Mengerikan, Indonesia Darurat Syahwat!
Oleh : Ummu Utsman
Dikutip dari Liputan6.com 14-08-2024, dokter spesialis kandungan, Yulfa Rizki Amita, yang bertugas di RS Pelni, Jakarta, membagikan cerita tentang seorang pasiennya yang baru berumur 10 tahun tapi sudah aktif secara seks. Anak perempuan tersebut awalnya meminta izin kepada orangtuanya untuk menginap di rumah seorang teman. “Ini saya baru aja ketemu pasien, aduh, saya pengin ngingetin teman-teman semua untuk kalau teman-teman, ibu-ibu yang punya anak perempuan, harus benar-benar dijaga anak perempuannya baik-baik,” kata Yulfa dalam unggahan TikTok pribadinya, @dr.yulfa.spog.
Peristiwa ini sangat menyakitkan bagi kita. Bagaimana tidak, anak seusia itu sudah terbiasa melakukan perilaku seksual sebagaimana yang dilakukan oleh yang sudah punya hak untuk melakukannya. Benteng pertahanan keluarga sudah jebol. Aset generasi terdegradasi. Harapan umat terjerat syahwat.
Keluarga yang seharusnya membentengi generasi, seakan tak mampu menghalangi bangkitnya syahwat agar selamat. Media menjadi instrumen pemicunya menjadi sarana yang menghantarkan generasi pada posisi tak bermoral lagi.
Kasus anak di atas yang diawali dari pertemuan di media sosial, menunjukkan betapa media telah menjadi ajang pertemuan terlarang. Akses yang mudah untuk masuk ruang media menjadi arena tanpa batas bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya, termasuk anak belia.
Akibat Sistem Sekularisme
Tidak dimungkiri, saat ini dunia digital dan dunia nyata penuh dengan stimulus seksual. Media sosial menjadi sarana yang mendorong kecenderungan pun mampu mendorong pada terbangkitkannya aktivitas birahi. Saat naluri bangkit respons dari stimulus itu memenuhinya. Halal atau haram pemenuhan dalam asuhan kapitalis sekuler liberal, menjadi tidak diperhatikan lagi. Kenikmatan seksual seakan telah memberi kepuasan hidup bagi para pelakunya. Tragisnya, dunia anak terkotori dengan gaya hidup seperti itu.
Asap tebal seks bebas yang menyesakkan hidup ini terjadi karena abainya pembakaran api dorongan seksual. Ada asap ada api. Demikianlah dalam sistem hidup sekuler saat ini, stimulus-stimulus yang membuat syahwat bangkit seakan tak dibatasi.
Dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan ini, manusia bebas berbuat apa pun. Bebas menjadikan apapun untuk memuaskan hasrat berinteraksi dengan lawan jenis, berhak hidup bersama tanpa ikatan pernikahan, bebas mengekspresikan diri, pokoknya bebas melakukan apa pun selama tidak mengganggu orang lain. Mengerikannya hal ini sudah merambah di kalangan anak, aset bangsa.
Konten-konten yang membangkitkan syahwat menjadi primadona netizen Indonesia. Meski aparat telah bekerja, tetap saja konten tersebut muncul. Ibaratnya, mati satu tumbuh seribu. Benar-benar mengkhawatirkan.
Jagat digital yang kian mudah diakses, membuat generasi mudah terpapar konten-konten penuh syahwat. Bisa dari kartun, film, video pendek hingga gim. Meski dalam visualisasi kartun, para pemeran di berbagai konten itu dibuat sensual oleh sang kreator. Sekilas itu terlihat hanya permainan, tetapi tangkapan visual tetap saja terekam oleh indra anak-anak dan remaja.
Belum lagi dalam keseharian, tidak sulit kita menemukan perempuan yang berpakaian, tetapi telanjang, adegan mesum yang free akses di ponsel, acara TV, film, nyaris semua membangkitkan syahwat. Hasilnya, dorongan seksual bebas kian menjadi-jadi.
Semakin lama, visual-visual semacam ini sudah wajar di mata mereka. Belum lagi kalau kita bicara tontonan di YouTube yang bebas akses. Jika orang tua tidak mengawasi, anak-anak begitu mudah mengakses konten porno. Tentu saja orang tua tidak sepenuhnya mengontrol 24 jam penggunaan telepon seluler anak mereka. Tidak pelak, ini menjadi celah masuknya konten negatif.
Begitu juga di dunia nyata. Berapa mudah kita mendapati interaksi laki-laki dan perempuan yang mengumbar syahwat. Seks bebas yang dilakukan di tempat umum menjadi tontonan lumrah. Para pelaku tanpa malu-malu mempertontonkan syahwat mereka di tempat umum. Betapa keseharian generasi berada dalam kondisi kegawatdaruratan. Sangat parah dan mengerikan.
