-->

Aturan Baru Disyahkan Bagi Pekerja Perempuan: Makin Merusak Keluarga


Oleh: Hamnah B. Lin 

Dilansir oleh okefinance tanggal 3/7/2024 bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2024 tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan yang mengatur tentang cuti melahirkan hingga maksimal 6 bulan. UU tersebut diteken per 2 Juli 2024.

Dijelaskan dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf a, ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti paling singkat adalah 3 bulan bila mengandung dan melahirkan anak. Kemudian paling lama mendapat 3 bulan tambahan apabila terdapat kondisi khusus yang terjadi pada ibu atau anak yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Disebutkan bahwa cuti tambahan 3 bulan dapat diberikan bila ibu mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, komplikasi pasca persalinan, atau keguguran. Juga anak yang dilahirkan mengalami masalah kesehatan, gangguan kesehatan, dan atau komplikasi.

Sementara itu diatur dalam Pasal 4 Ayat (3) huruf b bahwa seorang ibu yang mengandung dan mengalami masalah seperti keguguran juga berhak diberikan waktu istirahat selama satu setengah bulan sesuai dengan surat keterangan dokter, dokter kebidanan dan kandungan, atau bidan.

Sepertinya aturan ini tampak indah memihak perempuan, alih-alih membela kepentingan kaum perempuan, jangan sampai UU ini justru mendiskriminasikan mereka. Dampak dari cuti enam bulan pascamelahirkan ialah perusahaan akan mengutamakan merekrut karyawan laki-laki. Ini karena perusahaan pasti tidak mau mengalami kerugian dan bisa jadi memberlakukan syarat rekrut untuk perempuan, yakni perempuan yang direkrut harus belum menikah atau tidak menikah selama terikat masa kerja.

UU ini seolah-olah juga dirancang untuk mewujudkan kesejahteraan bagi ibu dan anak. Namun, ternyata hal yang mendasari lahirnya UU ini bukanlah semangat untuk menyejahterakan keduanya, melainkan peraihan target ekonomi. Presiden Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Konfederasi Sarbumusi Irham Ali Saifuddin menjelaskan bahwa pengesahan UU KIA membuktikan bahwa negara terus bergerak membangun dunia kerja yang inklusif dan produktif bagi perempuan.

Menurutnya, UU ini akan meningkatkan partisipasi perempuan di dunia kerja dan kontribusinya terhadap peningkatan produktivitas nasional. Selama ini kendala-kendala maternitas dan reproduksi menjadi alasan utama yang menghambat kaum perempuan berpartisipasi di dunia kerja.

Maka dari itu, para pekerja perempuan jangan langsung gembira atas UU ini. Kepedulian pemerintah terhadap kesejahteraan perempuan selama ini terbukti hanya pepesan kosong saja. Faktanya perempuan tetap dalam eksploitasi mesin kapitalisme. UU ini “angin surga” untuk menenangkan kaum ibu dan memastikan mereka tetap berdaya guna.
Melihat kondisi pekerja perempuan di negeri ini cukup kompleks, apalagi setelah diterapkannya kebijakan pasar kerja fleksibel (mekanisme kerja kontrak dan outsourcing). Para kapitalis menjadikan perempuan seperti barang yang dapat diperjualbelikan dan diperas tenaganya untuk keuntungan perusahaan. 

Ditambah lagi, pekerja perempuan mengalami beban ganda (double burden) dalam relasi kerja kapitalisme. Pada satu sisi mereka bekerja untuk mendapat upah, sedangkan di sisi yang lain mereka setengah mati menjalankan peran sebagai ibu atau istri dalam ranah domestik. Akhirnya, ranah domestik pun ditinggalkan.

Nasib perempuan dalam sistem kapitalisme akan terus didorong untuk bekerja dan aktif di sektor ekonomi. Menurut kapitalisme, masyarakat yang ideal adalah ketika anak-anak diasuh di tempat penitipan saat para ibu mereka bekerja. Peran keibuan dan pengelola rumah tangga pun digantikan oleh asisten rumah tangga.

Beginilah ketika kesejahteraan dipandang dengan perspektif kapitalisme, kesejahteraan hanya diukur berdasarkan capaian materi. Tidak ada tempat bagi dimensi ruhiyah. UU KIA disusun berdasarkan perspektif materialistis ini. Kesejahteraan ibu dan anak yang hendak diwujudkan mengacu pada pencapaian materi, yaitu bahwa ibu masih bisa bekerja mendulang rupiah dan mendukung pertumbuhan ekonomi meski sedang memiliki bayi.

Oleh karenanya, target-target materi dinomorsatukan dalam kapitalisme, misalnya pertumbuhan ekonomi, kinerja industri, tingkat produksi, dan hal sejenis. Sedangkan hal-hal yang bersifat ruhiyah diabaikan.

Hal ini sungguh jauh tatkala Islam diterapkan. Islam memuliakan perempuan, dengan jalan mendukung fitroh dan kewajiban perempuan yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Fungsi ini harus bisa berjalan, karena jika tidak maka tunggulah kerusakan keluarga akan terjadi. Ibu disebut sejahtera bukan karena menghasilkan rupiah, tetapi ketika ia bisa menjalankan fungsi dan tugas yang telah Allah Swt. tetapkan baginya, yaitu sebagai pengasuh dan pendidik bagi anaknya. Fungsi hadanah dan tarbiah ini menjadi aspek penting untuk mengukur kesejahteraan ibu dalam pandangan Islam.

Langkah negara khilfah sebagai institusi penerap sistem Islam adalah:
1. Model negara yang melayani rakyat, bukan memalak. Jika model negara masih seperti hari ini yang memosisikan rakyat sebagai konsumen sehingga kalau ada uang akan disayang dan kalau tidak ada uang akan ditendang, kesejahteraan ibu dan anak mustahil akan terwujud.

2. Sistem ekonomi yang diterapkan haruslah menyejahterakan. Kapitalisme terbukti menjadikan kekayaan berputar di segelintir pengusaha kapitalis saja sedangkan rakyat harus berebut remah-remah.

3. Sistem sosial harus menempatkan peran ibu sebagai pencetak generasi, yaitu fungsi pengasuhan dan pendidikan anak (hadanah dan tarbiah), sebagai hal yang penting dan utama.

Inilah langkah nyata Islam dalam menyejahterakan perempuan, hingga semua hal yang dibutuhkan untuk mencetak generasi berkualitas akan disediakan oleh negara. Negara mendukung dan memfasilitasi para ibu agar perannya sebagai pendidik generasi bisa optimal dan para ibu tidak akan dibebani secara ekonomi.

Wallahu a'lam.