-->

Merdeka, Lepas dari Belenggu Penjajah?

Oleh : Ida Nurchayati

Bulan Agustus identik dengan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indoneaia. Semarak Merah Putih menghiasi sepanjang jalan, rumah dan perkantoran. Aneka perlombaan dari tarik tambang, panjat pinang, makan kerupuk hingga lomba bakiak diadakan untuk menyemarakkan suasana kemerdekaan. Namun ditengah gegap gempita perayaan kemerdekaan, melintas berjuta pertanyaan, benarkah negara kita sudah merdeka?

Tujuh puluh sembilan tahun Negara Republik Indonesia berdiri. Bukan usia yang muda, namun hampir delapan dasa warsa negara ini merdeka, nasib rakyat belum sejahtera, bahkan nasibnya kian memprihatinkan. Seribu satu masalah masih membelenggu, dari aspek politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya hingga keamanan. Lantas, masihkah kita layak teriak "Merdeka"?

Terbelenggu Sistem Warisan Penjajah

Diusia kemerdekaan 79 tahun, kondisi negara masih jauh dari cita-cita bangsa ini didirikan. Dibidang Pemerintahan, cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih masih jauh panggang dari api, faktanya korupsi makin menjadi. Belum usai kasus korupsi timah, disusul kasus penyalahgunaan wewenang para petinggi PT Antam, kasus Tol MBZ, hingga korupsi di Kementerian Pertanian, SYL. Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan tren korupsi tahun 2023 melonjak menjadi 791 kasus dan 1695 tersangka korupsi (news.detik.com, 19/5/2024).

Dibidang ekonomi tidak kalah memprihatinkan. Kesenjangan ekonomi makin lebar, Maret 2023, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur menggunakan Gini Ratio sebesar 0,388. Persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau sebanyak 25,22 juta orang. Lapangan pekerjaan makin sulit diakses, angka pengangguran kian tinggi yakni 4.82 persen. Angka ini bisa terus bertambah dengan meningkatnya kasus PHK (www.bps.go.id, 17/7/2024). Ironisnya, meski banyak penduduknya yang berkubang dalam kemiskinan, Pemerintah seolah menutup mata, menggelar perayaan HUT kemerdekaan 2024 ini didua tempat, yakni Jakarta dan IKN. Perayaan yang menelan ratusan milyar terkesan dipaksakan demi ambisi pribadi penguasa.

Dibidang Pendidikan masih menyisakan pekerjaan rumah yang tidak mudah. Meski berganti kurikulum, belum bisa menghasilkan peserta didik yang berkepribadian, kuat mental dan tangguh. Dunia pendidikan maaih kental dengan bullying, tawuran, kekerasan seksual, terlibat narkoba dan pergaulan bebas. Angka putus sekolah masih tinggi, bahkan sensus 2022 menunjukkan 4 juta lebih anak tidak mengakses dunia pendidikan. UKT makin mahal, bahkan pendidikan tinggi dianggap sebagai kebutuhan tersier, sehingga anak yang tidak mampu harus memgubur mimpi bisa belajar di perguruan tinggi.

Dibidang hukum tak kalah memprihatinkan. Hukum masih tebang pilih, tajam kebawah dan tumpul keatas. Hukum bahkan dijadikan alat penjaga kekuasaan, bisa diotak-atik sesuka penguasa untuk melanggengkan politik dinasti.

Dibidang sosial lebih menyayat hati. Angka bunuh diri kian tinggi, lg87 kian marak, pinjol dan judol kian meresahkan masyarakat.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sepanjang tahun 2023 mencatat transaksi judi online mencapai Rp 327 triliun (kontan.co.id, 27/5/2024).

Inilah potret kondisi bangsa menyambut HUT Kemerdekaan ke-79. Usia yang tidak lagi muda. Ketika negara menghadapi permasalahan diseluruh lini kehidupan, tentu bukan semata karena salah memilih sosok pemimpin. Terlebih, presidan sudah berganti tujuh kali dengan berbagai latar belakang, namun belum berhasil membawa bangsa pada cita- cita dan tujuannya.

