THR Tidak Merata, Potret Lemahnya Jaminan Negara Atas Kesejahteraan Pegawai
Oleh: Ummu Utsman
Bulan ramadhan adalah bulan yang penuh berkah, salah satu hal yang ditunggu oleh masyarakat adalah cairnya tunjangan hari raya (THR). Uang tersebut dipakai untuk keperluan persiapan hari raya idul fitri, namun kabar buruknya bahwa pemerintah memastikan perangkat desa dan honorer tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 tahun 2024 ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan perangkat desa, termasuk kepala desa, tidak termasuk aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana yang diatur undang-undang. Oleh sebab itu, pemerintah tidak menganggarkan THR untuk kelompok tersebut. (antaranews.com).
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas mengatakan ASN yang berhak menerima THR dan gaji ke-13 pada tahun ini adalah PNS, calon PNS, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), Prajurit TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, Wakil Menteri, Staf Khusus di Lingkungan Kementrian/Lembaga (K/L), Dewan Pengawas Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), Pimpinan dan Anggota Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah (DPRD), Hakim Ad hoc, Pimpinan, anggota dan pegawai non ASN pada perguruan tinggi negeri baru; aparatur negara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pensiunan, penerima pensiunan dan penerima tunjangan.
Azwar juga menjelaskan bahwa komponen THR yang akan diberikan ASN dari pemerintahan pusat meliputi gaji pokok dan tunjangan yang melekat pada gaji pokok (tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan structural), serta tunjangan kinerja (tukin) per bulan. Lalu, tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan kehormatan professor atau tambahan penghasilan guru juga akan diberikan secara penuh pada tahun ini, sementara komponen THR untuk pensiunan adalah pensiunan pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, dan tambahan penghasilan. Azwar juga menambahkan bahwa tenaga honorer tidak diberikan THR dan gaji ke-13. (voaindonesia.com).
Seharusnya semua pihak bisa mendapatkan tunjangan hari raya (THR) tanpa adanya perbedaan antara ASN, honorer maupun aparat desa, sejatinya posisi mereka sama yaitu menjadi abdi negara, adapun anggaran THR dan gaji ke-13 berasal dari APBN. Sudah seharusnya semua yang bekerja mengabdi pada negara mendapatkan THR, bukan dipilih-pilih sehingga tidak merata.
Kita bisa membayangkan nasib para tenaga honorer. Selama ini mereka mendapatkan gaji yang kecil, di bawah gaji ASN. Tentu ada harapan agar pada momen lebaran ada THR untuk melengkapi kebahagiaan Hari Raya. Namun, harapan itu sirna seiring pengumuman pemerintah tentang hal ini.
Dengan tidak meratanya THR dan gaji ke-13, pemerintah tampak membeda-bedakan antara satu pegawai dengan pegawai lainnya berdasarkan status ASN atau bukan ASN. Hal ini merupakan suatu kezaliman, padahal jika kita bicara tentang kebutuhan, semua rakyat kebutuhannya hampir sama ketika Lebaran. Ketika perangkat desa dan tenaga honorer tidak mendapatkan THR, bagaimana mereka bisa memenuhi kebutuhannya? Apakah mereka tidak berhak menikmati Lebaran dengan sukacita?
Kisruh THR seperti ini bukan hanya terjadi kali ini saja. Nyaris setiap tahun para pekerja, baik ASN maupun non-ASN, selalu diliputi was-was soal hak-hak dari pekerjaan mereka. Akankah dipenuhi atau tidak? Padahal, jumlah mereka yang bergaji hanya sebagian kecil saja dari rakyat Indonesia. Sementara itu, mayoritas lainnya hidup dengan pekerjaan yang tidak jelas, bahkan banyak yang berada di bawah garis kemiskinan. Lantas siapa yang bisa menjamin kehidupan mereka, jika urusan THR-ASN saja hebohnya luar biasa? Padahal, tunjangan ini pun hanya diberikan per tahun hanya satu kali saja!
Tenaga honorer dan perangkat desa tidak mendapat THR ini merupakan keniscayaan dalam sistem kapitalisme yang Indonesia terapkan hari ini. Sistem kapitalisme telah menjadikan kekayaan alam dikuasai oleh para segelintir oligarki. Akibatnya, hasil kekayaan alam yang semestinya masuk ke APBN dan digunakan untuk kesejahteraan rakyat justru masuk ke kantong para oligarki kapitalis.
