Politik Dinasti, Keniscayaan dalam Sistem Demokrasi
Oleh : Ummu Utsman
Diberitakan oleh okenews.com (02/06/2024), Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) mengkritik putusan Mahkamah Agung (MA) yang mencabut Peraturan KPU tentang batas usia calon kepala daerah. ICW menduga, putusan tersebut untuk memuluskan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) maju ke Pilkada 2024. Padahal, usianya baru 29 tahun. Dengan dihapusnya batas usia minimal 30 tahun untuk calon kepala daerah, maka Kaesang bisa mencalonkan diri.
Peneliti ICW, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), SeiraTamara mengatakan bahwa pertimbangan dan amar putusan MA ini bermasalah. Seira menjelaskan bahwa putusan MA itu melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024 yang menguntungkan sejumlah pihak tertentu.
Putusan MA tersebut dikaitkan dengan keputusan Mahkamah konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang juga untuk memuluskan langkah putra sulung presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka. Isi putusan MA nomor perkara 23 P/HUM/2024, bahwasanya MA memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU No. 9/2020 yang mengatur syarat minimal usia kepala daerah ketika mendaftar. (Bisnis, 30-5-2024).
Dengan adanya putusan tersebut, syarat minimal usia 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota, hanya berlaku ketika mereka dilantik, bukan ketika mendaftar. Sebelum putusan MA, pasal 4 ayat (1) huruf d, bahwasanya usia calon terhitung sejak penetapan Pasangan Calon. Setelah putusan MA, frasa “terhitung sejak penetapan Pasangan Calon” diubah menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih”.
Putusan MA ini dianggap berkaitan erat dengan rencana Kaesang Pangarep untuk maju sebagai calon wakil gubernur Jakarta, yang terganjal syarat batas usia. Kaesang saat ini baru berusia 29 tahun (lahir 25 Desember 1994). Sementara, pilkada serentak diadakan pada November 2024. Dengan keputusan MA, kini Kaesang bisa melenggang di pilgub DKI Jakarta. (Tempo, 30-5-2024).
Potret Buruk Sistem Demokrasi
Dalam sistem Demokrasi siapa saja bisa menempati posisi. Hukum bisa dijual beli melalui lembaga legislasi. Melalui demokrasi, rezim saat ini pun menyusun strategi untuk melanggengkan kekuasaan dengan politik dinasti. Dengan segala cara, semua keturunannya di beri posisi untuk memuaskan syahwat pribadi. Mahkamah peradilan seperti MA Dan MK pun dikobok-kobok agar mendukung strategi melanggengkan kekuasaan. Inilah strategi rezim setelah gagal melampiaskan syahwatnya untuk tetap berkuasa hingga tiga periode.
Dalam sistem demokrasi, para politisi juga berlomba-lomba menghalalkan segala cara untuk meraih kedudukan dan materi. Inilah wajah sistem demokrasi yang merupakan turunan dari ideologi kapitalisme buatan penjajah.
Akhirnya, kekuasaan tidak sesuai lagi dengan fungsi sebenarnya, yaitu mengurusi dan melayani rakyat dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Kekuasaan dalam sistem demokrasi hanya untuk meraih kedudukan, materi, dan kesenangan pribadi maupun golongannya. Para penguasa pun hanya menggunakan kekuasaannya untuk melampiaskan syahwat duniawinya.
Terhadap urusan rakyat, tentu tidak lagi peduli, karena rakyat hanya dibutuhkan hingga sampai bilik suara pemilihan. Setelahnya, rakyat justru akan diperas keringat dan darahnya melalui pajak dan berbagai pungutan-pungutan. Tak heran, jika tidak ada yang gratis hidup dalam naungan demokrasi termasuk jika ingin menggunakan hasil bumi yang merupakan harta milik rakyat.
