Antara Sampah Makanan dan Kemiskinan
Oleh : Tri S, S.Si
Pangan merupakan kebutuhan primer manusia untuk melangsungkan kehidupan. Tidak hanya manusia, tetapi juga seluruh makhluk hidup membutuhkan makanan sebagai sumber energi. Namun, nyatanya 1/3 dari makanan yang diproduksi untuk dikonsumsi manusia di dunia dibuang sebagai sampah.
Adapun makanan yang dibuang sebagai sampah bisa dari sisa makanan akibat penyajian yang berlimpah akibat budaya berlebihan dari masyarakat yang disebut dengan left over, atau sisa makanan yang terjadi akibat kesalahan perencanaan dan manajemen, baik yang masih layak dikonsumsi ataupun tidak disebut dengan food waste. Keduanya adalah sampah yang berbahaya bagi lingkungan karena mengandung komposisi kimia yang tidak dapat didaur ulang (unnes.ac.id).
Nyatanya, sampah makanan tidak hanya berbahaya bagi lingkungan, namun juga berbahaya bagi perekonomian suatu negara. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mencatat potensi kerugian negara akibat susut dan sisa makanan (food loss and waste) mencapai Rp213 triliun-Rp551 triliun per tahun. Angka ini setara dengan 4-5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia (tirto.id, 2024).
Menyikapi hal ini, Bappenas telah meluncurkan Peta Jalan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025-2045 serta Peta Jalan Pengelolaan Susut dan Sisa Pangan, dalam Mendukung Pencapaian Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045 untuk mencegah potensi ekonomi yang hilang akibat susut dan sisa pangan. Kemudian, pemerintah juga telah menggandeng Denmark untuk membantu mengelola susut dan sisa pangan (tirto.id, 2024).
Sangat memperihatinkan, mengingat masih banyak rakyat di beberapa daerah yang mengalami krisis pangan. Sudah bekerja siang-malam untuk memperjuangkan sebutir beras, namun di lain sisi sampah makanan justru menumpuk.
Nilai dari sampah makanan yang terbuang diperkirakan US$ 680 miliar untuk negara maju dan US$ 310 miliar untuk negara berkembang. Total sampah yang dihasilkan setiap tahunnya sebenarnya dapat menghidupi sekitar 2 miliar orang.
Ternyata, food waste juga problem dunia, erat dengan konsumerisme sebagai buah penerapan sistem kapitalisme sekuler yang jauh dari akhlak Islam.
Di sisi lain, hal ini menggambarkan adanya mismanajemen negara dalam distribusi harta, sehingga mengakibatkan kemiskinan dan masalah lain seperti kasus beras busuk di Gudang Bulog, pembuangan sembako untuk stabilisasi harga, dan lain-lain.
Konsumerisme mengakibatkan pembelian berlebihan yang mengalihkan tujuan konsumsi barang bukan karena kebutuhan, tetapi pembelian yang impulsif. Ditambah lagi, di tengah kondisi sosial media yang memudahkan dalam penyampaian informasi terkait tren, sehingga masyarakat cenderung ingin mengikutinya semisal ikut membeli makanan yang sedang ramai diperbincangkan dikarenakan kondisi Fear of Missing Out atau fomo.
Seharusnya, masyarakat bisa lebih bijak dalam mengonsumsi produk dengan menentukan prioritas, mana yang merupakan kebutuhan utama, mana yang bukan. Masyarakat juga harus sadar dengan kondisi bahwa masih banyak orang yang kelaparan. Sisa-sisa makanan yang kita buang mungkin adalah harapan besar bagi orang yang membutuhkan.
Islam punya aturan terbaik dalam mengatur konsumsi dan distribusi, sehingga terhindar dari kemubaziran dan berlebih-lebihan. Di dalam surah al-A’raf ayat 31 dijelaskan bahwa umat Islam diperintahkan untuk tidak berlebihan dalam makan dan minum karena Allah SWT tidak suka dengan perbuatan berlebihan atau disebut IsrafI.
Begitu juga, sistem pendidikan Islam mampu mencetak individu yang bijak bersikap termasuk dalam mengelola dan mengatur konsumsi makanan. Masyarakat yang mengemban pendidikan Islam akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan sekecil apa pun termasuk perihal makanan. Hal itu menciptakan masyarakat yang sederhana dan tidak menjadi individu yang konsumtif.
Apabila negara mampu mengatur dengan baik dan cermat, maka akan terwujud distribusi pangan yang merata sehingga tidak akan terjadi ketimpangan ekonomi, kemiskinan, dan food waste dapat dihindarkan.
Wallahualam bishowab.
Posting Komentar