Ilusi Keadilan dalam Sistem Demokrasi Kapitalisme
Oleh : Siti Julaeha
Berbagai kasus kriminalitas yang terjadi di negeri ini tidak mendapatkan sanksi tegas. Banyak kasus kriminalitas yang telah mengoyak nurani karena tidak mendapatkan keadilan masyarakat. Di antaranya adalah kasus pembunuhan, baru-baru ini, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surabaya membebaskan Gregorius Ronald Tannur dari tuntutan pidana dalam kasus dugaan pembunuhan. Salah satu pertimbangan hakim ialah Ronald Tannur tidak terbukti melindas Dini Sera Afrianti dengan mobilnya. (https://news.detik.com/berita/d-7464818/pertimbangan-lengkap-hakim-vonis-bebas-ronald-tannur-sebut-dini-tak-dilindas).
Sebelumnya Ronald Tannur dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menjalani hukuman 12 tahun dan akhirnya di bebaskan dari tuduhan pembunuhan (https://surabayapostnews.com/sikapi-vonis-ronald-tannur-pengacara-betapa-sulitnya-mencari-keadilan-di-indonesia/ ).
Kemudian kita pun bisa melihat bagaimana hukum di negeri ini yang memperlakukan para koruptor yang telah merampok ratusan miliar uang negara hanya dijatuhi hukuman penjara. Bahkan banyak yang dibebaskan. Sementara pencuri kelas teri hampir tak pernah lolos dari hukuman.
Hal ini menggambarkan bahwasanya sistem hukum negeri ini jauh dari keadilan. Pelaku bisa bebas melenggang tanpa beban dan tidak merasa jera.
Lembaga peradilan yang diharapkan menjadi tempat bagi masyarakat mendapatkan keadilan dan menaruh harapan, nyatanya menjadi tempat yang berperan penting menjauhkan masyarakat dari keadilan.
Sungguh, mencari keadilan di negeri ini seperti mencari sebatang jarum ditumpukan jerami. Hukum tajam kebawah tumpul ke atas. Rumit, berbelit, penuh tikungan dan jebakan, yang berujung pada ketidakpercayaan umat pada hukum negeri ini.
Ketidakpercayaan dan kekecewaan masyarakat terhadap hukum dan peradilan negeri ini, niscaya terjadi karena sistem sanksi produk sistem demokrasi kapitalisme yang berasal dari akal manusia. Yang memiliki kelemahan, keterbatasan dan sering terjebak pada konflik kepentingan, tidak tegas, tidak menimbulkan efek jera, dan justru membuka peluang kegaduhan lainnya dan celah terjadinya kejahatan.
Jadi, hukum sekuler kapitalisme demokrasi memang bukanlah solusi tuntas untuk memberantas kejahatan yang marak terjadi di masyarakat.
Sungguh berbeda dengan sistem islam. Islam menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allah, Dzat yang Maha Mengetahui dan Maha Adil.
Sumber sistem pidana Islam berasal dari wahyu Allah ini melahirkan keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain, penerapan sistem pidana Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah.
Sebaliknya, penerapan sistem pidana sekuler dengan sendirinya sama sekali akan kosong dari unsur ketakwaan, karena ia tidak bersumber dari wahyu Allah. Ketika hukum potong tangan diterapkan, ia adalah wujud ketakwaan kepada Allah. Sebab hukuman itu diperintahkan oleh Allah dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah [5] : 38).
Tapi ketika manusia menerapkan hukum pidana penjara untuk pencuri, yaitu menerapkan pasal 362 KUHP, berarti ia tidak bertakwa kepada Allah, karena ia tidak menjalankan sanksi ketetapan Allah, tapi sekedar sanksi bikinan manusia sesamanya. Kalau hakim muslim merasa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan pasal 362 KUHP, jelas ia sedang berkhayal atau bermimpi kosong.
Dengan kata lain, menjalankan sistem pidana Islam tak ubahnya dengan melaksanakan sholat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Jadi sistem pidana Islam bersifat spiritual (ruhiyah). Sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah SWT yang merupakan ketakwaan jika dilaksanakan dengan benar oleh seorang muslim.
sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat.
Sementara sistem pidana sekuler tidak memiliki sifat konsisten, karena ia akan selalu berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia sesuai situasi, kondisi, waktu dan tempat.
Penyebab hal ini tiada lain karena sumbernya bukan dari wahyu Allah. Tapi dari manusia itu sendiri, sehingga berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda, dan berganti.
Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat. Sedang sistem pidana sekuler jelas hanya berdimensi dunia saja. Sistem sekuler memang sangat dangkal dan picik wawasan dan dimensinya.
Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah SWT berfirman :
وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)
Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti.
Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin Shamit RA).
Oleh karena itu, jika kita menginginkan kehidupan yang penuh dengan keadilan, maka kita harus kembali kepada islam.
Hukum pidana dan sanksi ini tentu saja hanya bisa diterapkan dalam sebuah negara yang berdiri berdasarkan akidah Islam dan menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, yakni Khilafah.
Wallahu a'lam.
Posting Komentar