-->

Ilusi Keadilan Dalam Sistem Demokrasi

Oleh: Rini Mumtazs

Hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Ronald Tannur karena dinilai tak terbukti dalam kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Tiga dakwaan yang menjerat Ronald Tannur tidak ada yang terbukti. Mulai dari pembunuhan, penganiayaan yang berakibat kematian atau penganiayaan biasa,serta kealpaan yang menyebabkan orang lain mati.

Untuk dakwaan mengenai kealpaan, Hakim tidak yakin penyebab kematian Dini Sera adalah karena dilindas mobil karena kelalaian Ronald Tannur.

"Dengan memperhatikan uraian pertimbangan hukum di atas dan hasil visum et repertum, menurut hemat Majelis, kejadian dan perbuatan yang telah Penuntut Umum uraikan di dalam surat dakwaan yang pada intinya adalah Dini Sera Afrianti meninggal karena kelalaian dari Terdakwa pada saat mengendarai mobil hingga mengakibatkan terlindasnya Dini Sera Afrianti ini tidak memberikan suatu keyakinan kepada Majelis Hakim bahwa benar kematian Dini Sera Afrianti disebabkan karena hal tersebut," bunyi pertimbangan Hakim dikutip dari situs MA, Selasa (30/7).

Pengabaian Fakta Sebab Kematian serta Keterangan Saksi dan Ahli

Jenazah Dini Sera sempat diautopsi oleh Dokter spesialis forensik di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo dr. Renny Sumino, Sp.FM., M.H., pada 13 Oktober 2023. Dalam laporannya, ia menyebut Dini Sera meninggal karena ada luka robek akibat kekerasan tumpul. "Sebab kematian karena luka robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan tumpul sehingga terjadi perdarahan hebat," bunyi ringkasan keterangan Renny Sumino.

Dalam dokumen putusan hakim, termuat ada setidaknya keterangan lima saksi yang mengaku melihat ada 'pola tertentu' di tangan Dini Sera. Diantaranya :

• Fajar Fahrudin (Security Lenmarc Mall)

• Imam Subekti (Security Lenmarc Mall)

• Stefan Yosefa (Security Blackhole KTV Club Lenmarc)

• Hermawan (Security Apartment Orchad yang menjadi tempat tinggal Dini)

“Kesimpulan dari keterangan 4 orang saksi diatas menerangkan, bahwa kondisi perempuan saat itu terlihat seperti mabuk berat yang tergeletak tidak bisa bangun dan saksi mendengar suara rintihan yang saksi tidak ketahui apa karena sakit atau mengigau karena mabuk kemudian saksi melihat pada bagian lengan kanan adanya bentuk pola tertentu yang saat itu tergeletak terlihat kotor dari debu”

• Retno Happy Purwaningtyas (agen properti/broker Apartemen Orchad)

Retno dihubungi satpam soal keberadaan Dini di lobi dalam keadaan mabuk dan ada luka. Saat mengecek langsung, ia melihat Dini dalam keadaan lemas di atas kursi roda di belakang resepsionis apartemen. Saat itu, ada juga Ronald Tannur yang kemudian disebut sempat memompa-mompa bagian dada korban seperti memberikan pertolongan medis atau CPR. Retno kemudian yang berinisiatif membawa Dini ke Rumah Sakit National Hospital.

“Bahwa kondisi Dini Sera Afrianti (Andin) saat itu sudah tidak memiliki respons gerak tubuh, sepenglihatan saksi sekilas di bagian lengan kanan bergaris-garis membentuk pola tertentu, memar kotor di bagian paha memanjang di bagian dengkul kiri luar dan jari-jari tangan korban, kedua betis kaki dalam keadaan kotor, perut korban membesar dan suhu badan korban sudah dalam keadaan dingin”

Kata Ahli Hukum

Dalam sidang, jaksa menghadirkan Dosen Hukum Pidana Universitas Airlangga, Sapta Apriliantilo, S.H., M.H., LLM, sebagai ahli. Ia menerangkan soal mens rea atau niat jahat. Kaitannya adalah A melihat dan bicara B yang sedang bersandar di mobil. Namun, A kemudian tetap melajukan kendaraannya. Sapta melihat unsur kesengajaan dalam pasal pembunuhan terpenuhi ;

“Dari segi mens rea, A melihat bahkan berbicara kepada B yang berada di samping mobil A bersandar di roda kiri depan. Kemudian dalam pengetahuannya tersebut, A tetap mengendarai mobilnya. Bahwa setelah melindas B, A hanya melihat dari dalam mobilnya yang menggambarkan bahwa A tidak mempersoalkan apakah B dapat mati akibat perbuatannya. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melakukan perbuatannya A diliputi oleh kesengajaan, yakni kesengajaan dolus eventualis untuk menyebabkan matinya seseorang sebagaimana diatur dalam Pasal 338 KUHP.”

