-->

KEBEBASAN DAN DEMOKRASI LAHAN SUBUR BAGI AJARAN SESAT

Oleh : Adilah Risya Rahmi (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Ajaran sesat muncul kembali. Medcom.id (24/07/2024) menuliskan bahwa DI Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, MUI Riau sedang mendalami dugaan adanya ajaran menyimpang atau sesat yang dilakukan oleh suatu kelompok pengajian yang dipimpin HA, yang sempat menghebohkan masyarakat. Pimpinan kelompok ini menyebut berhubungan intim dapat menghapus dosa. Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau mendalami dugaan adanya ajaran menyimpang atau sesat yang dilakukan oleh suatu kelompok pengajian yang dipimpin HA, yang sempat menghebohkan masyarakat. Pimpinan kelompok ini menyebut berhubungan intim dapat menghapus dosa, demikian ucap Ketua MUI Kepulauan Meranti Ustad Asep Darul Tahkik.

Ajara sesat bukan hal yang baru. Bahkan belum lama ini di awal Juni 2024 lalu, masyarakat juga dihebohkan dengan muculnya Mama Ghufron yang mengaku seorang wali, mampu mengarang 500 kitab berbahasa Suryani dan bisa berbahasa semut. Mama Ghufron dan pengikutnya menyebarkan ajarannya melalui media sosisal. Vidio mereka sudah tayang beberapa bulan yang lalu namun lebih viral belakangan ini. Mereka terus melakukan penyebaran ajarannya di media sosial agar mendapat panggung di masyarakat. 

Aktivis Islam Farid Idris menyampaikan bahwa ajaran yang disebarkan oleh mama Ghufron merupakan ajaran sesat. Keberadaan ajaran mama Ghufron telah meresahkan masyarakat dan berharap pihak pemerintah yaitu Kementerian Agama bertindak. Terlebih di media sosial terdapat informasi yang mengatakan bahwa Mama Ghufron adalah seorang dukun dan menyebarkan kebohongan publik (suaranasional.com 19/06/2024). 

Keberadaan Mama Ghufron juga bukanlah kali pertama kemunculan ajaran baru yang sesat. Pada tahun sebelumnya telah ada ajaran ajaran yang muncul dan meresahkan masyarakat, terutama bagi seorang muslim. Adapun indikator dan kriteria aliran sesat dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah adanya pengingkaran salah satu rukun iman, mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan As sunah, meyakini turunya wahyu setelah Al Qur’an, pengingkaran hadits nabi, dan nabi Muhammad adalah nabi dan rasul terakhir, mengubah, menambahkan atau mengurangi pokok ibadah yang telah ditetapkan syariat dan sebagainya (ppid.jemberkab.go.id). Di Indonesia, secara resmi menyebutkan beberapa aliran sesat diantaranya : Ahmadiyah (2007), Lia eden atau salamullah (2021), Gerakan fajar nusantara (2016), Puang lalang (2019).

Kemunculan ajaran sesat ini tentu tidak muncul dengan sendirinya. Adanya kebebasan dalam sistem demokrasi ini memberikan ruang yang bebas kepada masyarakat dalam memilih keyakinan. Bahkan, masyarakat pun dibebaskan untuk berkeyakinan maupun tidak. Di Indonesia setap warga diharuskan memiliki satu keyakinan. Di tahun 2022, sebanyak 87,02 % penduduk Indonesia beragama Islam (dataindonesia.id). Di tahun 2016 tercatat terdapat 300 lebih aliran sesat (CNN Indonesia, 2/1/2016). Semestinya, pemerintah lebih peka dan peduli terhadap adanya kemuculan ajaran-ajaran sesat yang hampir muncul dii setiap tahun. Minimnya pemahaman individu terhadap ajaran Islam yang benar, lemahnya kontrol pengawasan ajaran agama yang beredar di tengah masyarakat, kurangnya bentuk penjagaan akidah dan ketidaktegasan sanksi yang diberikan oleh pemerintah terhadap ajaran sesat, menjadi sebab sistematis masih berkembangnya ajaran-ajaran baru yang sesat ini. Hukum di Indonesia memberikan sanksi penjara selama enam tahun sesuai Pasal 156a KUHP. 

Jika dibandingkan dengan bentuk pengawasan dan penjagaan yang dilakukan oleh sistem dalam Islam, maka hal ini tentu berbeda. Islam memandang bahwa negara memiliki kewajiban untuk memastikan akidah yang ada ditengah-tengah masyarakat adalah akidah yang benar. Terlebih tugas utama seorang pemimpin adalah sebagai penjaga agama dan pengatur urusan dunia dengan agama (Imam Al-Mawardi dalam kitab nya Al –Ahkam as-Sulthaniyyah). Imam Ghozali menyatakan bahwa agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar. Agama sebagai fondasi dan kekuasaan sebagai penjaga. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah harus mampu menjadi penjaga bagi rakyatnya, termasuk penjagaan akidah. 

Islam memiliki sistem pengaturan dalam menjaga akidah, yaitu menerapkan aturan Islam secara sempurna dan menyeluruh yang diterapkan oleh negara. Negara pun akan memberikan sistem pendidikan yang bertujuan membentuk pola pikir dan pola sikap Islam bagi setiap individu, sehingga penjagaan dan kontrol masyarakat pun akan terbentuk secara alami menjadi masyarakat yang islami. Negara secara tegas dan lugas memberikan sanksi kepada siapapun baik individu maupun kelompok yang menyebarkan ide dan ajaran yang menyalahi Syariat, tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunah. 

Pada masa kekhalifahan Abu bakar, saat Musa Ilamah al-Khazzab muncul dan mengaku sebagai nabi, lalu khalifah Abu Bajar langsung turun tangan memerintahkan untuk menumpasnya dengan cara diperangi. Di masa pemerintah Sultan Muhammad 1 muncul seorang Badrudin Mahmud bin Israil yang menyimpang dari ajaran Islam, lalu sang Sultan langsung melakukan penumpasan pada ajaran tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin pun benar-benar menumpaskan segala hal yang bisa merusak akidah di tengah masyarakat. Penjagaan akidah di tengah masyarakat oleh negara hanya ada pada sistem Islam saja. 

Namun, jika Hanya dengan mengandalkan ketaatan individu, tentunya hal itu tidak akan mampu membendung munculnya ajaran sesat bahkan mengurangi jumlah pengikutnya. Diperlukan peran besar dari negara dalam menciptakan pemahaman akidah yang benar. Keselarasan antara para pemimpin dan masyarakat bisa terlaksana jika setiap kaum muslim secara sadar menjadikan sistem Islam sebagai sandaran di setiap pengaturan kehidupan. Negara menjadi penjaga bagi masyarakat dengan fondasi agama sebagai dasarny. Sistem ini tidak akan pernah ditemui selain Islam, terbukti dalam penerapan sistem Sekulerisme dengan kebebasannya menumbuhkan ajaran sesat yang muncul kapan saja tanpa ada yang mampu membendung.