Legalisasi Aborsi yang Penuh Kontroversi
Oleh: Ummu Hanan (Pegiat Literasi)
Pembahasan seputar legalisasi aborsi tengah menghangat di tengah publik. Isu ini tidak terlepas dari apa yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Diantara pihak yang menunjukkan keresahan atas munculnya bahasan legalisasi aborsi ini adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Melalui Ketua MUI Bidang Dakwah dikutip bahwa pasal terkait aborsi yang terdapat dalam PP ini tidak berkesesuaian dengan prinsip Islam (mediaindonesia.com, 1/8/2024). Ketua MUI Bidang Dakwah menyoroti soal kebolehan aborsi ketika dilakukan setelah ditiupkannya ruh, yakni di atas 120 hari, kecuali jika ada pertimbangan medis atau alasan lainnya yang dibenarkan oleh syariat Islam. Hal lain yang tidak luput dari kritisi MUI adalah penghapusan sunat perempuan yang juga bertentangan dengan syariat Islam.
PP Nomor 28 Tahun 2024 telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 30 Mei 2024 lalu. PP ini disahkan dalam rangka menindaklanjuti tingginya angka kehamilan tidak diinginkan akibat tindak perkosaan atau kekerasan seksual. Dalam pelaksanaannya tindak aborsi hanya boleh dilakukan pada fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut beserta tim medis yang sesuai dengan ketetapan Menteri Kesehatan. Meski secara sekilas lahirnya PP ini menjadi solusi praktis bagi tingginya angka korban kejahatan seksual, namun PP ini juga menyisakan hal mendasar yang menjadikannya cacat secara asas. Karena itu tidak sekadar melahirkan kontroversi, tetapi juga layak untuk kita kritisi lebih jauh. Apakah legalisasi aborsi adalah solusi terakhir bagi korban kejahatan seksual, ataukah ada solusi terbaik yang tak sekadar berbicara pada tataran kuratif namun lebih kepada upaya preventif?
Penting untuk kita evaluasi bersama sebelum membahas soal aborsi, yakni mengapa marak kasus kehamilan tak diinginkan di tengah remaja? Kita dapati bahwa melonjaknya kehamilan tidak diinginkan tidak terlepas dari gaya hidup serba bebas yang diadopsi mayoritas remaja saat ini. Interaksi antara lawan jenis menjadi perkara yang sangat longgar sehingga aktifitas seperti campur baur (ikhtilath) adalah hal yang biasa. Remaja saat ini dihadapkan pada paparan gayan hidup liberal yang begitu massif. Mulai dari bacaan, tayangan dan tontonan, lagu dari para idola semua tidak luput dari suasana kehidupan liberal. Rangsangan terhadap naluri seksualitas diumbar sedemikan rupa tanpa ada filter kecuali sedikit. Lembaga sensor yang ada seolah tak berdaya menghadapi serangan gaya hidup liberal ini. Termasuk benteng terakhir remaja yakni keluarga harus berjibaku dengan liberalisme.
Aborsi tidak harus terjadi jika kehamilan yang terjadi didambakan oleh ayah dan ibunya. Kehamilan semacam ini hanya mungkin terjadi jika ikatan yang terjalin diantara keduanya adalah ikatan yang benar, baik secara tujuan maupun misi dari pernikahan itu sendiri. Dalam suasana kehidupan kapitalistik seperti saat ini, pernikahan lebih mengacu pada formalisasi naluri seksualitas. Banyak pernikahan yang dibangun atas dasar dorongan hawa nafsu. Alhasil, pernikahan dalam sistem kapitalisme rentan terhadap perceraian dan perselingkuhan. Berbeda halnya dengan pernikahan dan pandangan Islam. Syariat Islam telah menggariskan bahwa tujuan pernikahan tidak lain adalah untuk ibadah kepada Allah SWT. Dengan dorongan ibadah inilah kemudian lahir amal yang mengarah pada ketundukan atas syariat Allah dalam seluruh aspek kehidupan.
Syariat Islam melahirkan suasana kehidupan yang selaras dengan fitrah penciptaan manusia. Islam melarang segala bentuk perilaku yang dapat menghinakan umat manusia, seperti perzinahan. Sebelum terbuka peluang terjadi zina maka syariat Islam telah melarang aktifitas yang mendekati zina, seperti khalwat, ikhtilath, mengumbar aurat dan bentuk paparan media massa yang mengandung konten porno. Negara tentunya akan turun tangan dalam membangun susasana kehidupan yang kondusif untuk penerapan syariat Islam secara paripurna, seperti melarang peredaran segala macam pemicu terjadinya gaya hidup bebas, sebagaimana kaidah dalam Islam menyebut, alwashilah ila al haram muharamah, yakni setiap hal yang bisa menghantarkan pada keharaman maka hukumnya haram.
Syariat Islam begitu sempurna mengatur kehidupan manusia. Nilai-nilai luhur Islam mampu melahirkan peradaban mulia sebab masyarakat yang hidup di dalamnya senantiasa diatur dalam rangka tunduk pada aturan Pencipta, Allah SWT. Sebaliknya, sistem kapitalisme terbukti gagal dalam menjaga keluhuran nilai manusia dengan aturan-aturan bathil yang menghinakan, seperti legalisasi aborsi. Kontroversi aturan ini tak boleh berkepanjangan sebab jelas mudharatnya. Sudah saatnya masyarakat menyadari hakikat butuh dan wajibnya mereka untuk kembali pada aturan Allah SWT. Bukan hanya untuk generasi remaja namun untuk seluruh umat manusia secara keseluruhan. Allahu’alam.
Posting Komentar