-->

Menyongsong Keluarga Berkualitas

Oleh : Erin Azzahroh (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Keluarga merupakan kunci dari hidup yang bahagia dan keluarga merupakan fundamen yang menjadi penentu segala-galanya. Keluarga merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat, tidak ada masyarakat yang baik dan maju, tidak ada bernegara yang baik dan maju jika miniaturnya rusak, jika keluarga itu rusak, jika keluarga itu rapuh.Demikian yang disampaikan oleh Wabup Bandung I Ketut Suisa dalam Puncak Peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 pada Jumat, (16/8/2024) dikutip dari fajarbali.com (18/08/2024)

Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Bali Sarles Brabar yang hadir memberikan sambutan, mengapresiasi karena bandungandung mengalami tren penurunan stunting yang cukup signifikan dari tahun ke tahun, namun pada tahun 2023 yang lalu penurunannya hanya mencapai 0,1% yaitu 21,5%. Namun pertanyaanya apakah persoalan Keluarga di Indonesia telah selesai dengan menurunnya angka stunting?

Dikutip dari situs resmi Menko PMK, Muhadjir menjelaskan bahwa pemerintah tengah menyiapkan keluarga yang berkualitas dimulai sejak prenatal atau masa sebelum kehamilan, masa kehamilan, dan masa 1000 hari pertama kehidupan manusia. Intervensinya dengan memberikan tablet tambah darah kepada remaja putri dan bimbingan perkawinan bagi calon pengantin, hingga pemantauan kesehatan ibu dan bayi (30/06/2024)

Dari penyampaian Menko PMK tersebut, dapat dirasakan jika menurut pemerintah, keluarga berkualitas hanya dinilai dari unsur fisik semata. Padahal lebih dari itu, manusia sebagai makhluk holistik tentu memiliki urusan yang lebih kompleks daripada sekedar urusan badaniyah saja.

Beragam kasus sosial yang booming dewasa ini seharusnya lebih dari cukup untuk memberi bukti bahwa keluarga di nusantara masih jauh dari berkualitas. Misal tingginya kemiskinan, tingginya KDRT, terjerat pinjol juga perceraian, dan lain-lain.

Tentu tidak berlebihan jika permasalahan ini dikaitkan dengan diterapkannya sistem sekulerisme-kapitalisme. Penguasa dalam sistem ini tidak akan mampu menyelesaikan persoalan dari akar masalah. Semua akibat banyak kebijakan negara yang menelurkan beragam masalah pada keluarga. Misal legalisasi Undang-undang Minerba yang membuat para korporat terus-menerus menguasai sumber daya alam. Padahal swastanisasi ini berakibat kemiskinan struktural di masyarakat.

Banyaknya keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan membuat para orang tua tidak mampu memberi gizi terbaik sehingga meningkatlah kasus stunting. Suami istri juga tidak menerapkan batasan hak dan kewajiban mereka karena sibuk mencari uang demi bertahan hidup. Akhirnya wajar jika banyak terjadi perceraian.

Karena itu jika penguasa hanya memberi solusi intervensi sebagaimana penjelasan KEMENKO PMK pada puncak HARGANAS lalu, tentu upaya tersebut sama sekali tidak akan menyentuh akar persoalan. Apalagi jika pendefinisian generasi emas yang akan diwujudkan juga tidak jelas bahkan berorientasi duniawi belaka. Peringatan Hari Keluarga pun menjadi sekedar seremonial karena berbagai hal yang kontradiktif pada kenyataannya.

Fakta ini berbeda dengan sejarah peradaban silam, ketika aturan Illahi masih dianggap keberadaannya dan diterapkan dalam keseharian. Dalam aturan Islam, bangunan keluarga tentu diawali dari sebuah pernikahan. Rasulullah SAW bersabda, "jika seseorang telah menikah berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya." (HR. Baihaqi).

Sebuah keluarga tentu diawali dari sebuah pernikahan. Dalam Islam pernikahan dianggap sebagai bentuk penyempurnaan ibadah. Rasulullah SAW bersabda, "jika seseorang telah menikah berarti ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya." (HR. Baihaqi).

Tak hanya itu, Islam menyatakan bahwa akad pernikahan merupakan mitsaqon gholidzon (ikatan yang kuat). Hal ini mendorong setiap pasangan untuk berupaya keras menjaga keutuhan rumah tangganya. Sebab akad ini disaksikan pula oleh keluarga, karib kerabat, bahkan yang utama dilakukan di hadapan Allah Ta'ala yang kelak akan meminta pertanggungjawaban atas hal ini. Kemudian kehidupan yang dijalankan setelah pernikahan haruslah mampu mewujudkan rasa ketenangan, kenyamanan, serta cinta dan kasih sayang di antara pasangan.

Dijelaskan pula oleh firman Allah dalam QS Ar-Rum ayat 21, bahwa kepemimpinan atau qowwam dalam keluarga berada di tangan suami. Tugas ini adalah kewajiban yang Allah berikan kepada laki-laki. Namun kepemimpinan di sini bukan kepemimpinan diktator, melainkan yang membawa kebaikan dan maslahah kedua belah pihak (QS. An-Nisa: 34).

Makna qowwam juga bisa diartikan meluruskan. Yakni laki-laki bertugas menjaga seluruh kepentingan istrinya baik di dunia maupun akhirat. Hal ini juga ditegaskan dalam Quran surah at-tahrim ayat 6, "hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka."

Sementara kewajiban seorang istri adalah menjadi al umm warobbatul bait dan madrasatul ulla di keluarga. Konsep ini merupakan pendidikan aqidah di dalam keluarga. Ketika sama-sama dijalankan oleh suami istri bukan hal mustahil bisa melahirkan generasi shalih dan shalihah. Kewajiban nafkah keluarga pun Allah bebankan kepada laki-laki sebagaimana pada QS. Al-Baqarah Ayat 233 sehingga para wanita bisa menjalankan perannya dengan baik.

Inilah konsep-konsep syariat islam dalam kehidupan suami. Meskipun orientasinya akhirat, namun suami-istri tetap bisa menikmati kesenangan dunia dengan jalur hak dan kewajiban masing-masing.

Melihat bukti menjamurnya kerusakan keluarga dewasa ini, tentu tergambar jika mewujudkan keluarga berkualitas akan sulit tanpa dukungan sistem dalam Islam. Negara harus memposisikan diri sebagai pengayom dan benteng untuk membangun kebijakan dalam rangka menyiapkan keluarga tangguh. Jika sudah demikian, maka impian lahirnya generasi cemerlang pembangun peradaban mulia tentu tidak lagi utopis.

Negara yang menerapkan Islam memiliki sistem ekonomi yang menjamin jalur penafkahan berjalan dengan benar. Kesejahteraan masyarakat sistem pendidikan Islam juga akan membantu pendidikan akidah bagi generasi di luar pendidikan orang tuanya di rumah.

Di sisi lain, penerapan sistem pergaulan Islam akan menjaga pergaulan di antara masyarakat tetap bersih, suci, dan benar. Sungguh kontras dengan konsep keluarga yang dibangun dalam sistem sekuler kapitalisme saat ini. Karena itu, jika memang betul mengharapkan terwujudnya keluarga yang berkualitas dan berdaya saing, maka tidak ada cara selain mengganti sistem sekulerime-kapitalisme dengan penerapan aturan Sang Pencipta dalam kehidupan bernegara.