UKT Semakin Tinggi, Mahasiswa Baru Undur diri
Oleh: Ilma Kurnia P, S.P (Pemerhati Generasi)
Ramai menjadi perbincangan mahasiswa dan para calon mahasiswa baru mengenai kenaikan UKT yang semakin tinggi menuai aksi penolakan. Dikutip dari kompas.com (20/5/2024) menyebutkan ada sekitar 50 orang calon mahasiswa baru (Camaba) Universitas Riau (Unri) yang lolos Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) memutuskan mundur dari Universitas Riau karena merasa tidak sanggup untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT). Hal itu diungkapkan Presiden Mahasiswa Unri Muhammad Ravi dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Komisi X DPR, Merespons hal tersebut, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) Prof. Abdul Haris mengatakan, sebenarnya calon mahasiswa bisa mengajukan keringanan UKT ke pihak kampus. Tak hanya itu, pendidikan tinggi juga dianggap sebagai pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Untuk pendidikan wajib di Indonesia hanya berlaku dari SD, SMP dan SMA. Walaupun pemerintah telah menguncurkan Bantuan Operasional Pergururuan Tinggi Negeri (BOPTN). Akan tetapi, belum bisa menutup semua kebutuhan operasional atau setara dengan biaya tunggal (BKT). (CNN Indonesia, 18/05/2024).
Tentu ini menyebabkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat karena, pendidikan kuliah yang dianggap sebagai barang mewah dan tidak setiap warga bisa menempuhnya karena terhalang secara ekonomi. Padahal, kuliah merupakan bagian dari menuntut ilmu dan bagian dari hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Selain itu, kenaikan UKT berakibat fatal pada dunia pendidikan hari ini. Salah satunya adalah sulitnya masyarakat dalam mengakses pendidikan yang tinggi, kurangnya generasi terdidik yang memiliki peran dalam melanjutkan estafet kepeminpinan bangsa ini. Akibatnya, bangsa ini berpotensi menjadi jajahan bangsa lain. Padahal SDM berkualitas memiliki peranan penting dalam membangun negara. Diakui atau tidak, mahalnya UKT perguruan tinggi karena rusaknya tata kelola pendidikan sistem kapitalisme di negeri ini. Sistem yang hanya terfokus pada asas materialistik. Dengan penetapan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum menunjukan bahwa PTN tidak hanya sebagai lembaga pendidikan sekaligus menjadi ladang bisnis. Ini berdasarkan pada konsep Triple Helix yakni penggabungan tiga unsur antara pemerintah, pendidikan dan bisnis. Sehingga pendidikan dalam sistem ini mutlak untuk dikomersialisasi. Untuk memenuhi program tersebut kampus melakukan berbagai cara. Diantaranya dengan mencari proyek yang menghasilkan cuan, membuka jalur mandiri yang sangat mahal, membuka berbagai macam program studi baru yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar, termasuk dengan menaikkan UKT. Apalagi dengan adanya regulasi PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) yang memberi keleluasaan kepada kampus untuk menaikkan UKT mahasiswa. Karena, disesuaikan dengan kebutuhan operasional kampus akibat subsidi pendidikan dari negara berkurang.
Sementara itu, negara abai terhadap tanggung jawabnya. Dimana seharusnya Negara melayani dan memenuhi kebutuhan rakyat. Tetapi negara menjadi pelayan bagi korporat. Termasuk pendidikan yang didesain untuk memenuhi keserakahan para koorporat. Karena, negara hanya menjadi regulator antara penguasa dan pengusaha. Hal ini bertentangan dengan cita-cita bangsa yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Aibat mahalnya UKT banyak anak yang tidak bisa menempuhnya karena tidak ada biaya. Tak hanya itu, pola hubungan dalam pendidikan menyesuaikan dengan proses industrialisasi. Pendidikan selalu diarahkan pada kepentingan dagang atau politik. Budaya belajar bergeser menjadi budaya ekonomis, yaitu upaya mempersiapkan tenaga produktif untuk dijual dalam bursa kerja. Karakter pembelajar yang dibangun adalah sekularis, hedonis, materialis, individualis dan pragmatis.
Berbeda dengan Islam, pendidikan dalam Islam merupakan salah satu kebutuhan pokok yang menjadi tanggung jawab negara. Negara menjadi pihak yang bertanggung jawab dalam formalisasi pendidikan Islam seperti kebijakan terkait tujuan, strategi, kurikulum dan perbukuan; metode kegiatan belajar mengajar, ijazah dan sertifikasi; penetapan usia sekolah, jenjang pendidikan, kalender pendidikan, standardisasi pendidik dan tenaga kependidikan; sarana dan prasarana; akreditasi lembaga; penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; kerjasama internasional; serta pembiayaan. Seluruh pembiayaan pendidikan di dalam sistem Islam diambil dari Baitul Mal yang berasal dari pos fai’ dan kharaj, pos milkiyyah ‘aammah, serta pos pemasukan besarnya berasal dari pos kepemilikan umum, pos kepemilikan negara, dan pos zakat mal. Selain itu, pembiayaan pendidikan juga terdiri dari wakaf untuk pendidikan dari individu yang kaya dan cinta ilmu. Mereka menyediakan pendidikan gratis, riset, dan lain-lain. Individu Muslim yang kaya didorong memiliki motivasi ruhiah memberikan hartanya untuk dunia pendidikan karena berharap pahala dan rida Allah. Wallahua’lam bishawab…
Posting Komentar