Kondisi negara yang tidak baik-baik saja efek dari penerapan sistem sekuler kapitalisme, sistem warisan penjajah. Meski penjajah sudah enyah, namun hukum- hukum peninggalan penjajah belum goyah.

Padahal sistem kapitalisme tengah menuju keruntuhannya. Ideologi yang dikomando Amerika beserta sekutunya menuju keruntuhan karena bertentangan dengan fitrah dan akal sehat manusia. Sistem yang menghilangkan peran agama, dan memuja manusia sebagai pusat segalanya. Padahal manusia sifatnya lemah dan terbatas.

Sistem kapitalisme melahirkan eksploitasi dan alienasi manusia yang mengarah pada mementingkan diri sendiri. Kapitalisme menghilangkan peran penguasa sebagai pelayan rakyat , dan hanya berfungsi sebatas regulator, membuat kebijakan yang senantiasa mengabdi pada pengusaha. Penguasa dan pengusaha berkolaborasi mengeksploitasi hak-hak individu rakyat. Bukti nyata UU Minerba, UU Migas dan UU Ciptakerja yang sangat tidak memihak pada rakyat.

Sistem kapitalisme demokrasi, sistem warisan penjajah yang mengubah bentuk penjajahan fisik menjadi neo-imperialisme. William Blum (2013), dalam bukunya _America's Deadliest Export Democrazy_ mengungkapkan demokrasi sarana dominasi Amerikan dan sekutunya terhadap negara- negara di dunia, termasuk dunia Islam.

Dengan demokrasi, Amerikan bisa mengintervensi kebijakan negara lain. Dengan kata lain, melalui perundang-undangan, kapitalisme global bisa mengeruk kekayaan dinegeri-negeri kaum muslim. Sistem yang meninabobokkan rakyat, mereka tidak menyadari bahwa negaranya masih terjajah. Maka selama sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan, selama itu bangsa ini akan terjajah. Lantas, tidakkah kita menginginkan meraih kemerdekaan hakiki?

Kemerdekaan Hakiki hanya dengan Islam

Islam datang untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan baik sesama manusia, bangsa maupun idiologi hanya penghambaan pada Allah SWT semata. Islam menyeru manusia pada tauhid melalui dakwah dan jihad. Tauhid inilah yang membebaskan segala ikatan yang membelenggu manusia. Maka konsep _futuhat_ dalam Islam berbeda dengan konsep penjajahan barat. Hal ini tampak dari jawaban utusan Panglima Perang, Saad bin Abi Waqash ra sebelum terjadi Perang Qadisiyah 636 M, Rib'iy bin Amir, ketika menjawab pertanyaan Rustum, pemimpin Persia, mengapa Islam melakukan futuhat terhadap wilayah mereka,

"Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan (memerdekakan) siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan diri kepada sesama manusia agar mereka menghambakan diri hanya kepada Rabb manusia. Dia mengeluarkan mereka dari dunia yang sempit menuju akhirat yang luas, dan mengeluarkan mereka dari kezaliman agama-agama yang ada kepada keadilan Islam"

Inilah makna kemerdekaan hakiki, yakni ketika manusia hanya tunduk dan terikat dengan segala perintah dan larangan Allah. Semangat ini sangat relevan dengan konsep hijrah maknawi, yakni meninggalkan segala bentuk kemaksiatan menuju pada ketaatan totalitas. Kondisi ini terwujud ketika umat hidup dalam tatanan sistem Islam. Maka harus ada dakwah berjamaah untuk mengembalikan kehidupan Islam. Dakwah penyadaran untuk membersihkan semua bentuk belenggu, baik pemikiran, perasaan, aturan, ideologi apapun yang bertentangan dengan Islam. Diganti dengan konsep tauhid, baik asas maupun aturan yang terpancar darinya untuk mengatur kehidupan manusia. Inilah kemerdekaan hakiki.

Khatimah

Negara kita merdeka baru sebatas bebas dari penjajahan fisik. Agar merdeka secara hakiki harus ada upaya menjadikan tauhid sebagai landasan kehidupan baik pribadi, keluarga masyarakat dan negara. Serta menjadikan syariat Islam sebagai aturan untuk mengatur hubungan manusia. Inilah kemerdekaan hakiki.