Fatamorgana Pembangunan Desa Pada Sistem Kapitalis
Oleh : Endang Setyowati
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet mengatakan bahwa pembangunan desa memiliki peran sentral dalam mengurangi kesenjangan pembangunan antarwilayah.
"Kedua, pengurangan kesenjangan pembangunan antarwilayah, dan antara desa dan kota. Pembangunan desa menjadi penyeimbang untuk memangkas jurang perbedaan antara kehidupan di perkotaan dan pedesaan," ujar Bamsoet dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.
Hal itu disampaikannya dalam acara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI bersama Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (MN KAHMI), di Kompleks, Parlemen, Senayan, Jakarta.
Bamsoet menyebut bahwa pembangunan desa juga memiliki peran sentral dalam upaya mengentaskan kemiskinan.
(Antara, 31/7/2024).
Pembangunan desa disebut sebagai kunci pemerataan pembangunan yang konon katanya akan membawa kesejahteraan pada rakyatnya.
Apakah benar demikian?
Nyatanya masih banyak kita jumpai didunia maya dalam negeri bahwasanya ada anak-anak yang berangkat sekolah tengah menyeberangi sungai dengan bergelantungan ditali.
Ada juga sekolah yang tengah mengadakan upacara bendera dalam keadaan tanah becek digenangi air, sekolah yang atapnya jebol dan ada juga jalan-jalan yang dipenuhi lubang. Masyarakat sekitar menjulukinya dengan wisata "jeglongan sewu".
Dengan kondisi tersebut, apakah orang tua dan masyarakat sekitar diam saja melihat kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut? Nyatanya ketika hanya individu maupun masyarakat sekitar yang bergotong royong memperbaiki jalan, namun hal itu hanya bertahan sebentar saja dikarenakan memang hanya dari swadaya masyarakat dengan dana seadanya, sehingga mudah rusak lagi.
Kejadian diatas tidak hanya terjadi pada satu daerah saja, nyatanya hal tersebut banyak terjadi pada daerah pedalaman. Sehingga program yang dahulu di gembor-germborkan yaitu "membangun desa dari pinggiran" hanyalah suatu program saja. Walaupun nyatanya ada program dana desa namun belum menyentuh akar masalahnya. Sehingga belum bisa membangun desa dengan maksimal alih-alih terwujud pemerataan ekonomi desa.
Sangat miris memang negeri kita yang kaya raya loh jinawi, bulan ini memperingati hari kemerdekaannya yang ke 79 namun masih banyak rakyatnya yang stanting, tunawisma, pengangguran bahkan ada yang mati dalam keadaan lapar.
Namun di sisi lain, kita disajikan dengan terkuaknya kasus korupsi hingga 271 triliun, belum lagi adanya berita yang akan menghabiskan dana
87 milyar hanya untuk memperingati hari kemerdekaan yang hanya sebagian kecil rakyat yang menghadirinya.
"Tahun ini kami siapkan anggaran Rp 87 miliar untuk kegiatan perayaan 17-an di IKN," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatawarta dalam konferensi pers APBN Kita, Jakarta, Selasa, (13/8/2024).(CNBCIndonesia,13/8/2024).
Beginilah realita ketika kita hidup pada sistem kapitalisme, sehingga rasa empati kepada rakyatpun telah hilang.
Pengelontoran dana desa yang telah berjalan, nyatanya belum mampu untuk mengentaskan kemiskinan. Karena dari data Badan Pusat statistik (BPS) per Maret 2024 mencatat persentase angka kemiskinan di desa mencapai 11,79% teryata jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan perkotaan yang besarnya 7,09%.
Maraknya urbanisasi yang terjadi menjadi bukti bahwa adanya kesenjangan ekonomi antara di kota dan di desa. Namun bukan berarti di kota tersebut lebih menjajikan ekonominya dengan kata lain di kota lebih sejahtera dibandingkan di desa. Jika di kota, setidaknya akses terhadap fasilitas hidup lebih mudah didapat.
Berbagai upaya untuk membangun desa agar masyarakatnya sejahtera sehingga tidak terjadi urbanisasi yang tinggi, maka dibentuklah Kemendes PDTT (Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi) hingga kebijakan dana desa tersebut. Namun ternyata, hingga saat ini jumlah desa tertinggal masih besar. Tercatat data dari Kemendes PDTT pada 2023, jumlah desa tertinggal masih 7.154 dan desa sangat tertinggal sebanyak 4.850.
Sedangkan dana desa yang telah digelontorkan sejak periode 2015-2024 total anggaran desa yang telah disalurkan mencapai Rp609 triliun.
Ketika kita melihat pengelontoran dana desa dalam jumlah yang begitu besar, harusnya bisa meniadakan desa yang sangat tertinggal namun nyatanya justru sebaliknya. Seharusnya dana besar tersebut bisa untuk membangun fasilitas desa semisal jalan dan jembatan maupun fasilitas umum lainnya.
Semua itu nyatanya tidak terlepas dari adanya korupsi di lingkungan tersebut.
Menurut ICW(Indonesia Corruption Watch) mengatakan korupsi di desa angkanya cenderung meningkat, pada tahun 2022 setidaknya ada 155 kasus rasuah di desa dengan 252 tersangka. Jumlah tersebut ternyata setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi pada tahun 2022.
Dalam sistem Islam, maka pembangunan akan disamaratakan yang bermaksud ketika sebuah fasilitas ada di kota, maka di desapun ada. Dan negara menjamin tiap-tiap rakyatnya terpenuhi akan kebutuhan hidupnya yang meliputi: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan.
Pembangunanpun bersifat sentralistik, bahwasanya semua pembangunan dalam pantauan pusat. Sehingga pemerintah pusat dapat mengetahui segala sesuatu yang menjadi kebutuhan di suatu daerah dan yang menjadi surplus daerah tersebut.
Sebagai contoh, dahulu ketika ada musim paceklik dimasa khalifah Umar bin Khattab beliau segera mencari daerah yang surplus guna memenuhi kebutuhan wilayah yang sedang dilanda paceklik.
Maka dari itu, pembangunan desa tidak didasarkan pada pendapatan daerah tersebut, namun disesuaikan dengan kebutuhannya. Jika daerah tersebut minim Sumber Daya Alamnya maka pemerintah pusat akan menyuntikkan dana sesuai kebutuhannya. Begitu juga sebaliknya, ketika suatu daerah mempunyai Sumber Daya Alam yang melimpah maka akan memberikan kepada daerah yang kekurangan.
Karena di dalam Islam Sumber Daya Alam akan dikelola oleh negara, seperti sabda Rasulullah saw:
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Sehingga pendapatan dari SDA tersebut akan masuk ke baitulmal dan akan digunakan untuk kemaslahatan rakyatnya dalam bentuk fasilitas maupun barang siap konsumsi, dalam kata lain pembangunan tidak hanya fokus pada kota saja namun desapun akan mendapatkan perhatian yang sama.
Begitulah ketika kita saat ini berada dalam sistem kapitalisme, pembangunan desa seolah seperti fatamorgana di tengah padangpasir. Seolah ada, namun nyatanya tidak ada.
Maka sudah sepatutnya kita menerapkan sistem Islam secara kaffah agar bisa membangunan desa sehingga tidak ada ketimpangan ekonomi antara di desa dan di kota, yang akhirnya akan menekan laju urbanisasi.
Wallahu a'lam bi shawab
Posting Komentar