-->

Main Hakim Sendiri, Siapa Yang Dirugikan?


Oleh : Maulli Azzura

Jajaran Polsek Gresik Polres Gresik mengamankan seorang terduga pelaku pencurian kendaraan bermotor (Curanmor) di wilayah Jalan KH Agus Salim, Gapurosukolilo, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik, Rabu 14 Agustus 2024 malam. (klikjatim.com 15/08/2024)

Dunia kriminal dalam sistem kapitalis memang sudah seperti bumbu. Hampir setiap detik mungkin kita disuguhkan diberbagai media sosial ragam kriminal dari kasus keluarga, masyarakat hingga politik. Kriminal pada dasarnya terbentuk dari cerminan sistem atau ideologi (mabda') sebuah negara. Sehingga lahirlah aturan hukum yang sarat dengan kemudharatan semata.

Dari aturan itulah masyarakat membentuk karakternya sehingga terjadi pola kebiasaan buruk dari setiap cabang pemikirannya yang jauh dari syariat yang bersumber dari Allah SWT. Karakter hukm yang terbentuk dari aturan selainNya pastilah hanya berbekal nafsu dan pikiran yang salah. Sehingga aturannya tidak baku serta tidak mengikat antar individu untuk menjadi baik.

Pada dasarnya aturan sukuler kapitalis tidak mengenal asas halal dan haram. Akhirnya setiap perbuatan disandarkan pada kebebasan. Disanalah bermula kerusakan terjadi disegala lini dan kriminalitas ditengah-tengah umat meningkat.Dengan adanya hukum sekuler yang multi tafsir  dipastikan dalam penegakan hukum akan rawan untuk dipermainkan.

Kita melihat masyarakat mulai gerah dengan penegakan hukum dinegeri ini. Sehingga rasa ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum mengubah perilaku masyarakat menjadi barbar dan main hakim sendiri. Padahal jika kita melihat dari mata islam main hakim sendiri tergolong sebuah tindakan penganiayaan ('amdu, syibhul 'amd, atau khata'). Dan pelakunya bisa dijatuhkan sanksi qishas.

Dalam hukum pidana Islam, main hakim sendiri dianggap sebagai perbuatan zalim yang bisa merugikan orang lain. Selain itu, main hakim sendiri juga bertentangan dengan ajaran agama Islam, yang mengajarkan untuk melakukan tabayyun (memintai keterangan) terlebih dahulu. 

Dalam sistem khilafah telah jelas bagaimana mekanisme berjalannya sebuah vonis hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku kriminal atau orang yang melanggar syariat dan sejenisnya.Adalah peradilan yang dipimpin oleh Qadhi.

Pertama Qadhi  Khushûmât yang menyelesaikan sengketa di tengah masyarakat, baik yang berkaitan dengan muamalah maupun ‘uqûbât [sanksi]. Sengketa ini bisa melibatkan hak yang berkaitan dengan mu’amalah, seperti hutang-piutang, jual-beli dan sebagainya.

Selain sengketa dalam masalah hak yang berkaitan dengan muamalah, juga ‘uqûbât [sanksi], seperti sanksi bagi pezina, orang yang murtad, penganut aliran sesat, penyebar ide-ide sesat dan menyesatkan, dan sebagainya. Mereka semua bisa diadili di peradilan Khushûmât ini.

Kedua Qâdhî Muhtasib untuk menyelesaikan pelanggaran yang bisa membahayakan hak masyarakat [jamaah]. Qâdhî Muhtasib ini bertugas untuk mengkaji semua masalah yang terkait dengan hak umum, tanpa adanya penuntut. Kecuali, kasus hudûd [seperti, perzinaan, menuduh berzina, mencuri, minum khamer, sodomi] dan jinâyât [seperti pembunuhan, melukai anggota badan orang].

Ketiga Qâdhî Madzâlim untuk menghilangkan kezaliman negara terhadap orang yang berada di bawah wilayah kekuasaannya, baik rakyat negara khilafah maupun bukan. Kezaliman tersebut dilakukan sendiri oleh khalifah, pejabat negara maupun pegawai yang lain.

Inilah sistem peradilan dalam Islam, dengan ketiga peradilannya. Karena, semua orang dalam Negara Khilafah mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Di dalam Islam juga tidak ada hukum lain yang diterapkan, kecuali hukum Islam.Sehingga tidak ada tindakan main hakim sendiri serta terealisasinya keadilan hukum secara transparan terhadap publik memberikan trust terhadap hukum membuat kondisi umat semakin taat.

Wallahu A'lam Bishowab