Penerapan sistem sekularisme kapitalisme liberal telah menjadikan kebebasan di atas segalanya hingga membuka ruang terjadinya pergaulan bebas. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini selalu menghalalkan apa yang diharamkan. Nilai agama dikesampingkan dan hanya menjadi urusan individu. Minimnya bekal agama menjadikan manusia kehilangan jati diri dan pegangan hidup. Wajar jika pergaulan makin kebablasan dan yang lemah iman menjadi korban sistem rusak ini, anak menjadi salah satu korban.
Jika saja pemerintah bertindak tegas dan menjalankan kewajibannya melindungi rakyat, sebetulnya mereka bisa memblokir konten-konten pornografi dan pornoaksi yang jelas merusak remaja dan berdampak buruk bagi masa depan mereka. Namun, sungguh jauh panggang dari api. Sangat sulit mengharapkan penguasa dalam sistem sekularisme kapitalisme ini untuk memperhatikan urusan rakyatnya. Alhasil, keluarga muslim sendiri yang harus berusaha keras membentengi anak-anaknya dari pengaruh buruk yang makin gencar melingkupi mereka. Namun, sayangnya pula banyak orang tua membebaskan anak-anaknya yang masih belia menggunakan gadget tanpa aturan, hingga mereka tidak tahu bahwa anak-anak belianya telah berinteraksi lewat media dengan interaksi melewati batas. Syahwat menjerat.
Islam Membentengi Anak dari Syahwat
Sistem yang berdampak buruk pada anak saat ini mau tidak mau memang harus kita hadapi. Sstem sekuler liberal yang diterapkan negeri ini, membuat kita sangat-sangat khawatir. Arus liberalisme demikian kuat melanda. Tayangan-tayangan di televisi dan media sosial seolah tidak ada remnya sehingga berpeluang besar membangkitkan syahwat. Kehawatiran terhadap situasi ini kian menjadi. Orang tua harus memberikan perhatian, pemahaman, dan penjagaan ekstra untuk anak-anaknya.
Islam sebagai sebuah sistem yang menyeluruh tak akan membiarkan benteng keluarga roboh. Islam memberikan arahan yang jelas agar anak-anak terjaga dari pergaulan bebas. Beberapa hal harus dilakukan dalam kehidupan keluarga, di antaranya,
Pertama, orang tua menanamkan keimanan yang kukuh dan cinta kepada Allah Swt. pada anak sejak dini, karena hal ini sangat memengaruhi tumbuh kembang anak dalam perjalanan hidupnya. Agama harus menjadi ukuran perbuatan yang akan dilakukan. Sabda Rasulullah Muhammad Saw.,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ, فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ -رواه البخاري
Dari Abu Hurairah r.a. (diriwayatkan), ia berkata, Nabi saw bersabda, “setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci). Kedua orangtuanya lah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi sebagaimana binatang ternak yang melahirkan binatang ternak” [HR. al-Bukhari nomor 1296].
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar anak benar-benar mengenal Allah Swt., Sang Pencipta yang Maha Pengatur. Selain itu, agar anak mengenal Nabi Muhamad saw. sebagai utusan-Nya, serta mencintai Al-Qur’an dan meyakini seluruh isinya. Ini sudah mulai dilakukan sejak anak masih dalam kandungan yang dilanjutkan hingga lahir. Sejak usia dini, anak harus diajak belajar memahami bahwa dirinya, orangtuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Oleh sebab itu, manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Mereka dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Ketika anak memahami dengan benar bahwa Allah Maha Melihat dan Mendengar—tentu dengan bahasa yang makruf sesuai usia mereka—bi idznillaah kelak anak-anak kita paham bahwa segala yang diperbuatnya selalu berada dalam pengawasan Allah sehingga mereka tidak asal berbuat.
Kedua, orang tua mengentalkan syariat Islan pada diri anak Islam sejak dini. Orang tua menanamkan pada anak-anak terkait menjalankan salat, sesuai Sabda Rasulullah Saw.,
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنَ ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِيْنَ ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Suruhlah anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun! Dan pukullah mereka ketika berusia sepuluh tahun (jika mereka meninggalkan shalat)! Dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara anak laki-laki dan anak perempuan).” (Abu Dawud, no. 495), dan ibadah-ibadah lainnya.
Menjelaskan tentang ahkaam al-khamsah, diiringi dengan mengenalkan hukum syariat yang lain seperti larangan mencuri, mengambil hak orang lain, cara berpakaian, dan sebagainya. Juga terkait akhlak. Berbakti kepada ibu bapak, santun dan sayang kepada orang lain, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sebagainya. Menjadi pembiasaan yang senantiasa mengiringi hidup anak. Berbagai adab dalam Islam, seperti makan dengan tangan kanan, berdoa sebelum dan sesudah makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, tidak menyakiti hewan, dan sebagainya, pun tidak terlewatkan diajarkan.
Ketiga, orang tua senantiasa menjelaskan hukum syariat tentang pengaulan sosial. Saat mumayyiz, orang tua harus mulai menyampaikan hukum-hukum syariat, terutama yang berkaitan dengan sistem pergaulan dalam Islam secara rinci, sehingga saat balig, mereka telah siap menanggung beban hukum. Ketika anak-anak kita paham aturan ini, bi idznillaah hal itu akan mencegah mereka terjerumus dalam pergaulan bebas.