Hasilnya, pundi uang para oligarki makin gendut, sedangkan APBN kurus sehingga hanya mengandalkan pada pemasukan dari pajak dan utang. Selain itu, sumber pemasukan negara di dalam sistem kapitalisme sangat terbatas, yang utama hanyalah pajak. Sedangkan sumber lain, tidak ada. Akibatnya, anggaran menjadi sempit. Anggaran negara yang kurus ini menjadikan pemerintah itung-itungan ketika hendak memberikan hak rakyat, termasuk THR. Seharusnya semua pegawai, apa pun statusnya, berhak mendapatkan THR. Akan tetapi, realisasinya tidak demikian. Para pejabat yang sudah kaya mendapatkan THR besar, sedangkan tenaga honorer yang kekurangan justru tidak mendapatkannya.
Islam menjamin kesejahteraan
Jika ingin selamat, negara harus menggantinya dengan sistem ekonomi Islam dalam bingkai negara islam yang telah terbukti mampu menyejahterakan warga selama berada-abad lamanya. Dalam pemerintahan Islam, negara berfungsi sebagai pihak sentral dalam mengurus seluruh urusan umat sehingga negara dengan kekuatan baitul malnya akan mampu menjamin kesejahteraan warga. Baitulmal dalam Daulah Khilafah memiliki 12 pos penerimaan tetap. Syekh Abdul Qadim Zallum menjelaskan dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah bahwa terdapat tiga bagian pemasukan negara.
Pertama, bagian fai dan kharaj, meliputi seksi ganimah (mencakup ganimah, fai, dan khumus), seksi kharaj, seksi status tanah, seksi jizyah, seksi fai, dan seksi dharibah (pajak).
Kedua, bagian pemilikan umum. Meliputi seksi migas, Seksi listrik, seksi pertambangan; seksi laut, sungai, perairan, dan mata air; seksi hutan dan padang rumput; dan seksi aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus.
Ketiga, bagian sedekah. Meliputi seksi zakat uang dan perdagangan, seksi zakat pertanian, dan seksi zakat ternak.
Dengan demikian, total ada 15 seksi pemasukan bagi baitulmal. Dengan banyaknya pos pemasukan ini, wajar pemasukan Daulah Khilafah sangat besar hingga mampu menyejahterakan rakyatnya dengan kesejahteraan hakiki, yaitu terpenuhinya sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan bagi tiap-tiap individu rakyat secara kontinu, bukan hanya pada momen-momen tertentu seperti Hari Raya. Negara Khilafah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ini bagi tiap-tiap rakyat, bukan hanya pegawai negara. Setiap warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, pegawai negara maupun bukan, semuanya berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan.
Adapun terkait pegawai negara, Khilafah akan menerapkan syariat Islam terkait pengupahan (ijarah). Allah Swt. berfirman, “Berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS Ath-Thalaq: 6).
Para pegawai mendapatkan gaji sesuai dengan akad yang mereka buat dengan negara. Akad itu mencakup jenis pekerjaan, jam kerja, tempat kerja, juga upah yang disepakati kedua belah pihak yang besarannya berbeda-beda sesuai besarnya tanggung jawab yang diemban. Adapun praktik THR di masa Utsmaniyah menunjukkan bahwa Khalifah dan penguasa lainnya membuka pintu rumah mereka selama Ramadan dan menyediakan hidangan berbuka puasa kepada masyarakat umum.
Ayşe Osmanoğlu, putri Sultan Abdül Hamid II, menyebutkan bahwa sang Sultan memberikan hadiah kepada para tamunya, terutama rakyat miskin. Sedangkan pada Idulfitri, para khalifah Utsmaniyah mengadakan perayaan Şeker Bayramı selama tiga hari penuh. Sepanjang perayaan, khalifah berbagi cokelat, baklava, dan permen bonbon. Demikian inilah potret idul fitri yang luar biasa, ketika islam dijadikan peraturan dalam hidup manusia bukan hanya menjamin kesejahteraan namun kebahagian bisa di rasakan oleh semua kalangan tanpa adanya perbedaan.
Wallahu A’lam Bish-shawwab.
Posting Komentar