-->

Ironi Sampah Makanan di Tengah Kemiskinan dan Kelaparan

Oleh: Ummu Aqila 

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengungkapkan bahwa potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun, setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Selain itu, emisi gas rumah kaca dari sampah sisa makanan mencapai 1.072,9 metrik ton CO2-ek, atau 7,3 persen dari total emisi gas rumah kaca Indonesia pada 2019. Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa, menekankan bahwa mengelola sisa pangan dengan baik dapat menyelamatkan potensi ekonomi yang hilang, memenuhi kebutuhan energi, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. 

Untuk mengatasi masalah ini, Bappenas telah meluncurkan roadmap Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 dan Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan. Pemerintah juga bekerja sama dengan Denmark untuk menangani isu ini. tirto.id (Rabu (3/7/2024).)

Food loss and waste adalah fenomena yang terjadi ketika makanan yang masih layak konsumsi dibuang atau terbuang secara besar-besaran, sementara di tempat lain, banyak orang yang mengalami kelaparan atau kesulitan mendapatkan makanan yang cukup. 

Fenomena ini sering terjadi karena beberapa alasan, seperti ketidakefisienan dalam rantai pasokan makanan, pemborosan konsumen, atau kurangnya sistem distribusi yang efektif untuk mengalihkan surplus makanan kepada mereka yang membutuhkan.

Beberapa faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini meliputi:

Pertama Pemborosan MakananBanyak makanan terbuang karena faktor estetika atau kadaluarsa, padahal sebenarnya masih aman dan layak dikonsumsi.

Kedua Distribusi yang Tidak Merata. Seringkali ada ketidakseimbangan antara area yang memiliki surplus makanan dan area yang membutuhkan, disebabkan oleh masalah logistik atau kurangnya infrastruktur distribusi yang efisien.

Ketiga Kebijakan dan Sistem Pangan. Kebijakan pemerintah dan sistem rantai pasokan makanan sering kali tidak cukup mendukung pengurangan pemborosan makanan atau redistribusi makanan surplus.

Akibat Penerapan Kapitalisme, Buruknya Distribusi Pangan & Gaya hidup 

Mengatasi masalah sampah makanan tidak hanya memerlukan tindakan pada tingkat hilir, seperti menggunakan sisa makanan yang masih bisa dimakan, tetapi juga harus menanggulangi penyebab utama di tingkat hulu. Jika penyebab utama produksi sampah makanan tidak diatasi, maka sampah tersebut akan terus muncul.

Selain itu, lonjakan sampah makanan di Indonesia terkait erat dengan sistem kapitalisme yang ada. Sistem ini mendorong perusahaan pangan untuk melakukan produksi besar-besaran guna mencapai keuntungan maksimal. Inovasi produk baru juga terus menerus dilakukan, meskipun tidak semua produk tersebut laku di pasar.

Seiring waktu, produk yang tidak terjual akan kadaluwarsa dan ditarik dari peredaran. Produk makanan yang sudah kadaluwarsa biasanya dimusnahkan atau dibuang. Ini merupakan pemandangan yang sangat disayangkan, terutama ketika di satu sisi terjadi pemusnahan susu bayi kadaluwarsa, sementara di sisi lain banyak anak di Indonesia mengalami stunting akibat kekurangan gizi.

Tidak hanya makanan kadaluwarsa yang dibuang, makanan sisa yang masih layak konsumsi seringkali juga dibuang karena tidak terjual selama proses penjualan. Bahkan, ada praktik-praktik tertentu di rumah makan yang secara sengaja membuang sisa makanan dengan cara yang membuatnya tidak bisa dimakan, yang benar-benar tidak masuk akal.

Lebih menyedihkan, sebagian besar makanan yang terbuang adalah beras dan jagung, yang merupakan bahan pangan utama. Pemerintah sering kali melakukan impor beras pada saat panen raya, menyebabkan stok beras menumpuk di gudang. Akibatnya, beras yang lama disimpan bisa berkutu dan mengalami kerusakan.

