-->

Harga Beras Melambung, Petani Buntung

Oleh: Tri Setiawati, S.Si

Harga beras naik lagi. Secara resmi Badan Pangan Nasional (Bapanas) telah menerbitkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium. Dengan terbitnya aturan ini, kenaikan harga beras yang ditetapkan sebelumnya melalui relaksasi HET, menjadi HET permanen. Berdasarkan Perbadan Nomor 5 Tahun 2024, kenaikan harga beras di tingkat konsumen akan diatur berdasarkan wilayah masing-masing (Tirto.id, 07/06/ 2024).

Kenaikan HET tersebut tidak berimbas pada konsumen. Menurut analis senior Indonesia Strateic and Economic, Ronny P. Sasmita, kenaikan HET beras tersebut sejatinya hanya formalitas sebab pada kenyataannya harga beras sudah lama bergerak di level Rp.13.000nper kilogram hingga Rp.15.000 per kilogram, baik untuk jenis premium maupun medium.(Ekonomi.bisnis.com, 24/05/2024). Menurutnya, daya beli konsumen sudah tertekan oleh harga beras yang tingi sejak beberapa waktu yang lalu. Dengan demikian penetapan relaksasi HET beras menjadi permanen tidak terlalu berimbas pada masyarakat.

Namun di sisi lain, penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras tidak mengalami kenaikan, sehingga petani sama sekali tidak ikut menikmati kenaikan harga beras tersebut. Hal ini kian diperburuk dengan mahalnya dan langkanya harga pupuk yang membuat biaya produksi petani kian mahal. Sehingga realitanya sekalipun harga beras naik para petani tetap tidak sejahtera sebab meskipun misalnya petani mendapat keuntungan, namun harga kebutuhan bahan-bahan pokok lainnya pun ikut melambung. Dengan kata lain alih-alih petani diuntungkan dengan kenaikan harga beras, namun justru yang terjadi petani kian buntung.

Ironinya, pemerintah mengambil solusi atas kondisi ini dengan menggenjot impor beras dari negara lain. Impor Indonesia untuk beras umum dan khusus telah mencapai 4,04 juta ton yang terdiri dari 3,6 juta ton beras umum dan 400 ribu ton beras khusus. (Tirto, 7-6-2024). Akibatnya beras impor membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah, sehingga daya beli masyarakat terhadap beras lokal semakin menurun, dan petani pun semakin tidak beruntung .

Akar masalah kenaikan harga beras bukan terletak pada harga, namun rusaknya rantai distribusi beras. Hal ini bisa dilihat dari sektor hulu, ada larangan bagi petani untuk menjual beras langsung ke konsumen. Aturan ini menyebabkan para petani mau tidak mau menjual gabah mereka kepada para tengkulak. Sementara di lapangan, banyak Perusahaan besar yang siap memonopoli gabah dari petani. Mereka membeli gabah dari petani dengan harga yang relative lebih tinggi dari para tengkulak kecil sehingga banyak diantara mereka yang gulung tikar karena tidak mendapatkan pasokan gabah. Sementara di sektor hilir Perusahaan besar tersebut menguasai rantai distribusi. Setelah mendapatkan gabah dari petani, mereka menggiling gabah tersebut dengan teknologi canggih sehingga menghasilkan beras berkualitas premium dan selanjutnya mereka menguasai pasar dengan menjual beras bermerk di supermarket-supermaket yang konsumennya dapat dipastikan dari golongan menengah ke atas. Monopoli beras dari hulu ke hilir ini menyebabkan Perusahaan besar mampu mempermainkan dan mengendalikan harga beras di pasar sesuai dengan kepentingannya . Akibatnya terjadilah kekacauan antara supplay dan demand. Praktek ini jelas merugikan konsumen dan para petani.

Kebijakan impor beras pun justru memburuk kondisi. Sebagai dampaknya, para mafia pangan kembali bermain. Kebijakan impor dan fleksibilitas harga yang diterapkan pemerintah ini akhirnya dimanfaatkan para mafia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Modusnya, mereka memborong beras Bulog berharga murah dan menimbunnya, termasuk beras yang dijual saat operasi pasar. Lalu, pada saat yang tepat, mereka lempar ke pasar dan menjualnya dengan harga berkali lipat. Mereka pun tidak sungkan mengoplos beras sekelas premium dengan beras biasa, lalu mengemasnya seakan-akan beras berharga mahal.

