-->

Ketika Potensi Pemuda Tak Lagi Berharga

Oleh : Dinda Kusuma WT

Pemuda adalah modal besar pembangunan bagi sebuah negara. Ditangannya, harapan masa depan bangsa digantungkan. Pada masa muda inilah, fisik seseorang dalam keadaan paling prima, dan semangatnya sedang berada dipuncak. Para pemuda juga identik dengan luasnya ide dan kreatifitas. Maka sayang, apabila potensi generasi muda berlalu begitu saja tanpa digali semaksimal mungkin.

Lalu, bagaimana kondisi generasi muda Indonesia saat ini? Sayangnya pemuda Indonesia saat ini jauh dari kata produktif. Alih-alih menjadi tumpuan pembangunan, berbagai fakta kelam terpampang di depan mata setiap harinya. Ketidaktahuan tentang makna hakiki kehidupan membuat mereka berjibaku dengan berbagai persoalan. 

Mayoritas pemuda Indonesia harus menempuh perjalanan yang berat untuk mencapai kemapanan. Mulai dari jenjang sekolah dasar hingga tinggi, pendidikan berkualitas tidak ada yang gratis, bahkan relatif mahal. Lebih-lebih biaya pendidikan perguruan tinggi, UKT yang kian mencekik memperberat langkah generasi muda menggapai cita-citanya.

Tak sampai disitu, ketika akhirnya lulus dari perguruan tinggi, mereka dihadapkan pada kenyataan sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak. Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkap fakta mengkhawatirkan terkait kondisi penduduk muda Indonesia. BPS melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan. Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda (cnbcIndonesia.com, 24/05/2024). Kebanyakan dari mereka adalah Gen Z yang harusnya tengah di masa produktif.

Hari ini, antrian pemuda mencari kerja sudah menjadi pemandangan umum. Miris, namun itulah kenyataannya. Senin 29 Juli 2024 lalu misalnya, ratusan pencari kerja berjejer memadati Mal Depok Town Square (Detos). Antrean mengular bermeter-meter di pusat perbelanjaan yang berada di Jalan Margonda Raya, Kota Depok, Jawa Barat itu (kumparan.com, 04/08/2024).

Kondisi ini sebenarnya menggambarkan buruknya pengelolaan negara. Banyaknya lulusan perguruan tinggi tanpa disertai ketersediaan lapangan kerja menunjukkan kelalaian dalam mengatur sistem pendidikan. Pemerintah harusnya memperhatikan dengan serius jurusan yang dipilih oleh siswa atau mahasiswa dan disesuaikan dengan kebutuhan negara atau dunia kerja. Dengan demikian tidak akan ada cerita lulusan keahlian tertentu membeludak atau kelebihan kuota kemudian tak ada pilihan lain selain menganggur.

Padahal, potensi pemuda adalah sebuah modal pembangunan yang sangat penting. Namun dalam sebuah negara yang menerapkan sistem kapitalisme seperti Indonesia saat ini, potensi pemuda menjadi tidak berharga. Apabila hal ini terus terjadi tanpa perhatian serius, bisa jadi bonus demografi Indonesia yang diperkirakan terjadi tahun 2045 akan sia-sia belaka.

Kelangkaan lapangan kerja menunjukkan kegagalan negara dalam menjamin kesempatan kerja para kepala keluarga/ laki-laki, yang merupakan salah satu mekanisme terwujudnya kesejahteraan rakyat. Pada dasarnya, hal ini buah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan pengelolaan SDAE (sumber daya alam dan energi) diberikan kepada asing dan swasta. Juga lahirnya berbagai regulasi yang justru menyulitkan rakyat untuk mendapatkan pekerjaan akibat terjadinya deindustrialisasi. Andai SDA seluruhnya murni diolah oleh pemerintah, tentu para pemuda tidak akan kebingungan mencari pekerjaan.

Selain itu, pengelolaan sumber daya alam oleh asing meniscayakan datangnya Tenaga Kerja Asing. Tanpa bersaing dengan TKA saja banyak pemuda linglung mencari kerja, apalagi harus bersaing dengan TKA yang jumlahnya tidak sedikit. Yang lebih menyakitkan, TKA seringkali didatangkan bukan sebagai tenaga ahli, hanya tenaga kasar yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh tenaga kerja dalam negeri. TKA juga mendapat gaji yang jauh lebih besar dari pekerja dalam negeri. Sungguh kapitalisme telah menyengsarakan bangsa dan negara. 

Kondisi kelam ini hanya bisa disudahi dengan dicabutnya sistem kapitalisme dan sekularisme kemudian diganti dengan sistem Islam. Islam menjalankan sistem ekonomi dan politik sesuai syariat islam, termasuk dalam pengaturan dan pengelolaan SDAE yang merupakan milik umum. Pengelolaan SDAE oleh negara meniscayakan tersedianya lapangan kerja yang memadai dan juga jaminan kesejahteraan untuk rakyat. Sistem pendidikan juga dibuat bersinergi dengan kebutuhan lapangan kerja. Dengan demikian generasi muda Islam yang sudah memiliki keahlian akan dimaksimalkan potensi dan keahliannya. Apabila Islam diterapkan tentulah akan menjadi Rahmat dan keberkahan bagi seluruh umat manusia. 

Wallahu A'am bishshawab.