Sulitnya Mencari Keadilan

Pengacara keluarga mendiang Dini Sera Afrianti, mengumumkan akan membuat laporan kepada Hakim Pengawas (Bawas) di Mahkamah Agung, setelah hakim ketua Erentua Damanik menjatuhkan vonis bebas untuk Gregorius Ronald Tannur dari dakwaan kasus pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti.

“Kami akan bekerja sama dengan banyak pihak yang peduli dengan putusan ini. Keputusan ini menunjukkan betapa sulitnya mencari keadilan di Indonesia,” ungkap Dimas Yemahura, penasihat hukum keluarga korban, dengan nada kesal.

Ketidakpuasan Dimas dimulai ketika Gregorius Ronald Tannur, yang sebelumnya dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum untuk menjalani hukuman penjara selama 12 tahun, akhirnya dibebaskan dari tuduhan tersebut. “Saya berdoa semoga para hakim mendapatkan balasan yang setimpal dari Tuhan yang Maha Esa,” kata dia.

Selain berupaya mencari keadilan dengan melaporkan ke Mahkamah Agung, ia juga akan mendorong jaksa penuntut umum untuk mengajukan upaya hukum kasasi.

Sementara dalam persidangan, Ketua majelis hakim Erintuah Damanik menyatakan terdakwa Ronald Tannur masih berupaya melakukan pertolongan terhadap korban di saat masa-masa kritis. Hal itu dibuktikan dengan terdakwa yang sempat membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis. Sebelum sidang dan sesudah sidang, hakim itu pun menegaskan bahwa ia hanya manusia biasa dalam mengadili kasus ini.

“Apabila ada pihak-pihak yang keberatan dengan putusan tersebut dipersilahkan mengkaji lewat proses hukum,” tandasnya.

Keadilan Sistem Hukum yang di Pertanyakan ???

Seringnya keputusan pengadilan pada sebagian kasus criminal yang terjadi di negeri ini, hanya menguntungkan satu pihak saja dan men-dzalimi pihak yang lain.

Yang kemudian menjadi pertanyaan public ialah “Mengapa?” majelis hakim menilai Ronald Tannur tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituangkan dalam dakwaan pertama pasal 338 KUHP atau kedua pasal 351 ayat (3) KUHP atau pasal 259 KUHP dan pasal 351 ayat (1) KUHP

Padahal barang bukti berupa rekaman CCTV dan hasil visum korban telah di hadirkan dalam persidangan.

Tidak hanya kasus Ronald Tannur, tindakan asusila yang di lakukan oleh Ketua Komisi Pemilu (KPU) Hasyim Asy’ari, pun hanya dijatuhkan sanksi pemecatan karena terbukti melanggar Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dengan melakukan tindakan asusila terhadap seorang anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. Padahal, tindakan asusila tersebut sudah berulang kali di lakukan namun, belum ada putusan yang konon “Harus Menunggu” keputusan Presiden untuk melanjutkan kasus ini ke ranah pidana.

Berbagai kasus kriminalitas di negeri ini yang tidak mendapatkan sanksi tegas dari pengadilan telah mengoyak nurani keadilan masyarakat. Hal ini menggambarkan system hukum yang jauh dari keadilan dan tidak memberikan efek jera. Bahkan hukum di katakan tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Sitem hukum tersebut terwujud karena praktik sanksi yang mengatur negeri ini. Putusan hakim sangat nyata menghasilkan “Ketimpangan” hukum secara mendalam. Bukan sekali dua kali para pejabat, korporat dan kawanannya, mudah terbebas dari jerat hukum dengan mengotak – atik pasal –pasal yang di gunakan sebagai hukum positif saat ini.

