-->

Harga Beras Melangit, Hidup Rakyat Makin Sulit


Oleh: Hamnah B. Lin

Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) resmi menetapkan Peraturan Badan Pangan Nasional (Perbadan) tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras medium dan premium. Melalui Perbadan Nomor 5 tahun 2024 tentang Perubahan atas Perbadan Nomor 7 tahun 2023 tentang HET Beras, harga beras medium, dan beras premium diatur berdasarkan wilayah. . Beras medium HET paling rendahnya Rp12.500 dan beras premium HET paling rendah Rp14.900. (Tirto, 7-6-2024).

Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mengungkapkan, penetapan regulasi HET beras ini menguatkan kebijakan relaksasi yang telah diberlakukan melalui Keputusan Kepala NFA sebelumnya. Arief menegaskan, penyesuaian HET beras tidak terpisahkan dari upaya stabilisasi pasokan dan harga beras, di mana kebijakan di hulu juga selaras dengan di hilirnya (CNBCIndonesia, 8/06/2024 ).

Pemerintah menganggap pematokan harga beras ini untuk melindungi produsen dan konsumen. Dengan begitu, harapannya harga beras akan stabil dan tidak bertambah tinggi. Selain itu, upaya ini digadang-gadang sebagai salah satu cara melindungi harga pasar dari distributor-distributor nakal yang suka mempermainkan harga.

Namun, kenaikan HET beras ini ternyata lumayan banyak. Beras medium yang awalnya memiliki HET Rp10.900, naik menjadi Rp12.500. Sedangkan beras premium yang harga mulanya Rp13.900, naik jadi Rp14.900. Kenaikan ini tentu membuat masyarakat merasakan mahalnya beli beras. Ini mengingat kondisi ekonomi sekarang yang tidak karuan.

Ekonom dari Pusat Analisis Kebijakan Strategis (PAKTA) Muhammad Hatta menilai, ada banyak faktor penyebab harga beras naik, di antaranya, tanah pertanian yang terus berkurang, masalah sumber daya air, ketersediaan modal, sumber daya manusia, teknologi, penimbunan, dan mekanisme pembentukan harga.

“Sebagai gambaran, luas panen dan produksi padi dalam satu dekade ini, kita lihat data dari BPS dan Dokumen Statistik Indonesia 2010—2021, populasi Indonesia itu 234,2 juta jiwa tahun 2010. Tahun 2021 mencapai 272,7 juta jiwa, jadi bertambah 38,5 juta jiwa. Tetapi luas panen justru minus 2,3 juta hektar sehingga produksi turun 9,9 juta ton,” urainya. Konsumsi beras Indonesia, ucapnya, 30 juta ton per tahun, sedangkan produksinya hanya 28 juta ton akibat luas lahan pertanian yang terus menyusut.

Meski petani adalah ujung tombok sektor pangan, tetap yang berkuasa dalam distribusi beras hingga bisa mengatur harga beras di pasaran adalah para pengusaha dan mafia pangan. Ekonom Pertanian dari Center of Reform on Economics (Core) Eliza Mardian mengkritisi kondisi struktur pasar komoditas pertanian yang cenderung di tingkat petani dan oligopoli di tahapan selanjutnya sehingga menyebabkan salah satu pihak memiliki keunggulan dalam pengambilan keputusan, termasuk soal harga.

Dikenal sebagai negara agraris, tidak lantas kesejahteraan petaninya berakhir manis. Petani bisa berujung tragis dan menangis jika kebijakan negara perihal pangan masih berkiblat pada sistem kapitalistis. Riayah (pengurusan) negara pun mandul, kebijakan pangan tumpul, berujung rakyat ikut tersungkur.

Pangan, dalam hal ini kebutuhan pokok semisal beras, merupakan hal krusial. Alhasil, negara tidak boleh bergantung pada negara lain. Negara harusnya memberi subsidi besar bagi para petani agar mereka dapat memproduksi beras dengan biaya ringan dan keuntungan bisa besar.

Berkaitan dengan beras, pasti bicara tentang lahan pertanian, alat produksi, dan petani itu sendiri. Petani tanpa tanah pertanian bagaikan sopir tanpa mobil. Tanpa tanah, kehidupan petani akan tenggelam. Bisa kita saksikan hari ini betapa banyak lahan-lahan kosong bertuan, tetapi tidak dikelola.

Di antara kebijakan yang akan diambil jika negara mau menerapkan sistem Islam adalah sebagai berikut.

Pertama, menghentikan impor dan memberdayakan sektor pertanian. Sejak menjamurnya sektor industri, pertanian seolah dipandang sebelah mata. Lahan pertanian kian digusur karena disulap menjadi bisnis real estate dan profesi petani pun kian langka seiring penggusuran lahan sawah milik petani. Akibatnya, Indonesia banyak kehilangan lahan pertanian yang sejatinya sangat cukup mewujudkan swasembada pangan. 

Kedua, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian. Intensifikasi dilakukan dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan dengan penyebarluasan dan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; serta membantu pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk, dan sarana produksi pertanian lainnya. 

Ketiga, kebijakan distribusi pangan yang adil dan merata. Islam melarang penimbunan barang dan permainan harga di pasar. Dengan larangan ini, stabilitas harga pangan akan terjaga. Negara pun akan memastikan agar stok beras di pasaran tidak langka. Negara akan menindak tegas kartel dan mafia pangan yang berupaya memonopoli harga beras di pasar.

Selain itu, kebijakan distribusi pangan dilakukan dengan melihat setiap kebutuhan pangan per kepala. Dengan begitu, akan diketahui berapa banyak kebutuhan yang harus dipenuhi negara untuk setiap keluarga.

Terkait dengan mekanisme pembentukan harga, Khilafah tidak melakukan pematokan harga (tas’ir), harga dibiarkan terbentuk secara alami sesuai dengan permintaan dan penawaran di pasar. Dengan demikian, negara tidak menentukan HET. Negara menurunkan harga melalui kebijakan membenahi sektor hulu dan hilir sehingga harganya terjangkau dan stabil.
Wallahu a'lam.