-->

Peringatan! Barang Murah China Mulai Membanjiri dan Mengancam Industri Lokal Kita

Oleh: Umma Almyra

Barang-barang manufaktur dari China terus menyerbu pasar domestik Indonesia, dengan produk seperti tekstil dan keramik yang semakin menonjol. Ada kekhawatiran bahwa industri dalam negeri tidak mampu bertahan menghadapi serangan ini dan akhirnya akan kalah. Apalagi, impor barang murah dari China telah berlangsung lama, dan China terus melakukan inovasi serta penetrasi pasar Indonesia dengan meningkatkan efisiensi dan skala ekonominya. Hal ini membuat biaya produksi mereka rendah, menjadikan komoditas mereka semakin kompetitif.

“Manufaktur China mampu dengan cepat beradaptasi dengan perubahan selera pasar serta memanfaatkan potensi pasar di masa mendatang, didukung oleh infrastruktur yang baik dan kemudahan investasi. Jika kondisi ini terus berlanjut, industri dalam negeri akan terancam. Industri dalam negeri harus lebih baik dalam menyesuaikan diri dengan tren permintaan pasar, sementara regulasi pemerintah perlu melindungi industri lokal dari serangan impor ini.” kata Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Syafitri, Jumat (26/7/2024). www.cnbcindonesia.com

Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Marves melalui Kementerian Perdagangan, mengeluarkan rancangan aturan untuk bea masuk hingga 200%. Yang berfungsi sebagai pelindung bagi industri dalam negeri, sesuai dengan peraturan yang ada dan norma-norma perdagangan internasional yang berlaku.

Namun apakah hal ini akan menjadi solusi?

Sebab “Banjir” Produk China dan PHK

Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, aktivitas ekspor-impor dengan Tiongkok tentu mempengaruhi perdagangan internasional Indonesia. Saat ini, kapasitas produksi berlebih di Tiongkok telah mengakibatkan banjirnya produk Tiongkok di pasar Indonesia. Namun, penurunan impor Tiongkok juga menurunkan permintaan komoditas dari negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Kondisi ini menyebabkan Indonesia dipenuhi produk murah dari Tiongkok, yang menekan daya saing produk lokal, termasuk UMKM, dan berujung pada PHK serta ancaman penutupan pabrik di Indonesia. 

Sebanyak 21 industri tekstil di Indonesia telah tutup, dan 31 pabrik tekstil lainnya berada di ambang penutupan, ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta.

Sejak diberlakukannya Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA) pada tahun 2012, tercatat 150 ribu pekerja di sektor ini mengalami PHK selama tahun 2023. Cina telah menjadi pemimpin global dalam produksi tekstil, menguasai lebih dari 50% pasar dunia sejak 2014, sehingga tidak mengherankan Indonesia menjadi salah satu target pasar utama mereka.

Menghadapi lonjakan impor tekstil dan produk tekstil (TPT), pemerintah merespons dengan menerapkan kebijakan bea masuk anti-dumping melalui Kementerian Perdagangan, merencanakan penerapan bea masuk hingga 200% untuk barang-barang impor sebagai upaya melindungi industri domestik, sesuai dengan peraturan yang berlaku dan norma perdagangan internasional.

Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, menyatakan bahwa meskipun kebijakan ini memprioritaskan kepentingan nasional, kebijakan tersebut tetap memperhatikan hubungan baik dengan negara-negara sahabat dan tidak secara khusus menargetkan produk dari China.

Di sisi lain, Chief Economist CNBC Indonesia, Anggito Abimanyu, mengungkapkan bahwa banjirnya produk impor dari Tiongkok di Indonesia disebabkan oleh kelebihan pasokan dari negara tersebut, dan Indonesia mungkin satu-satunya negara yang kesulitan menghadapi dampak produk China. Anggito juga menilai langkah perlindungan terhadap produk lokal masih perlu diperbaiki.

Apakah langkah ini akan mampu menghidupkan kembali industri TPT Indonesia, atau justru akan memperparah ketergantungan pada investasi asing dan liberalisasi perdagangan?

Perdagangan Bebas dengan China: Ancaman bagi Ekonomi Indonesia

Sejak dimulainya CAFTA pada 2010, banyak pihak dan termasuk para ekonom sudah memperingatkan dan prediksikan bahaya bagi Indonesia jika terus bergabung dalam liberalisasi perdagangan ini. Namun pemerintah memilih untuk tetap bergabung. Bahkan sejak bergabung dengan CAFTA, Indonesia saat itu dalam keadaan defisit neraca dagang China hingga saat ini. Alhasil, negara terjebak dalam perdagangan bebas ini. Terlihat pada banjirnya produk impor, sehingga membuat industri lokal mati dan negara semakin bergantung kepada impor.

Saat ini Cina merupakan negara pengimpor terbesar bagi perdagangan Indonesia. Cina telah mencapai US$130 miliar. Berdasarkan data dari General Custom Administration of China pada 2022, khusus di komoditas TPT, sebanyak US$6,5 miliar ekspor TPT (HS 50-63) Cina ke Indonesia. Di sisi lain, berdasarkan BPS, angka impor TPT dari Cina hanya sebesar US$3,55 miliar. Artinya, ada sekitar US$3 milar yang masuk secara ilegal. 

