Gelombang PHK Terus Terjadi, Bukti Gagalnya Sistem Kapitalisme
Oleh: Hamnah B. Lin
Satu per satu pabrik industri padat karya, seperti tekstil, garmen, hingga alas kaki di Indonesia menghentikan operasionalnya, alias tutup. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak terelakkan lagi. Namun siapa sangka, bukan hanya buruh/pekerja saja yang terdampak oleh adanya fenomena PHK, melainkan warga di sekitar pabrik yang tutup itu pun turut terkena imbasnya.
Pantauan CNBC Indonesia, Kamis (13/6/2024) di lokasi salah satu pabrik kosong di Provinsi Jawa Barat, tak ada lagi hiruk pikuk pekerja pabrik yang biasanya menghidupkan aktivitas ekonomi di wilayah sekitarnya. Hanya terlihat bekas-bekas lapak penjual yang ditinggalkan, seiring dengan semakin berkurangnya pekerja pabrik, hingga akhirnya tak tersisa.
Misalnya Komarudin, seorang Kepala Dusun yang tempat tinggalnya persis di samping pabrik, terpaksa harus menjual beberapa unit kontrakannya karena sepi akibat ditinggal para buruh.
"Saya dulu punya kontrakan 15 (pintu), sekarang hanya tersisa 11 (pintu) saja, empat nya lagi dijual setelah pabrik itu bangkrut. Sangat kerasa banget ya (dengan ditutupnya pabrik), karena nggak ada yang ngontrak, kan hasilnya dari kontrakan doang. Bukan sepi lagi pokoknya mah," kata Komarudin saat ditemui CNBC Indonesia ( CNBCIndonesia, 14/06/2024 ).
Dampak PHK kian meluas pada usaha warga di sekitar pabrik. Mulai dari usaha gojek yang sudah tidak jalan, kos - kos an, warung - warung makanan minuman, toko sembako hingga penjual sayuran dan buahan yang mangkal di depan pabrik saat pabrik buyaran saja.
Betapa korban PHK semakin meluas, banyak keluarga yang kehilangan mata pencaharian, semakin banyak rakyat yang tidak bisa mencukupi kebutuhan keluargnya. Kondisi makin parah ketika harus berhadapan dengan biaya kesehatan, pendidikan serta pajak. Uang pesangon tidak lagi bisa diharapkan untuk menopang semua kebutuhan. Demi menghemat pengeluaran, mereka akhirnya meminimalkan belanja. Perputaran ekonomi akhirnya melemah. Rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan dan terpaksa mencari kerja seadanya, yang penting dapat bertahan hidup. Masalah pendidikan dan kesehatan nomor sekian.
Kekhawatiran yang paling mendominasi masyarakat apabila banyak pekerja PHK yang belum juga mendapatkan pekerjaan. Mereka akan menambah deretan pengangguran di negeri sendiri. Ini sangat ironis. Di tengah gencarnya investasi yang masuk ke dalam negeri, anak bangsa justru menjadi tunakarya di negaranya. Kondisi macam ini tentu juga menjadi beban negara.
Kondisi seperti ini tentu segera dibutuhkan penanganan yang serius dan cepat, karena terkait dengan kebutuhan sehari - hari yang merupakan kebutuhan mendasar rakyat yang terus berjalan pemenuhannya. Namun solusi penguasa masih setengah-setengah. Misalnya, memberikan bantuan seperti BLT, PKH, sembako, dan yang lainnya untuk menjaga roda perekonomian terus berputar.
Pemerintah melalui perbankan juga memberi bantuan modal usaha, terutama UMKM. Sayangnya, modal yang diberikan terikat dengan riba. Riba adalah nyawa perekonomian kapitalisme hari ini.
Penyelesaian masalah pengangguran ini, ternyata malah melahirkan masalah baru. Bantuan yang diberikan selama ini hanya mampu menutupi kebutuhan sebagian masyarakat di waktu tertentu, ada pula bantuan yang salah sasaran. Selama masalah pengangguran tidak terselesaikan, masyarakat tetap akan kesulitan memenuhi kebutuhan. Artinya, penyelesaian itu tidak bisa secara tuntas membantu masyarakat.
Inilah buah busuk penerapan sistem kapitalisme negeri ini, dimana aturan dari Allah Sang Khalik tak perlu digunakan. Aturan manusia lah sebagai standartnya, maka tak ayal orientasi materi atau mendapat untung sebanyak -banyaknya lah yang akan diburu oleh para pengusaha maupun penguasa. Pengusaha akan mati - matian bagaimana supaya tidak bangkrut, hingga akhirnya buruh menjadi tumbal segala kebijakannya.
Sungguh hal ini sangat jauh jika Islam diterapkan, Negara yang menerapkan sistem Islam, yakni Khilafah Islamiah, akan menjalankan politik ekonomi Islam ini dengan mekanisme langsung dan tidak langsung. Melalui mekanisme langsung, Khilafah akan menyediakan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara cuma-cuma sehingga rakyat (termasuk pekerja) tidak terbebani biaya besar untuk tiga kebutuhan tersebut. Penggratisan ini niscaya terjadi karena dibiayai dari baitulmal yang memiliki pemasukan yang besar, utamanya dari pengelolaan harta milik umum seperti pertambangan, hutan, laut, dan sebagainya.
Negara Khilafah melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan kerja dalam skala massal. Khilafah juga memajukan pertanian, peternakan, dan perdagangan sehingga menyerap banyak tenaga kerja.
Khilafah juga mewujudkan iklim usaha yang kondusif dengan pemberian modal usaha, bimbingan usaha, dan meniadakan berbagai pungutan sehingga muncul banyak wirausahawan di berbagai bidang. Hal ini juga berujung pembukaan lapangan kerja. Dengan serangkaian kebijakan ini, rakyat akan terjamin mendapatkan pekerjaan. Tidak ada rakyat (laki-laki dewasa) yang menganggur.
Dengan optimalisasi industri dalam negeri, kebutuhan produk untuk pasar lokal akan tercukupi sehingga tidak diperlukan impor, utamanya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, serta alat untuk pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian, Khilafah tidak akan tergantung pada impor produk asing.
Khalifah juga memastikan seluruh akad - akad antara pekerja dan pengusaha adalah akad syar'i, sehingga para pekerja ataupun buruh bekerja dengan tenang dan setulus hati, tanpa dihantui rasa cemas dan takut di PHK.
Keseluruhan kebijakan ini hanya dapat terwujud jika sistem Islam telah terlaksana dalam sebuah negara yang dipimpin oleh Khalifah yang bertakwa dan meenjalankan seluruh syariat Allah SWT.
Wallahu a'lam.
Posting Komentar