Institusi Pemersatu Umat, Urgen dan Mendesak
(Ida Nurchayati, Kontributor Pena Mabda)
"Ketika jamaah haji seluruh dunia melaksanakan wukuf di Arafah, muslim di luar Makkah menjalankan Puasa Arafah. Esok harinya, semua muslim bersama merayakan
Idul Adha serentak dihari yang sama. Begitu indah Allah menyatukan orang beriman".
Namun indahnya kebersamaan masih sebatas angan. Umat kembali terbelah, Idul Adha tahun 1445 H kembali berbeda. Pemerintah Saudi menetapkan hari raya Idul Adha jatuh pada hari Ahad, 16 Juni 2024, sementara dibelahan bumi yang lain, karena beda negara, Idul Adha jatuh pada hari Senin, 17 Juni 2024.
Sekat Nasionalisme
Umat Islam adalah umat yang satu, diikat dengan akidah yang sama, kiblat yang sama, seharusnya sama dalam berhari raya. Sebagaimana jamaah haji sama dalam pelaksanaan ibadah haji.
Namun kebersamaan berhari raya sulit diwujudkan karena umat terpecah dan terkotak-kotak menjadi lebih 50 negara. Masing-masing disekat dengan negara berbeda, dan bangga berbalut nasionalisme dengan warna bendera yang aneka rupa. Sekat imajiner hasil rekayasa penjajah untuk memecah-belah dan melemahkan umat.
Sebelum Perang Dunia Pertama, umat Islam adalah umat yang satu dibawah kibaran bendera Liwa Roya warisan Rasulullah SAW. Namun sejak Perjanjian Sykes Picot (1916), penjajah kafir barat membagi umat menjadi negara bangsa yang kecil dan lemah. Masing-masing wilayah mengangkat penguasa dengan otoritas berbeda.
Ashabiyah bukan Hujah
Penentuan hari Arafah dan Idul Adha merupakan rangkaian ibadah haji, waktunya ditentukan awal bulan DUlhijjah oleh penguasa pelaksana haji yakni amir Makkah. Sebagaimana Rasulullah SAW memerintahkan, penentuan awal bulan Dzulhijjah wajib diputuskan amir Makkah, bukan berdasarkan otoritas masing-masing pemimpin negeri kaum Muslim. Husayn bin Harits al-Jadali telah mengatakan, Amir Makkah, al-Harits bin Hatib telah berkhutbah kepada kami
"Kami telah diperintahkan Rasulullah SAW untuk mengerjakan manasik (ibadah haji) karena melihat hilal (Bulan Dzulhijjah). Jika kami tidak melihat hilal, lalu ada dua orang saksi yang adil melihat hilal, maka kami pun akan mengerjakan manasik haji berdasarkan kesaksian mereka berdua (HR Abu Dawud dan ad-Daraquthni).
Hujjah (dalil) yang saat ini tidak dipandang dan tak dihiraukan karena dorongan ashabiyah yang kuat pada diri muslim termasuk penguasanya. Masing-masing negara melakukan rukyat diwilayahnya, pada akhirnya umat merayakan Idul Adha dihari yang berbeda.
Nasionalisme Berbahaya
Umat Islam pernah mengalami kejayaan, menjadi negara adidaya karena bersatu dalam satu kepemimpinan, dibawah satu bendera. Namun, kini tak berdaya. Meski umat Islam lebih dari 2 milyar, ibarat buih di lautan tanpa kekuatan. Nasibnya seperti hidangan yang diperebutkan musuh-musuhnya. Bak anak ayam yang kehilangan induknya
Ketakberdayaan umat tampak nyata pada penderitaan muslim Palestina. Sejak zionis mendirikan negara Israel tahun 1948 hingga kini, nasibnya sungguh memprihatinkan. Rakyat Palestina sengsara dibawah penjajahan zionis laknatullah. Sementara muslim dinegara lain hanya bisa menyaksikan penderitaan mereka namun tak kuasa memberi pertolongan. Bahkan tak berdaya menghadapi zionis yang jumlahnya tidak lebih 10 juta.
Sekat nasionalisme warisan penjajah telah membelenggu umat. Muslim satu tubuh telah hilang diganti ikatan ashabiyah jahiliyah, sehingga memandang muslim Palestina bukan bagian dari mereka. Diperparah dengan penyakit wahn yang ada pada diri penguasa muslim. Betapa dunia menyaksikan pengkhianatan mereka yang diam berpangkutangan melihat saudaranya, muslim Palestina dibantai didepan mata. Padahal mereka memiliki kekuatan untuk mengerahkan pasukan militer untuk menolong saudaranya. Entah, hujah apa yang kelak mereka sampaikan didepan Rabbnya.
Urgensi Khilafah
Umat Islam sudah seharusnya berjuang mengembalikan khilafah islamiyah. Institusi yang akan menyatukan umat dibawah satu kepemimpinan, sehingga umat Islam bisa berhari raya yang sama. Lebih jauh khilafah akan membebaskan dan memerdekakan bangsa Palestina sebagaimana dilakukan oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab dan Shalahuddin Al-Ayubi yang mampu merebut Baitul Maqdis dari tentara salib. Palestina mampu dibebaskan karena umat bersatu dalam satu kepemimpinan politik dan militer. Maka urgen dan mendesak bagi umat Islam untuk menegakkan kembali institusi khilafah islamiyah. Keberadaannya bukan semata karena kebutuhan bahkan mahkota kewajiban dari Allah SWT.
Wallahu a'lam.
Posting Komentar