-->

Demam Labubu, Potret Buram Generasi di Sistem Kapitalis

Oleh : Ummu Sumayyah

Akhir-akhir ini masyarakat dilanda demam boneka Labubu yang viral setelah diunggah oleh Lisa BLACKPINK. Padahal ternyata, boneka Labubu memiliki latar belakang yang menyeramkan. Labubu diciptakan oleh Kasing Lung, seorang ilustrator asal Hong Kong yang memulai kolaborasinya dengan How2work di Hong Kong.

Kasing Lung mengungkapkan bahwa dirinya terinspirasi oleh dongeng Nordik serta budaya Viking dan Skandinavia kuno dalam menciptakan karakter Labubu.

Fakta menyeramkan di balik boneka ini diungkapkan oleh seorang konten kreator TikTok bernama Welma. Melalui akun TikTok-nya, @welmajalena, pada Sabtu, 21 September 2024, Welma menyebutkan bahwa Labubu kemungkinan besar terinspirasi dari Taotie, sosok monster serakah dalam mitologi Tiongkok.

“Dalam mitologi Tiongkok, Taotie adalah monster serakah yang suka makan, dipercaya akan memakan apa saja yang dilihatnya,” ujar Welma dalam unggahannya.
“Itu sebabnya, Labubu digambarkan dengan kepala dan mulut yang besar,” tambahnya.
Taotie memang dikenal sebagai simbol keserakahan yang tak pernah terpuaskan. (Bantentv.com, 23/9/2024)

Tokoh publik merupakan sentral perhatian masyarakat. Segala yang terjadi pada mereka pasti menjadi buah bibir, apa yang mereka lakukan pasti ditiru, apa yang mereka punya banyak pula yang ingin memilikinya. Alhasil, tanpa melihat latar belakang dari benda tersebut pun mereka rela mati-matian memilikinya. Yang penting tidak ketinggalan tren.

Tuntutan tren dan gaya hidup inilah yang kemudian mempengaruhi perwujudan perilaku seseorang, atau biasa disebut dengan kata FOMO. FOMO atau Fear Of Missing Out adalah rasa takut merasa “tertinggal” karena tidak mengikuti aktivitas tertentu. Sebuah perasaan cemas dan takut yang timbul di dalam diri seseorang akibat ketinggalan sesuatu yang baru, seperti berita, tren, dan hal lainnya.

Dari sisi psikologis, fenomena orang-orang yang membeli Labubu ini bisa dikatakan sebagai Fear of Missing Out (FOMO) karena terjadi secara tiba-tiba atau singkat. Selain itu, dampak yang terjadi dirasakan secara luas. Terlihat dari masyarakat yang berbondong-bondong membeli boneka Labubu.

“Ketika kita berbeda dengan lingkungan sosial kita akan menciptakan perasaan yang tidak aman dan tidak nyaman. Kita sebagai makhluk sosial selalu ingin mengikuti apa yang kelompok kita lakukan (membeli Labubu),” ujar Psikolog Gita Aulia Nurani. FOMO ini juga bisa berujung ke dampak negatif karena mereka harus mengikuti tuntutan dari lingkungan sosial. Padahal menurut Gita, seharusnya orang-orang membeli barang karena memang membutuhkan. Sedangkan Labubu ini bisa dikatakan sebagai kebutuhan tersier, namun orang-orang FOMO untuk membelinya.

Ketika mayoritas sudah merasa FOMO, maka akan ada perasaan tidak aman dan nyaman yang membuat mereka selalu butuh validasi sosial. Dengan kata lain, orang-orang membutuhkan validasi sosial dengan membeli boneka Labubu. (kumparan.com, 23/9/2024)

Generasi FOMO muncul akibat arah pendidikan yang salah di sistem sekuler. Yaitu pendidikan yang tidak disandarkan pada pembentukan karakter seseorang menggunakan dasar agama. Agama adalah petunjuk hidup yang memberikan standar baik buruk atau benar salah.

Pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi saat ini tidak dibekali dengan akidah yang kuat, tidak dididik untuk takut hanya kepada Allah, tidak dibentuk menjadi insan yang taat pada seluruh aturan Allah, dan menjauhi seluruh larangan Allah. Akhirnya muncul perilaku-perilaku yang tidak sesuai syariat.

Untuk itulah hendaknya sistem pendidikan saat ini menyandarkan kurikulum pendidikannya berlandaskan akidah Islam, yang akan menghasilkan peserta didik yang kokoh keimanannya dan mendalam pemikiran Islamnya (tafaqquh fiddin). Alhasil akan terbentuk karakter peserta didik yang bertakwa kepada Allah Swt, menjalankan seluruh syariat Islam dengan penuh kesadaran, tanpa paksaan.Dan yang juga cukup penting, generasi produk pendidikan Islam tidak akan terpengaruh dengan segala macam tren dan lifestyle yang melenakan. 

Wallahu a’lam bishshawab