Hal yang sangat berbahaya bagi negara. Memaksakan diri untuk terlibat dalam liberalisasi perdagangan, meskipun sebenarnya belum siap menghadapi berbagai tantangannya.

Terpaku pada Impor

Sejatinya sudah menjadi alarm bagi pemerintah dengan kondisi industri tekstil saat ini. Industri yang bergantung dengan impor sekaligus bersaing dengan produk impor. Dan yang lebih ironis barang yang diimpor adalah barang yang dikonsumsi, yang sebenarnya bisa di produksi di dalam negeri.  

Hal yang membuat produk China bisa sangat murah dibanding lokal, hal ini tidak lepas dari dukungan pemerintahnya sendiri. Baik dari perizinan, tenaga kerja hingga insentif untuk memudahkan ekspor. Yang terbaru, pemerintah China mengeluarkan aturan untuk membangun gudang di luar negeri dan mengekspansi bisnis e-commerce lintas batas atau kerap diistilahkan “cross-border”.

Menurut Kementerian Perdagangan China, industri e-commerce telah menjadi pilar utama dalam sektor perdagangan luar negeri negara tersebut. Kebijakan ini dirancang untuk membuka sumber pendapatan baru bagi perusahaan-perusahaan yang sebelumnya hanya berfokus pada pasar domestik. Selain menambah jumlah gudang dan fasilitas di luar negeri, pemerintah China juga dilaporkan akan memperbaiki manajemen data lintas batas dan mengoptimalkan jalur ekspor internasional.

Alhasil, rakyat indonesia akan menjadi pihak yang sang dirugikan dari hasil bergantung impor ini. Akan banyak pabrik yang di tutup dan PHK yang semakin masif. Semakin tinggi impor, maka harga barang pun akan naik. Dan akibatnya daya beli akan melemah dan akan semakin banyak rakyat dalam keadaan miskin.

Khilafah Islam, Solusi Kebangkitan Industri

Sejatinya Ketergantungan pasar domestik pada negara asing hanya akan membuka peluang untuk penjajahan ekonomi, sehingga Indonesia berisiko menjadi pengikut dalam perekonomian global. Indonesia harus bisa lepas dari dari penjajahan gaya baru yakni  perdagangan bebas (liberalisasi). Sehingga, menghasilkan solusi pada level kebijakan dan juga tataran teknis, yakni sebuah pandangan sebuah negara yang mandiri dan maju seperti yang diharapkan rakyat.

Negara yang menerapkan sistem kapitalisme hanya berfungsi sebagai regulator dan enggan untuk mengembangkan kebijakan yang dapat menyelamatkan industri, mencegah PHK, dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, negara ini lebih condong pada kepentingan kapital asing, termasuk dari Aseng, dengan membuka peluang kerja sama dalam perdagangan bebas.

Berbeda dengan penerapan aturan kapitalisme, sistem Islam Kafah di bawah institusi negara Khilafah memastikan hubungan luar negeri dijalankan dengan cermat dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan negara. Sebagai pengurus umat, negara Khilafah memiliki tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyat. Negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar setiap individu, yang mewajibkan pembangunan industri manufaktur secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain, untuk mempermudah rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Industri manufaktur dalam sistem Khilafah didasarkan pada Jihad, yang artinya Industri dibangun atas dasar pertahanan negara. Khilafah menekankan dua jenis industri utama yang menjadikannya negara mandiri dan berdikari, yaitu industri berat dan industri pengelolaan harta milik umum. Industri berat mencakup produksi mesin dan alat persenjataan, sementara industri pengelolaan harta milik umum melibatkan pengolahan sumber daya seperti minyak bumi, batu bara, barang tambang, mineral, dan segala sesuatu yang termasuk harta milik rakyat.

Khilafah tidak akan bergantung kepada negara lain dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, Untuk itu syariat telah menetapkan anggaran dari baitulmal yang terdiri dari tiga sumber utama:

Pertama, pendapatan dari fai dan kharaj, yang mencakup ganimah, kharaj, jizyah, dan sumber lain yang sejenis. Kedua, pendapatan dari pengelolaan aset umum, seperti minyak dan gas, listrik, pertambangan, perairan, sungai, mata air, hutan, padang rumput, dan tanah yang dipagari negara (hima). Ketiga, pendapatan dari sedekah, yang meliputi zakat mal, zakat perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat dari unta, sapi, dan kambing.

Ketiga sumber pendanaan ini sudah memadai untuk membiayai kegiatan pemerintahan Khilafah dan memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk dalam hal pembangunan industri. Selain itu, ada pula sumber-sumber tambahan seperti harta yang tidak sah dari pejabat dan pegawai negara, hasil usaha terlarang, denda, khumus, rikaz, harta tanpa ahli waris, harta orang murtad, serta dharibah.

Dengan demikian, Khilafah tidak akan membiarkan rakyatnya berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka. Sebaliknya, negara akan menyediakan pelayanan dan berbagai kemudahan untuk membantu mereka mencapai kesejahteraan hidup.

Wallahu’alam bissawab