Ironisnya, di satu sisi banyak orang miskin dan sangat miskin tidak dapat membeli beras atau jagung, sementara di sisi lain, banyak beras dan jagung terbuang sia-sia. Ini menggambarkan buruknya distribusi pangan yang mengarah pada banyaknya sampah makanan. Hal ini merupakan konsekuensi dari kapitalisme yang lebih fokus pada produksi dan mengabaikan distribusi, sehingga meskipun pangan diproduksi dalam jumlah besar, distribusinya tidak merata, memperburuk masalah kemiskinan.

Pemerintah seharusnya mengatur distribusi pangan untuk mencegah penumpukan di gudang dan memastikan pangan yang menumpuk dapat disalurkan kepada yang membutuhkan, termasuk memerangi stunting. Namun, upaya semacam ini sering dihindari karena dianggap merugikan industri dan pasar. Kapitalis lebih memilih membuang pangan daripada mendistribusikannya kepada orang miskin, dan pemerintah pun cenderung tidak mengambil tindakan.

Selain itu, gaya hidup dan pandangan sekularisme yang mengabaikan agama berkontribusi pada pemborosan makanan. Masyarakat menjadi kurang menghargai makanan dan sering membuangnya tanpa pikir panjang. Pemerintah juga tidak mendidik masyarakat untuk menghargai makanan sebagai berkah dan lebih fokus pada pajak dan pertumbuhan ekonomi, meskipun hal ini berujung pada pemborosan makanan.

Masalah sampah makanan memerlukan solusi menyeluruh yang melibatkan perubahan sistem, dari kapitalisme ke sistem yang lebih berlandaskan nilai-nilai Islam, yang dapat mengatasi masalah dari berbagai aspek, termasuk persepsi masyarakat, gaya hidup, dan peran pemerintah.

Sistem Islam Mensolisi Masalah Sampah Makanan

Dalam pandangan Islam, makanan dianggap sebagai anugerah dari Allah Swt. yang penting bagi kehidupan manusia. Makanan memungkinkan manusia untuk hidup, beraktivitas, serta berkembang dari janin hingga dewasa. Karena itu, Allah Swt. mengajarkan kita untuk menghargai makanan dan tidak menyia-nyiakannya.

Dari Abu Hurairah ra., “Nabi saw. tidak pernah mencela makanan sekalipun. Apabila beliau suka, beliau memakannya. Apabila beliau tidak suka, beliau pun tidak memakannya.” (HR Bukhari no. 5409 dan Muslim no. 2064).

Islam mengajarkan pada umatnya untuk bersikap zuhud yang salah satu wujudnya adalah tidak berlebih-lebihan dalam hal makanan. Allah Swt. berfirman, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31).

Islam juga mengajarkan untuk tidak bersikap mubazir terhadap makanan. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.” (QS Al-Isra [17]: 26—27).

Seorang Muslim harus memahami bahwa makanan yang dimilikinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah pada hari kiamat, sehingga ia tidak akan sembarangan membuang makanan.

Penerapan syariat Islam secara menyeluruh dalam bentuk Khilafah akan menciptakan pola hidup yang menghargai makanan. Melalui pendidikan Islam yang menekankan hidup sederhana, masyarakat akan terbiasa makan secukupnya dan menghindari pemborosan.

Khilafah berperan penting dalam menanamkan kebiasaan tersebut, termasuk dengan aturan yang mengharuskan menyelesaikan makanan di restoran atau membawanya pulang jika tidak habis, serta mengawasi industri untuk menghindari pemborosan makanan. Khilafah juga memastikan produksi makanan sesuai kebutuhan dan memberikan sanksi bagi pelanggar.

Selain itu, Khilafah akan mendistribusikan makanan kepada yang membutuhkan, mengurangi kemiskinan, dan menyediakan dana dari baitulmal untuk memastikan semua orang dapat makan dengan layak. Kelebihan makanan akan didistribusikan sebagai sedekah kepada yang memerlukan, sebagaimana dicontohkan oleh Khalifah Utsman bin Affan dan Khalifah Umar bin Khaththab pada masa lalu. Dengan cara ini, insyaallah masalah sisa makanan dapat diatasi secara efektif.  Wallahualam bissawab.