-->

Islam Menjamin Ruang Aman dan Ramah Anak

Oleh : Nahida Ilma (Aktivis Dakwah Kampus)

Kasus kekerasan pada anak terus mengalami trend peningkatan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) melaporkan sepanjang 2024 sudah terdapat 12.017 perempuan menjadi korban kekerasan yang mana 56,3% adalah anak-anak. Kekerasan tersebut tidak hanya secara fisik, tetapi juga emosional, penelantaran anak dan kekerasan seksual dimana tak jarang anak mengalami lebih dari satu jenis kekerasan. Secara data juga disampaikan bahwa 61,4% kejadian kekerasan terjadi di rumah tangga, yang mana itu berarti pelaku adalah orang-orang terdekat atau keluarga.

Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung anak kini rasanya sudah tidak aman. Ruang aman dan ramah anak semakin sempit ketika pelayanan publik justru juga menjadi pelaku kekerasan. Seorang siswi SMP berusia 15 tahun diduga dicabuli polisi saat melaporkan kasus pemerkosaan yang dialaminya. Ketika itu korban akan melaporkan pengurus pantinya yang telah memperkosanya sejak 2022-2024 (CNNIndonesia.com, 18 Juli 2024). Terbaru, pihak berwajib menangkap pemilik daycare yang berlokasi di Depok karena diduga menganiaya balita usia 2 tahun dan bayi berusia 7 bulan (Republik.co.id, 1 Agustus 2024).

Sejatinya keresahan permasalahan anak juga dirasakan oleh publik dan pemerintah, sehingga berbagai upaya untuk menciptakan ruang yang aman dan aman untuk anak telah dilakukan di berbagai tingkatan. Program keluarga ramah anak, sekolah ramah anak, kota layak anak dan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA). Termasuk agenda tahunan peringatan Hari Anak Nasional (HAN) bulan lalu yaitu setiap tanggal 23 Juli. Tema yang diusung pada tahun ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu Anak Terlindungi, Indonesia Maju. HAN dirayakan sebagai momentum penting untuk mengkampanyekan pemenuhan hak anak atas hak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Detiknews.com, 11 Juli 2024).

Mencermati trend kasus kekerasan pada anak, peluncuran berbagai program ramah anak dapat dinilai belum membuahkan hasil. Ditambah seremonial tahunan melalui perayaan HAN yang tidak kunjung menyentuh akar masalah persoalan anak. Kegagalan berbagai solusi yang dicanangkan sejatinya disebabkan oleh penopangnya yaitu pada pemikiran manusia yang terbatas dan lemah, sedangkan agama justru di marginalkan. Sekularisasi sangat marak di tengah keluarga, menjadikan mayoritas keluarga muslim jauh dari aturan agamanya sendiri yaitu Islam. Sekularisme yang akhirnya melahirkan gaya hidup liberal. Kasus kekerasan terhadap anak yang sering kali dilakukan oleh anggotanya keluarga sendiri atau pihak-pihak yang seharusnya dapat melindungi menunjukkan bahwa liberalisasi aqidah semakin menjamur. 

Berbeda halnya dengan Islam yang memandang bahwa anak memiliki peran penting karena menjadi generasi unggul penerus peradaban. Islam memiliki metode untuk melindungi anak secara total, dari tumbuh kembang fisik, kepribadian hingga kesejahteraan. Allah swt. mewajibkan orang tua untuk menjalankan tanggung jawab mereka dalam menjaga melindungi dan mendidik anak, sehingga keluarga menjadi lingkaran yang aman dan dapat dipercaya oleh anak. Hal ini berkaitan dengan pahala dan dosa. 

Allah swt. berfirman
"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul, dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal: 27)

Atas dasar itu, sudah selayaknya orang tua berupaya semaksimal mungkin menjalankan kewajibannya. Memahami bahwa kelak Allah akan meminta pertanggungjawaban. Untuk itu, supaya orang tua dalam menjalankan perannya, sudah seharusnya negara menciptakan ekosistem hidup yang sehat.

Berawal dari akidah. Negara memiliki kebijakan khusus untuk menjaga akidah individu warganya sehingga tidak mudah tercemar oleh ide-ide selain Islam. Menjaga kondisi akidah Islam warga negara senantiasa kental dengan suasana keimanan dan ketaatan pada hukum syarak dengan menutup seluruh akses masuk pemikiran asing. 

Selanjutnya, Negara berperan untuk mewujudkan fungsi keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Dimulai dari jaminan pendidikan pranikah, membumikan konsep nasab dan keluarga sakinah, menegaskan posisi qawamah (kepemimpinan) kaum laki-laki bagi para calon ayah dan pencari nafkah, meluruskan fungsi dan naluri keibuan sebagai bekal pengasuhan (hadanah dan kafalah) sehingga mampu menjadi sekolah pertama dan utama bagi anak-anaknya, hingga memastikan pelaksanaan pendidikan keluarga berbasis akidah Islam, serta memosisikan keluarga sebagai inkubator para pengemban dakwah.

Penerapan sistem Islam juga menjaga suasana takwa terus hidup di tengah masyarakat. Negara berkewajiban membina warga negara sehingga ketakwaan individu menjadi pilar bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu bertakwa tidak akan melakukan pelanggaran hukum terhadap anak-anak. Masyarakat yang bertakwa juga akan selalu mengontrol agar individu tidak melakukan pelanggaran. Suasana amar ma'ruf nahi mungkar akan sangat kental dirasakan.

Selain itu, diluar lingkaran keluarga, negara akan mengadakan pendidikan yang berbasis aqidah Islam dan bertarget besar untuk melahirkan generasi unggul berkepribadian Islam, pengisi peradaban dan siap terjun ke masyarakat. Negara juga menerapkan sistem sanksi yang tegas bagi para pelanggar hukum. Penerapan syariat Islam secara sempurna akan menyelesaikan masalah-masalah anak secara tuntas. Ekosistem yang sehat akan tercipta dan senantiasa terjaga sehingga setiap sudut kehidupan akan menjadi ruang yang aman dan ramah untuk anak.

Wallahu a'lam bi ash-showab