Keadilan Palsu, Keniscayaan dalam Sistem Demokrasi Sekuler
Oleh: Rindangayu P., S.Pd
Sebuah karangan bunga kematian nampak menghiasi kantor Pengadilan Negeri Surabaya pada Senin lalu (28/07/2024). Bukan sebagai ucapan belasungkawa atas meninggalnya seseorang, namun ucapan duka cita atas matinya keadilan.
Pasalnya, keputusan Pengadilan Negeri Surabaya baru-baru ini menuai kontroversi. Kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian Dini Sera Afrianti berujung vonis bebas pada si pelaku, Ronald Tannur, yang tak lain adalah kekasih korban.
Keputusan vonis tersebut tentunya menimbulkan tanda tanya besar di benak masyarakat. Bagaimana mungkin bisa pelaku tindak kriminal tersebut divonis bebas, padahal seluruh bukti memberatkan berupa hasil visum korban dan rekaman CCTV saat kejadian telah dihadirkan saat persidangan. Sebab perbuatan Ronald Tannur yang menghilangkan nyawa orang lain, bahkan didahului perbuatan menganiaya korbannya, jelas bukan tindakan yang bisa dibenarkan.
Usut punya usut, Ronald Tannur bukan orang sembarangan. Ayahnya yang merupakan anggota DPR RI diduga mempengaruhi keputusan hakim PN Surabaya. Vonis bebas pada Ronald Tannur, serta vonis yang serupa pada kasus lain yang melibatkan orang yang berpengaruh, semakin menegaskan bahwa hukum di negeri ini bersifat diskriminatif. Ibarat pisau, hanya tajam ke 'bawah', namun tumpul ke 'atas'. Sanksi tegas akan diberikan jika yang bersalah adalah rakyat biasa yang tak punya kuasa atau harta melimpah. Namun sebaliknya, bila kuasa dan harta telah bicara, hukum dan aturan yang berlaku bisa diubah.
Keadilan palsu semacam ini merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem kehidupan demokrasi sekuler. Yaitu disaat halal haram disingkirkan sebab agama sengaja dipisahkan dari kehidupan. Maka yang berlaku adalah hukum buatan manusia yang mudah diubah-ubah dan sarat kepentingan.
Terlebih di iklim kehidupan kapitalisme seperti saat ini yang menjadikan uang sebagai pucuk kuasa dan pemutus hukum. Jika uang sudah berbicara, segala sesuatu mendadak mulus dan mudah. Padahal hukum buatan manusia tentu saja jauh dari rasa keadilan. Karena manusia sendiri bersifat lemah, terbatas dan sering terjebak pada konflik kepentingan. Tak heran jika hukum buatan manusia hanya akan menimbulkan kezaliman pada pihak yang lemah.
Dengan demikian, bila hukum buatan manusia tak layak digunakan untuk mengatur manusia, maka hanya hukum Allah sajalah yang terbaik untuk diterapkan. Sebab Allah Yang Maha Menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan. Sehingga yang Paling Mahatahu aturan terbaik bagi manusia adalah hanya Allah Swt.
Allah SWT telah memberikan aturan yang paripurna bagi manusia secara keseluruhan berupa syariat Islam, yang jika diterapkan secara kaffah (keseluruhan) akan mendatang kesejahteraan dan Rahmat bagi seluruh alam. Termasuk dalam sistem peradilan, ketundukan pada hukum Allah merupakan asas utamanya sehingga menutup peluang bagi siapapun untuk mempermainkannya.
Syariat Islam mendefinisikan kejahatan/kriminalitas sebagai tindakan pelanggaran terhadap aturan syarak yang mengatur interaksi manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, maupun dengan orang lain. Syariat Islam menjelaskan bahwa setiap tindak kejahatan akan dikenai sanksi ('uqubat), baik sanksi di dunia maupun sanksi di akhirat.
Sanksi ('uqubat) dalam Islam bersifat sebagai jawazir (pencegah/preventif) dan jawabir (penebus dosa/kuratif). Sebagai pencegah artinya bahwa sanksi yang diberikan pada pelaku kejahatan dapat mencegah orang lain melakukan kejahatan yang serupa. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan dalam hukuman kisas itu terdapat kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang mempunyai pikiran agar kalian bertakwa.” (QS Al-Baqarah [2]: 179). Sedangkan sebagai penebus dosa artinya sanksi dalam Islam akan menjadikan pelaku kejahatan menyesali perbuatannya dan melakukan taubat nasuha.
Dalam kasus pembunuhan yang disertai penganiayaan seperti yang dilakukan Ronald Tannur tersebut, Islam menggolongkannya sebagai tindak kejahatan/kriminalitas (al-jarimah) dalam wilayah jinayah. Menurut istilah syarak, jinayah adalah tindakan melanggar anggota tubuh yang menjadi bagian organ yang wajib dikisas dalam bentuk hukuman badan atau harta kekayaan. Terlebih lagi jika pembunuhan tersebut dilakukan dengan sengaja (‘amd). Yaitu membunuh dengan menggunakan senjata pembunuh, seperti pisau, parang, pistol, dan sejenisnya. Jika keluarga korban tidak mau memaafkan dan menerima diyat, maka pelaku pembunuhan secara sengaja akan dijatuhi hukuman mati.
Cara pembuktian kasus pembunuhan juga harus sesuai syariat Islam, yaitu dengan menghadirkan dua orang saksi laki-laki atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan yang adil di pengadilan. Jika tidak ada, harus ada pengakuan dari pelaku pembunuhan. Jika keduanya tidak ada, hukuman tersebut tidak bisa dijatuhkan.
Sanksi tersebut meskipun nampak 'kejam', namun dapat memberikan efek jera bagi si pelaku dan menjadi pelajaran bagi masyarakat umum sehingga mencegah terulangnya kejahatan serupa. Selain itu, jika hukum syariat ini ditegakkan oleh Khalifah dalam Daulah Khilafah Islam maka sanksi tersebut akan bisa menjadi jawabir (penebus dosa) bagi si pelaku sehingga ia tidak mendapatkan lagi hukumannya di akhirat.
Demikianlah, jiwa dan kehormatan manusia akan terjaga kemuliaannya dalam penerapan hukum yang berasal dari Dzat Yang Maha Adil. Syariat Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain akan ditegakkan secara adil oleh Khalifah dalam Daulah Khilafah Islam, tanpa memandang latar belakang agama, suku, jabatan, kedudukan apalagi kekayaan. Karena semua warga negara Daulah Khilafah Islam kedudukannya sama sebagai hamba Allah yang harus tunduk pada aturan Al-Khaliqnya. Sehingga tak ada celah 'jual beli' vonis yang berasas manfaat semata seperti yang terjadi saat ini.
Wallahu'a'lam Bu shawwab
Posting Komentar