Realita ini sebenarnya disadari olah sebagian public dan negara pun mengetahuinya, namun tidak banyak yang dapat dilakukan karena praktek mafia pangan memang lazim terjadi dalam system ekonomi kapitalisme. System ekonomi ini menganut paham kebebasan kepemilikan. Asal memiliki modal apa pun bisa, termasuk memonopoli bahan pangan. Oleh karena itu selama system ekonomi kapitalisme masih bercokol dan diterapkan di negeri ini maka mafia dan kartel pangan akan tetap selamanya tumbuh subur.

Pemerintah atau negara seharusnya memiliki peran yang cukup besar dalam menyolusi berbagai faktor penyebab naiknya harga pangan, khususnya beras. Posisinya tidak boleh kalah oleh siapa pun yang hendak merugikan rakyat, termasuk para mafia, kartel, dan para oligarki. Di tangan pemerintahlah segala kebijakan berasal. Di tangan mereka pula segala sumber daya sejatinya berada. Pertanyaannya, kok bisa negara begitu tidak berdaya?

Kehidupan di negara kita sudah sejak lama menggunakan paradigma sekularisme liberal serta menerapkan sistem kapitalisme dalam strategi politik ekonominya. Hal inilah yang  membuat negara tidak mampu berperan sebagaimana seharusnya. Alih-alih menjadi pengurus dan penjaga rakyat, negara hanya berperan sebagai regulator saja. Akibatnya berbagai sektor kehidupan, termasuk pangan, diatur sesuai mekanisme pasar bebas. Mekanisme pasar bebas ini mengharuskan seluruh negara di dunia, termasuk Indonesia, menerima berbagai perjanjian internasional, salah satunya yang mengatur soal tarif dan masuknya produk pertanian ke kancah liberalisasi pasar. Dengan demikian kemandirian dan kedaulatan negara benar-benar tergadaikan. Oleh karenanya, dalam sistem ini, siapa pun aktor di luar negara bisa masuk dan mengendalikan pasar sesuai penguasaan mereka akan sumber daya. Para pemilik modal, lokal dan mancanegara, bisa mengendalikan segalanya, bahkan mengalahkan fungsi negara.

Tata kelola dan aturan dalam penerapan system ekonomi kapitalisme sekulerisme telah terbukti secara nyata selama puluhan tahun tidak mampu membawa kepada kesejahteraan seluruh rakyat. Hal ini sangat berbeda dengan tata Kelola dan aturan yang bersumber pada Dzat yang Maha Sempurna, yaitu system ekonomi islam. Dalam pengelolaan system ini, negara wajib memberikan jaminan kesejahteraan bagi seluruh rakyat baik konsumen maupun petani, individu per individu. Tuntutan ini merupakan perintah dari Rosulullah SAW yang berbunyi: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya” (HR-Bukhari).

Terkait dengan kenaikan harga beras, system ekonomi Islam akan menyelesaikan dari akar permasalahannya. Jika akar masalahnya pada proses produksi, maka negara akan memberikan subsidi kepada petani seperti pupuk, bibit, saprotan dan lainnya secara gratis. Negara pun akan memperbaiki aspek ekstensifikasi pertanian untuk mengoptimalkan produksi gabah. Jika akar masalahnya pada proses distribusi karena adanya mafia dan kartel pangan maka negara akan memutus rantai tersebut. Dalam Islam monopoli dagang dan penimbunan tidak diperbolehkan karena akan merusak mekanisme pasar. Siapa pun yang berani melakukannya maka negara akan memberikan sanksi dan kewajiban untuk mengembalikan barang-barang yang ditimbunnya ke pasar, dengan mekanisme seperti ini para petani bisa menjual  gabahnya langsung ke konsumen atau ke tengkulak. Sementara konsumen akan mendapat harga terjangkau dari produsen. Selain memperlancar produksi dan distribusi, negara pun akan memastikan harga-harga yang ada dipasar mengikuti mekanisme pasar dan tidak melakukan pematokan /intervensi harga barang. Rasulullah SAW tidak pernah mematok harga barang-barang di pasar, semuanya dikembalikan kepada mekanisme pasar sebagaimana Hadist : “Allah-lah yang Dzat Maha Mencipta, Menggenggam, Melapangkan rezeki, Memberi rezeki dan Mematok harga.”(HR Ahmad dari Anas). Namun Islam tidak melarang intervesi barang ke pasar, hal ini dilakukan tatkala suatu wilayah tidak mampu memproduksi suatu barang karena bencana atau yang lainnya, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khatab. Wallahu’alam bi shawab