Bahkan praktik suap menyuap di pengadilan sudah biasa dilakukan, hingga muncul slogan “Hukum di Negeri ini Bisa di Beli”. Terbukti pada kasus ini, tuntutan yang awalnya 12 th, bisa berakhir vonis “Bebas” di pengadilan. 

JAKARTA, Kompas.com –Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD menyatakan, hukum di Indonesia sangat mengecewakan karena masih ada ketidakadilan di banyak tempat.

Menurutnya, hal tersebut di sebabkan karena banyaknya praktik jual beli kasus dan vonis oleh mafia hukum. Ini menjadi bukti lemahnya system hukum di bawah system Demokrasi yang sangat mudah melindungi pihak yang memiliki privilege.

Sebab asas yang membangun hukum Demokrasi itu sendiri adalah ide Sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan. Oleh karena itu, aturan system Demokrasi dan penetapan sanksinya bersumber dari buatan akal manusia, wajar sarat akan kedzaliman. Sebab, manusia adalah makhluk lemah, terbatas, dan sering terjebak dalam konflik kepentingan. Bahkan system hukum dalam politik Demokrasi juga mebuka celah terjadinya kejahatan lainnya.

Menegakkan Keadilan Dalam System Islam

Islam menegakkan keadilan dengan berpedoman pada aturan Allaah SWT dzat yang maha mengetahui dan maha adil. Keadilan merupakan salah satu bentuk kemuliaan dalam sebuah peradaban, hal ini pernah terjadi dan di buktikan dalam Sistem Sanksi Islam yang di terapkan secara praktis oleh Daulah Khilafah.

Dalam kitab Nizham Al Islam, hlm. 44 Syaikh Taqiyuddin an Nabhani, menggambarkan keberhasilan islam yang gemilang di bidang keadilan membentang sejak sampainya Rasulullaah SAW di Madinah tahun 622 M hingga th 1918 M (1336 H) ketika Khilafah Islamiyah jatuh ke tangan kafir penjajah (Inggris).

Kunci utama keberhasilan tersebut karena hukum yang diterapkan adalah hukum Allaah SWT yang akan memberikan keadilan dan tidak akan bisa di intervensi oleh siapapun. Allaah SWT berfirman dalam QS. Al – Maidah {5} : 50 : “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum Allaah bagi orang – orang yang yakin??”

Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam tafsirnya : at-Tafsir al-Munir, 6/224 menerangkan : “ayat ini bermakna bahwa, tidak ada seorang pun yang lebih adil daripada Allaah SWT, juga tidak ada satu hukum pun yang lebih baik daripada hukum-Nya.”

Maka di dalam Khilafah, pelaksanaan hukuman bagi pelaku kejahatan, merujuk pada Al - Qur’an maupun As Sunnah. Kejahatan (jarimah) di dalam Islam adalah segala hal yang melanggar Syariat Allaah SWT, meninggalkan yang Wajib, dan mengerjakan yang Haram. Islam memiliki sanksi yang tegas dan men-jerakan, berfungsi sebagai Jawabir (penebus dosa) dan Zawajir (pencegah berulangnya kejahatan di tengah masyarakat).

Dalam kitab Nizham Al – ‘Uqubat karya Abdurrahman Al – Maliki dinyatakan bahwa sanksi pidana islam untuk pelaku pembunuhan sengaja adalah 3 (tiga) dari jenis sanksi pidana syariah, bergantung pada pilihan yang di ambil oleh keluarga korban :

1. Hukuman Mati (Qishash)

2. Kedua, Membayar Diyat (tebusan/uang darah)

3. Ketiga, Memaafkan (al ‘afwu)

Adapun sanksi Perkosaan , bukanlah hanya soal Zina melainkan sampai melakukan pemaksaan, yang perlu di jatuhi sanksi tersendiri. Khilafah menetapkan sanksi Ta’zir kepadanya. Hukuman ta’zir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam ta’zir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat yaitu ada 15 macam ta’zir diantaranya adalah Dera dan Pengasingan.

Upaya pencegahan kriminalitas juga akan terus dilakukan Khilafah melalui penerapan system islam kaffah dan hadirnya penegak hukum yang amanah dan ber-taqwa kepada Allaah SWT. Hanya Khilafah yang mampu menghadirkan rasa adil bagi ummat manusia.

Wallaahu’alam bishawab