-->

Pelayanan Haji Minimalis, Ulah Kaum Kapitalis


Oleh Sumiyah Umi Hanifah
Member AMK dan Pemerhati Kebijakan Publik

"Tamu Allah Yang Terlantar" kalimat ini sepertinya cocok disematkan kepada para jemaah haji asal Indonesia, yang mengalami ketidaknyamanan saat beribadah haji di Tanah Suci. Sengkarut pelayanan haji tahun 2024 ini terasa miris, pasalnya pemerintah Indonesia tahun ini mengeluarkan kebijakan untuk menambah kuota haji, namun faktanya tidak diiringi dengan pelayanan yang baik. Pelayanan yang diterima oleh sebagian jema'ah haji tidak sepadan dengan besarnya biaya yang mereka keluarkan. Parahnya lagi, kesemrawutan pelayanan haji terus terulang dari tahun ke tahun. Lantas, kapan negara akan mengakhiri permasalahan ini?
Dilansir dari laman resmi cnnindonesia.com, Kamis, 24/6/2024), bahwasanya Tim Pengawas (Timwas) Haji Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengungkapkan kondisi akomodasi jemaah haji asal Indonesia tahun 2024 yang dinilai sangat memprihatinkan. Permasalahan yang dikeluhkan oleh jema'ah haji asal Indonesia diantaranya yaitu terkait dengan kondisi tenda yang minim kapasitas, dan layanan toilet yang antri hingga berjam-jam.
Selain itu, kondisi AC yang tidak menyala, jatah tempat per jemaah hanya 0,8 meter, sehingga para tamu undangan Allah ini terpaksa berdesak-desakan dan akibatnya menjadi sulit tidur. Ditambah lagi jarak tenda dengan tempat lempar jumroh lumayan jauh, sehingga memberatkan jemaah lanjut usia (lansia). Padahal, Kemenag sejak tahun lalu telah berkoar-koar mengeluarkan tagline "Haji Ramah Lansia" Faktanya "jauh panggang dari api" (kompas.com, Selasa, 18/6/2024)
Dengan kondisi ini, tidak heran jika kementerian agama (Kemenag) Republik Indonesia (RI) dihujani kritik tajam dan juga berbagai kecaman dari masyarakat. Pasalnya, pelayanan buruk yang diterima sebagian jemaah haji kita ini bukan kali pertama. Pada penyelenggaraan Haji tahun 2023 lalu peristiwa yang sama terjadi. Masalah akomodasi dan transportasi selama di "Ar-muz-na" juga tidak terkelola dengan baik, sehingga mengakibatkan banyak jemaah haji Indonesia yang terlantar di Muzdalifah. Bahkan mereka sampai kesulitan mendapatkan makanan.
Berbagai pihak menilai pemerintah tidak serius membenahi urusan penyelenggaraan Haji. Masyarakat kesal, biaya naik haji makin mahal, namun pelayanannya sangat minimal. Kita mungkin masih ingat insiden yang sempat viral pada pelaksanaan ibadah haji tahun lalu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibu Endang, salah seorang anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, yang membeberkan fakta tentang adanya puluhan bahkan ratusan jemaah haji yang terpaksa memakan makanan basi, akibat tersendatnya transportasi yang membawa bahan makanan bagi jemaah haji. Sehingga mengakibatkan yang bersangkutan mengalami sakit diare, pusing, dan sebagainya. Beberapa kalangan fokus menyoroti masalah ini.
Pengamat haji dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ade Marfuddin menyebut bahwa selama ini belum terbentuk manajemen pelayanan haji yang ditata secara komprehensif oleh pemerintah Indonesia. Ade menyarankan agar pemerintah mampu melakukan pemetaan mitigasi haji, di profesi mana saja yang beresiko tinggi dan rendah.
Berbagai persoalan yang dihadapi Kemenag terkait dengan pelayanan haji menjadi Pekerjaan Rumah (PR) besar bagi pemerintah, mulai dari permasalahan kesehatan, imigrasi, hingga pelayanan jemaah, semua itu memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, dengan aspek pengayaan yang optimal. Apa yang terjadi ini merupakan buah komersialisasi kepengurusan akibat sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dari waktu ke waktu penyelenggaraan ibadah haji tidak luput dari ajang bisnis kelompok tertentu, termasuk dalam hal ini dilakukan oleh pihak swasta. Hal ini berdampak pada kondisi jamaah yang tidak mendapatkan kenyamanan dalam melaksanakan ibadah.
