, sebenarnya apa membuat pajak ini semakin tinggi. Tunjangan Hari Raya (THR) yang diberikan pekerja swasta akan dikenakan pajak. Bagi pegawai swasta tersebut dikenakan pajak penghasilan (PPh) sesuai Pasal 21. Pemotongan ini dilakukan langsung perusahan kemudian disetorkan ke kas negara. Penghitungan pajak dilakukan dengan metode tarif efektif rata-rata (TER) mulai 1 januari 2024. (detik.com/28/03/2024) Pemotongan PPh terhadap THR tersebut mengagetkan masyarakat sebab ini menggunakan mekanisme baru. Sejak 1 Januari 2024, pemerintah menerapkan skema penghitungan baru untuk potongan PPh Pasal 21. Skema baru ini menggunakan tarif efektif rata-rata (TER).
Berdasarkan skema yang ada, wajib pajak mesti menghitung jumlah penghasilan kena pajak (PKP) selama setahun. Tarif pajak lantas dikenakan ke PKP itu untuk mengetahui jumlah pajak yang harus dibayar dalam setahun. Angka setahun itu lalu dibagi 12 untuk mendapat angka potongan PPh bulanan.
Sedangkan berdasarkan mekanisme baru, potongan PPh dihitung tiap bulannya. Oleh karenanya, potongan PPh pada bulan Maret atas pemasukan yang mencakup THR jadi lebih besar dibandingkan Februari yang tanpa THR.
Dwi Astuti, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa TER tidak menambah beban pajak yang ditanggung oleh wajib pajak. Beban pajak kumulatif seseorang selama setahun akan tetap sama.
Namun, bagi pekerja, besarnya pajak pada Bulan Maret saat menerima THR tentu sangat terasa karena jumlahnya melonjak dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan uang THR sangat diharapkan untuk keperluan berlebaran seperti mudik, membeli sembako, dll.. Dengan demikian, potongan pajak yang melonjak akan membuat banyak mengurangi jumlah THR yang diterima. (Muslimahnews.net)
Permainan Kapitalistik
Negara kita sebagai penganut sistem kapitalisme inilah yang menjadikan pajak sebagai pendapatan yang sangat besar, Penerapan pajak atas THR pun merupakan praktik perekonomian khas kapitalisme ini. Ditambah lagi sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai pemasukan utama negara. Hal ini tampak pada besarnya porsi penerimaan pajak dibandingkan dengan penerimaan dari sumber lainnya.
Pada 2023, realisasi pendapatan negara mencapai Rp2.774,3 triliun. Adapun penerimaan perpajakan mencapai Rp2.155,4 triliun atau 77%. Sedangkan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) pada 2023 hanya Rp605,9 triliun atau 21%. (Katadata, 3-1-2024).
Dari pajak ini masyarakat semakin tertekan dengan penghasilan yang kecil harus menanggung pajak yang besar. Pajak yang senantiasa di Tarik oleh pemerintah dari pajak pembangunan dan layanan publik, nyatanya rakyat tidak menikmati hasilnya dari pemungutan pajak tersebut, contohnya seperti jalan tol, kereta cepat, dan sebagainya pun rakyat harus merogoh kantong dalam-dalam.
APBN Dalam Khilafah
Sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah ini tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara yang utama. Melainkan Sebaliknya, Khilafah memiliki banyak sekali pemasukan. Pos pendapatan Khilafah meliputi pertama, bagian fai dan kharaj. Mencakup seksi ganimah (ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak).
Kedua, bagian pemilikan umum, meliputi seksi migas, seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan, dan mata air, seksi hutan dan padang rumput; dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Ketiga, bagian sedekah, meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak. Khilafah akan mengoptimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum dan pungutan yang tidak memberatkan seperti zakat mal, jizyah, kharaj, dan lainnya. Dari semua pos pemasukan itu, Khilafah akan mendapatkan pemasukan yang besar sehingga tidak perlu utang dan menarik pajak.
Dharibah (pajak) hanyalah pemasukan yang bersifat insidental, tidak terus-menerus. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya ketika kas negara sedang kosong, sedangkan ada kebutuhan yang mendesak yang harus dipenuhi. Oleh karenanya, pajak bukanlah sumber pendapatan negara yang utama. Khilafah tidak akan memungut pajak dari seluruh rakyatnya (kaya maupun miskin) secara terus- menerus, sebagaimana negara kapitalis saat ini. Pajak hanya ditarik dari orang-orang kaya. Dengan pengaturan APBN yang bagus dalam Khilafah, akan terwujud kemandirian ekonomi sehingga tidak butuh penarikan pajak.
Dalam Khilafah Kesejahteraan Itu Rakyat Tercukupi
Khilafah akan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya, tiap-tiap orang, sepanjang waktu, bukan hanya dengan memberikan THR setahun sekali. Khilafah akan menggratiskan layanan pendidikan dan kesehatan sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan uang untuk memperolehnya.
Khilafah juga akan menerapkan sistem pengupahan yang adil, yaitu pekerja mendapatkan upah yang makruf (layak) sesuai hasil kerjanya sehingga cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
Berbagai fasilitas publik, seperti transportasi dan sebagainya, serta hasil pengelolaan SDA, seperti BBM dan gas, bisa rakyat akses dengan harga murah. Serangkaian kebijakan ekonomi inilah yang akan mewujudkan kesejahteraan hakiki bagi rakyat. Kesejahteraan yang terus-menerus, bukan hanya THR setahun sekali.
Posting Komentar