-->

Tapera Buah Dari Kapitalisme

Oleh : Tri S, S.Si

Polemik Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera ) terus bergulir setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tapera. Gelombang penolakan terus terjadi, lantaran PP tersebut akan mewajibkan perusahaan memotong gaji pekerja swasta. Tak hanya buruh, pengusaha pun menolak pemotongan gaji pekerja sebesar 2,5% dan 0,5% dari perusahaan guna membantu pembiayaan pembelian rumah. Kewajiban iuran Tapera akan menambah beban kelas menengah di Indonesia, lantaran daftar potongan gaji yang diterima karyawan semakin panjang. Kebijakan ini dianggap memberatkan pekerja karena mereka diwajibkan untuk menjadi peserta (sindonews.com, 29/05/2024).

Peserta Tapera anatara lain ASN, pegawai BUMN, BUMD, Swasta, dan lainnya, iuran akan dibayarkan oleh pemberi kerja dengan memotong gaji pekerja 2,5% dan dibantu oleh pemberi pekerja 0,5%. Jika pemberi kerja tidak mendaftarkan pekerja menjadi peserta Tapera, pemberi kerja akan mendapatkan sanksi sesuai pasal 56 ayat (1) PP 25 Tahun 2020.
Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, denda administratif, memublikasikan ketidakpatuhan pemberi kerja, pembekuan izin usaha, dan/atau pencabutan izin usaha. Benarkah Tapera menjadi solusi bagi MBR untuk memperoleh rumah murah?

Kehadiran Peraturan Pemerintah (PP) ini bukan memudahkan, tetapi menyulitkan untuk mendapatkan rumah yang murah dan layak untuk ditempati. Sehingga Tapera hanya ilusi, bukan solusi bagi MBR untuk memperoleh rumah murah. Sehingga wajar mendapat penolakan dari rakyat terutama kaum buruh di mana sejak tiga tahun terakhir tidak ada kenaikan upah kerjanya. 

Dalam Islam, hunian adalah salah satu kebutuhan asasi (primer) selain sandang dan pangan. Setiap kepala rumah tangga wajib menyediakan tempat tinggal bagi keluarga mereka. Allah Swt. berfirman, “Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal sesuai dengan kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” 
(TQS Ath-Thalaq [65]: 6).

Jika kepala rumah tangga tidak mampu memberikan hunian yang layak bagi istri maka negara yang akan membantunya. Negara tidak akan berlepas tangan memenuhi kebutuhan rakyatnya, tidak seperti Tapera. Melalui Tapera, rakyat dipaksa saling menanggung, baik yang mampu maupun yang tidak mampu. Sama seperti BPJS, negara berlepas tangan dari kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara malah memaksa rakyat saling menanggung pelayanan kesehatan untuk mereka.

Sebaliknya, Islam mewajibkan negara (Khilafah) untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah dengan mekanisme antara lain :
Pertama, negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah, baik rumah pribadi maupun rumah sewaan.
Kedua, negara melarang praktik ribawi dalam jual beli kredit perumahan. Riba untuk tujuan apa pun adalah dosa besar. 
Ketiga, negara harus menghilangkan penguasaan lahan yang luas oleh segelintir orang/korporasi. 
Keempat, negara dapat memberikan lahan kepada rakyat yang mampu mengelola lahan tersebut. Negara juga dapat memberikan insentif atau subsidi kepada rakyat untuk kemaslahatan hidup mereka, termasuk untuk memudahkan mereka memiliki hunian. 

Itulah solusi kongkrit dalam persoalan hunian. Islam adalah satu-satunya ideologi yang menjamin keadilan dan menghilangkan kezaliman akibat hukum-hukum dan ideologi buatan manusia.

Wallahualam.