Menundukkan pandangan (QS An-Nur [24]: 30—31), menjaga sifat ’iffah (menjaga kesucian diri) (QS An-Nur [24]: 33), menutup aurat dan berpakaian secara sempurna (QS An-Nur [24]: 31 dan QS Al-Ahzab [33]: 59), melarang laki-laki dan perempuan berkhalwat, tabarruj bagi perempuan, dan sebagainya, merupakan hal penting yang harus kita sampaikan pada mereka. Tidak lupa pula menyampaikan bahwa Islam telah menetapkan hubungan seksual (shilah jinsiyah) haram dilakukan sebelum pernikahan dan terkategori zina. (QS Al-Isra [17]: 32 dan QS An-Nur [24]: 2).
Seluruh aturan tersebut akan membentengi anak-anak kita agar tidak melakukan kemaksiatan, termasuk pergaulan bebas. Dengan bekal ketakwaan yang dimiliki, mereka akan mampu mencegah dirinya dari melakukan perbuatan yang melanggar hukum syarak.
Keempat, orang tua mengajarkan pada anak untuk membiasakan berpikir benar. Globalisasi budaya, informasi, dan teknologi sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku anak-anak. Anak kerap memiliki argumentasi sendiri terkait hal yang ia lakukan. Pandainya seorang anak berargumentasi belum tentu bermakna bahwa anak membangkang. Bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar sehingga membuat ia bertanya.
Informasi yang benar, yang bersumber dari ajaran Islam, Al-Qur’an, dan Sunah harus disampaikan pada anak-anak secara bertahap dan sesuai kemampuan nalar anak. Orang tua dengan sabar dan penuh kasih sayang menstimulasi anak agar menggunakan akalnya untuk berpikir dengan benar.
Kelima, orang tua berupaya menanamkan sikap tanggung jawab pada anak. Orang tua sudah menumbuhkan kesadaran mereka bahwa segala perbuatan yang dikerjakannya akan ada pertanggung-jawabannya pada saat mereka tamyiz. Amal baik akan dibalas kebaikan dan amal buruk akan dibalas keburukan. Dengan demikian, anak-anak akan berhati-hati bertindak dan berucap. Mereka tidak akan mudah jatuh dalam suatu keburukan. Jika melakukan suatu kekhilafan, anak akan segera menyadarinya lalu bertobat kepada Allah dan memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik. Abdullah bin Busr ash-Shahabi ra. berkata,
“Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah saw. untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum sampai kepada beliau, saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda, ‘Wahai anak yang tidak amanah.’” (HR Ibnu Sunni).
Rasulullah Saw. pun pernah Menjewer telinga Ibnu Abbas,
قال عبد الله بن عباس رضي الله عنهما فقمت فصنعت مثل ما صنع ثم ذهبت فقمت إلى جنبه فوضع رسول الله صلى الله عليه وسلم يده اليمنى على رأسي وأخذ بأذني اليمنى يفتلها بيده
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma menceritakan ” Maka aku Berdiri mengikuti apa yang Rasulullah lakukan (Shalat) lalu aku menuju ke samping (Kiri) beliau untu ikut mendirikan shalat. Tiba tiba beliau meletakkan tangan kanannya di kepalaku dan menyentuh telinga kananku, ia menjewernya dengan tangan nya.”
(Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari).
Demikianlah Rasulullah Saw. memperlakukan anak sesuai kadar kesalahan dan kondisinya. Sikap tanggung jawab membuat anak-anak cerdas mengontrol dan mengendalikan dirinya.
Keenam, orang tua selalu memberikan teladan karena anak-anak membutuhkan qudwah dan teladan yang baik, bahkan hingga ia dewasa. Sudah seharusnya orang tua selalu memberikan contoh yang baik kepada anak. Tentu agar benih-benih kebaikan tumbuh kuat dalam diri mereka yang akan terbawa dalam setiap sikap dan perilaku mereka. Rasulullah saw. mencontohkan adab yang baik kepada Fathimah dan terus diamalkan hingga dewasa.
Ketujuh, orang tua selalu memanjatkan do’a untuk keluarga dan anak-anaknya.
Doa orang tua, terutama ibu, untuk keluarga dan anak-anaknya pada waktu-waktu mustajab merupakan senjata utama. Oleh karena itu, perbanyaklah meminta kepada Allah agar Dia menjadikan anak-anak kita sebagai anak-anak yang saleh-salihah, dijauhkan dari pelanggaran syariat, dan agar Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus. Firman Allah Ta’ala,
وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-furqon: 74).
Berdoa untuk kebaikan anak adalah salah satu ciri hamba Allah yang saleh.
Oleh karena itu sudah saatnya Islam sebagai ajaran yang paripurna diterapkan agar syahwat tidak lagi melekat, agar generasi selamat dunia akhirat.
Wallaahu a’laam bisshawaab.
Posting Komentar