Oleh karena itu, berharap hidup adil dan sejahtera dalam naungan sistem demokrasi, hanyalah ilusi. Sistem demokrasi terbukti hanya akan melanggengkan kepentingan dinasti. Dalam sistem demokrasi, supremasi hukum pun bisa kangkangi sekehendak hati. Mirisnya, politik dinasti ini tidak hanya melibatkan lembaga eksekutif (penguasa), dan legislatif (partai penguasa di parlemen), tetapi juga dalam lembaga yudikatif (peradilan). Jadilah, keputusan hakim tidak lagi objektif, melainkan disetir oleh kekuasaan.
Ilusi Demokrasi
Sistem demokrasi, meniscayakan adanya ide liberalisme atau kebebasan, baik kebebasan dalam kepemilikan, bertingkah laku, pergaulan, bahkan bebas menjalankan politik dinasti. Demokrasi menyerahkan kedaulatan ada di tangan rakyat, tetapi anehnya di saat rakyat akan menerapkan syariat, serta merta ditolak.
Oleh karenanya, di saat manusia butuh aturan, rakyat dipaksa menerapkan peraturan buatan manusia. Padahal, sifat manusia penuh kekurangan dan keterbatasan.
Akibatnya, rakyat yang dikorbankan, dan berbagai aturan bisa seenaknya diubah atau diciptakan. Tak hanya itu, untuk memenuhi ambisi pribadi, penguasa dengan tanpa merasa berdosa menghabiskan uang rakyat, bahkan memalak rakyat melalui serangkaian pungutan dan pajak.
Jelaslah, politik dinasti merupakan keserakahan yang dilahirkan dari sistem demokrasi. Di mana sistem yang diagungkan adalah sistem buatan manusia. Sementara itu, ide sekularisme terus menjauhkan agama dari setiap sendi kehidupan. Padahal, praktik ini sangat bertentangan dengan sistem Islam.
Islam Aturan Hakiki Bagi Kekuasaan
Dalam Islam, kekuasaan adalah riayah syu’unil umah, yaitu mengurusi urusan rakyat. Oleh karena itu, fungsi pemimpin atau penguasa adalah mengurusi dan memenuhi segala kebutuhan rakyatnya, baik kebutuhan individu, maupun kebutuhan pokok yang sifatnya umum atau publik. Penguasa dalam pemerintahan Islam menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk kepentingan pribadi dan kroninya. Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“..setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpin.” (HR Bukhari).
Karenanya, penguasa dalam sistem Islam tidak akan mengotak-atik kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Hal ini karena pemimpin dalam Islam adalah orang yang bertakwa, sehingga ia akan takut terhadap azab Allah Swt. jika mengkhianati amanah kekuasaan yang diembannya.
Selain itu, sistem Islam memiliki mekanisme yang efektif untuk mewujudkan penguasa yang adil dan amanah. Salah satu keharusan penguasa di dalam Islam menerapkan syariat Islam dalam menjalankan pemerintahan. Ketentuan ini akan mengeliminasi orang-orang yang tidak layak untuk memimpin, termasuk dari sisi keadilan maupun kecakapan.
Adapun gubernur (wali) atau bupati maupun wali kota (amil), dipilih oleh Khalifah, sehingga tidak perlu menghamburkan banyak uang. Namun, jika dalam perjalanan pemerintahan ternyata wali/amil tersebut bersikap khianat atau tidak amanah, ia bisa diberhentikan sewaktu-waktu.
Di samping itu, peranan Rakyat sangat penting untuk mengontrol dan mengawasi jalannya pemerintahan. Rakyat boleh menyatakan tidak rida terhadap penguasa yang diangkat untuk mereka. Untuk hal ini, mekanismenya bisa melalui pengaduan pada khalifah atau mahkamah mazalim. Keduanya akan memutuskan perkara kezaliman yang dilakukan penguasa. Dengan demikian, supremasi hukum dijunjung tinggi. Kekuasaan pun menjelma menjadi kekuasaan yang menolong Islam dan kaum muslim (Sulthaan[an] Nashiira).
Dengan demikian, politik dinasti menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi. Sebaliknya, politik yang penuh keserakahan ini tidak akan terjadi jika negara menerapkan sistem Islam yang merupakan sistem kehidupan yang sempurna, yang berasal dari Allah SWT.
Wallahu a'lam bisshawab.
Posting Komentar