Adapun usulan membuat Panitia Khusus (Pansus) pelaksanaan ibadah haji, jelas tidak akan mampu menyelesaikan persoalan. Sebab akar masalahnya adalah paradigma pelayanan haji dalam sistem kapitalis yang selalu berorientasi pada keuntungan materi. Dalam sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini, penyelenggaraan ibadah haji masih dikomersialisasi. Otoritas pemerintah Arab Saudi terus berlomba membangun hotel-hotel berbintang dengan tujuan menyedot uang dari para jemaah berkantong tebal, dengan memberikan fasilitas mewah. Sedangkan jema'ah haji yang uangnya pas-pasan harus rela menempati hotel yang jauh dari Makkah. 
Adapun wacana tambahan kuota haji bagi Indonesia dinilai bukan bertujuan untuk memudahkan umat muslim menunaikan haji, melainkan untuk memenuhi kamar-kamar hotel yang telah dibangun. Persoalan lain yang dihadapi para calon jema'ah haji yaitu kesulitan dalam mengurus visa haji, hanya yang berkantong tebal saja yang dipermudah untuk mendapatkan visa. Lantas, bagaimana dengan nasib calon jema'ah haji yang berkantong tipis?
Di sinilah tampak jelas bahwa umat Muslim diperlakukan tidak adil. Pemerintah pun terkesan lepas tangan. Belum begitu maksimal dalam mengurus segala sesuatu terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Padahal, ibadah haji merupakan kewajiban setiap muslim, karena termasuk rukun Islam yang kelima. 
Dalam ajaran Islam, tidak boleh ada perbedaan antara umat muslim Indonesia dan umat muslim lainnya. Miskin ataupun kaya sama saja. Semua harus diperlakukan sama, yakni sebagai tamu-tamu Allah yang harus dimuliakan dan dilayani dengan baik. Pemimpin negara Islam (khalifah) adalah "ra'in" atau pelayan rakyatnya, maka seorang pemimpin dengan dibantu oleh para Qadhi dan aparatur negara berkewajiban mengurus rakyat.
Sabda Rasulullah saw,
Imam (kepala negara) adalah pelayan (pengurus) rakyat. Dan dia bertanggung-jawab atas rakyat yang dia urus. (H.R. Bukhori)
Dalam penyelenggaraan haji, khalifah dengan para pembantunya akan memberikan fasilitas yang sama kepada setiap jema'ah haji, meskipun mereka bukan berasal dari Arab Saudi. Negara khalifah bukan "pembisnis" atau pedagang, yang ingin mengambil keuntungan dari rakyatnya. Petugas Haji di negara khilafah akan mengatur segala sesuatunya agar prosesi Haji berjalan lancar, aman, nyaman, kondusif, dan penuh keberkahan. 
Dalam sistem Islam, salah satu ciri khas pemimpin adalah amanah. Hal ini sangat mungkin diwujudkan, karena kepemimpinan dibangun atas kesadaran akan adanya hari penghisaban. Selain itu Islam juga memiliki mekanisme birokrasi yang sederhana, praktis, dan profesional (tidak berbelit-belit). sehingga memberikan kenyamanan pada rakyat. 
Berbeda dengan sistem kapitalisme yang terbukti gagal dalam mengurus dan melayani rakyatnya. Kapitalisme sungguh telah menyengsarakan rakyat. Kaum kapitalis memanfaatkan rakyat untuk kepentingan para penguasa (rezim). Oleh karena itu, sistem kapitalisme wajib diganti dengan sistem Islam (khilafah). Yaitu, sebuah sistem pemerintahan yang sahih, karena berasal dari Allah Swt dan bersumber dari kitabullah dan as-sunnah. Khilafah akan menerapkan syari'at Islam secara kafah dalam setiap aspek kehidupan. Sehingga Allah Swt akan menurunkan keberkahan dari langit dan bumi.
Wallahu a'lam bishawab