-->

BBM Murah, Mustahil dalam Sistem Kapitalisme

Oleh : Ni Made Lestia Suari, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Pertamina kembali melakukan penyesuaian harga BBM non subsidi Pertamax (Ron 92) yang berlaku efektif mulai 10 Agustus 2024. Hal ini sejalan dengan bunyi pengumuman Pertamina pada Jumat, 9 Agustus 2024 yaitu “PT Pertamina (Persero) melakukan penyesuaian harga BBM umum dalam rangka mengimplementasikan keputusan menteri (kepmen) ESDM no.245.k/mg.01/no.62k/12/MEM/2020 sebagai perubahan atas kepmen no.62k/12/MEM/2020 tentang formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis BBM umum jenis bensin dan minyak solar yang disalurkan melalui stasiun pengisian BBM umum.”

Melalui aturan ini harga Pertamax yang semula Rp12.950/liter naik menjadi Rp13.700/liter resmi ditetapkan, akan berbeda harga di setiap wilayah, harga tersebut berlaku di DKI Jakarta dan beberapa wilayah di pulau Jawa. Sebelumnya, pada 1 Agustus Pertamina telah menaikan harga BBM non subsidi jenis Pertamax turbo, Pertamax green 95, Pertamax dex dan dexlite

Kenaikan BBM sudah dipandang lumrah oleh masyarakat, jika awalnya rakyat sering dikagetkan dengan kenaikan BBM kini sudah tidak lagi. Rakyat memandang itu hal yang biasa. Meski kali ini yang naik adalah BBM non subsidi namun tetap akan berdampak pada ekonomi rakyat, karena perusahaan-perusahaan besar pasti menggunakan BBM non subsidi sedangkan sebagian kebutuhan masyarakat merupakan hasil produksi perusahaan-perusahaan besar tersebut. 

Masalah di atas, tentu tidak bisa lepas dari konsep liberalisme kapitalisme yang diterapkan di negara ini. Liberalisme pada sektor migas sangat membuka peluang untuk pemain asing berpartisipasi dalam bisnis migas. Liberalisasi sektor migas merupakan konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme di negara ini.

Liberalisasi sejatinya hanya berpihak kepada perusahaan tambang migas asing dan para sekutunya di dalam negeri, mereka ingin berjualan migas di negeri ini yang notabene cukup mumpuni dari segi jumlah SDM. Sungguh ironi mengingat sumber migas itu sendiri sebenarnya berasal dari negeri kita, tapi harganya menyesuaikan dengan keinginan swasta dan asing yang merupakan pendatang di negeri ini. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai penjajahan ekonomi.

Tentunya, negara yang menerapkan kapitalisme sangat mustahil untuk memberikan harga murah untuk BBM apalagi secara cuma-cuma kepada rakyat. Padahal sejatinya segala yang terkandung dalam bumi ini bukanlah milik negara sehingga pemerintah dengan bebas menyerahkan pengelolaannya kepada siapa saja yang dikehendakinya. Migas sebagai bahan baku BBM dalam jumlah yang berlimpah pada hakikatnya adalah milik rakyat sehingga rakyat baik kaya maupun miskin berhak mengaksesnya dengan mudah dan murah. 

Namun negara yang memiliki paradigma kapitalis selalu mempertimbangkan untung ruginya dalam menetapkan kebijakan, hubungan keduanya tidak lebih dari sekadar penjual dan pembeli. Negara beserta pihak swasta yang mengelola BBM berperan sebagai penjual yang selalu ingin mencari keuntungan dari hasil jualan yakni BBM kepada pembelinya yakni rakyat. Mereka terus menerus mencari cara bagaimana agar mendapat keuntungan yang besar dari bisnis ini termasuk tadi menetapkan harga jual yang tinggi. Peran negara hanya sebatas regulator yang abai terhadap rakyatnya, tidak ada peran negara sebagai pelayan bagi rakyat. 

Berbeda dengan pengelolaan tambang pada negara Khalifah. Dalam pandangan Khilafah Islam, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah dan menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ammah) dan harus dikelola oleh negara, yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. 

Hal tersebut berdasarkan hadits Rasulullah SAW, “Sungguh dia (Abyadh bin hammal) pernah datang kepada Rasulullah SAW. Dia lalu meminta kepada beliau konsensi atas tambang garam. Beliau lalu memberikan konsensi tambang garam itu kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh berlalu, seseorang dari majelis tersebut berkata kepada Rasulullah SAW. “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberi dia harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah) . Mendengar itu Rasulullah SAW lalu menarik kembali pemberian konsensi atas tambang garam itu dari Abyadh” ( HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Berdasarkan hadits tersebut, tambang apa pun yang menguasai hajat hidup orang banyak dan atau yang jumlahnya berlimpah sebagaimana tambang migas haram hukumnya dimiliki oleh pribadi atau swasta apalagi oleh pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban dalam mengelolanya, tentu hasilnya akan dikembalikan lagi kepada rakyat untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. 

Pasalnya, dalam Islam, Khalifah adalah pelayan seluruh rakyat, baik rakyat kaya maupun miskin. Oleh karena itu, klaim pemerintah bahwa subsidi BBM selama ini salah sasaran karena hanya dinikmati oleh orang kaya adalah alasan yang bertentangan dengan Islam. Ini dikarenakan baik rakyat kaya maupun miskin memiliki hak yang sama untuk menikmati sumber daya alam milik umum yang menguasai hajat hidup orang banyak. 

Adapun distribusi BBM yang dikelola negara, negara boleh memberikannya secara gratis atau menetapkan harga produksi, atau menetapkan harga jual murah yang terjangkau masyarakat dengan keuntungan tertentu. Namun sekali lagi, hasil dari keuntungan ini akan dikembalikan kepada rakyat. Ini karena negara hanya mewakili rakyat untuk mengelola SDA tersebut, bukan untuk mencari keuntungan. Demikianlah pengelolaan BBM dalam khilafah yang sangat jauh dari kezalimaan.[]