-->

Ibu Jual Bayi, Naluri Keibuan Telah Mati

Oleh : Ledy Ummu Zaid
 
Hati ibu mana yang kuasa menahan rindu ketika berpisah dengan anak yang dikandungnya selama sembilan bulan? Rasanya seperti tidak ada, tetapi hari ini hal tersebut nyata adanya, dan mungkin telah menjamur di masyarakat. Banyak ibu yang rela berjauhan dengan anaknya sendiri, bahkan tak sedikit juga yang tega menghabisi nyawa anaknya. Inilah realita keluarga yang terjadi di masyarakat hari ini. 
 
Seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya seharga Rp 20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Para pelaku tersebut dijerat dengan UU No 35 tahun 2014 dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Dilansir dari laman medan.kompas.com (14/08/2024), saat ini keempat pelaku masih menjalani proses penyelidikan di Polrestabes Medan. Pihak yang berwajib tengah mendalami kasus ini guna mencari tahu sudah berapa kali pelaku beraksi dan apakah ada pelaku lainnya.
 
Sedangkan, dilansir dari laman metro.tempo.co (16/08/2024), Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Medan, Ajun Komisaris Madya Yustadi mengatakan bayi tersebut merupakan anak kandung dari anak salah satu pelaku yang ditangkap, kemudian dijual seharga Rp 20 juta. Adapun penyerahan uang dilakukan bertahap, yaitu pertama Rp 5 juta, dan kedua Rp 15 juta. Keempat pelaku yang ditangkap tersebut berperan sebagai penjual, pembeli dan perantara. Berdasarkan pengakuan sang ibu bayi, ia mengaku menjual bayinya karena ekonomi. Di satu sisi, si pembeli mengaku tidak punya anak, dan bersedia membesarkan bayi yang dibelinya seperti anak sendiri. 
 
Miris, hari ini banyak ibu yang ‘kena mental’ dan berperilaku di luar nalar. Hanya karena impitan ekonomi, seorang ibu hilang akal sehatnya sehingga tega menjual bayinya dengan harga cukup murah. Tampak jelas bahwa telah mati naluri keibuannya. Lantas, bagaimana fenomena jual-beli bayi ini bisa terjadi? Dimana ayah sang bayi? Apakah ia tidak mampu memberi nafkah keluarga? Itulah sederet pertanyaan yang muncul di pikiran kita ketika mendengar berita ini. Faktanya, memang kebanyakan keluarga hari ini diuji dengan kondisi ekonominya yang tidak stabil. Hal ini tak lain merupakan persoalan sistemik dimana seorang ibu tidak mungkin serta merta ingin menjual darah dagingnya, tetapi pasti ada faktor-faktor pendorong yang menyebabkan hal ini sampai terjadi.
 
Di antaranya, supporting sistem yang dimiliki seorang ibu tidak berjalan dengan baik hari ini. Banyak dari mereka yang memiliki masalah ekonomi, seperti suami tidak mampu memenuhi nafkah keluarga, tidak memiliki pekerjaan, hingga tidak memiliki rasa tanggung jawab terhadap keluarganya. Kemudian, masyarakat sekitar yang individualistis dan tidak peduli terhadap persoalan keluarga atau tetangga juga dapat menjadi faktor pendukung seorang ibu nekat menjual bayinya. Adapun yang tak kalah penting dan sangat krusial adalah peran negara dalam mengatur sistem ekonomi, apakah rakyatnya sudah sejahtera. 
 
Abainya negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat dapat terlihat dari penyediaan lapangan kerja bagi para suami. Hal ini erat kaitannya dengan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini, yaitu sistem kapitalisme sekuler. Sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, upah yang tidak sesuai hingga tidak adanya jaminan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau bagi rakyat semakin menonjolkan ciri khas ekonomi kapitalisme yang bobrok. Di sisi lain, gagalnya sistem pendidikan dalam membentuk pribadi yang takwa juga berdampak pada tampilan masyarakat hari ini yang hanya mengunggulkan nilai materi dan duniawi belaka. Maka tak heran, kebanyakan muslim hari ini seolah tidak takut akan dosa-dosa atas maksiat yang diperbuat.
 
Berbanding terbalik dengan sistem Islam yang akan membentuk setiap muslim menjadi hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang bertakwa. Melalui negara yang berperan sebagai raa’in atau pemelihara, negara akan menjamin kesejahteraan rakyat di dunia dan akhirat, karena telah menjadi kewajiban negara untuk mewujudkan peradaban manusia yang adil dan benar sesuai syariat Islam.  “Sesungguhnya seorang imam itu [laksana] perisai. Dia akan dijadikan perisai, dimana orang akan berperang di belakangnya, dan digunakan sebagai tameng. Jika dia memerintahkan takwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dan adil, maka dengannya, dia akan mendapatkan pahala. Tetapi, jika dia memerintahkan yang lain, maka dia juga akan mendapatkan dosa/adzab karenanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
 
Adapun dalam Islam, sistem ekonomi bertujuan mensejahterakan rakyat melalui berbagai mekanisme, termasuk menyediakan banyaknya lapangan pekerjaan. Kemudian, pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal oleh negara secara mandiri alias tidak diberikan kepada swasta maupun asing mendukung penerimaan hasil yang maksimal sehingga dapat dikembalikan kepada seluruh rakyat. Dengan sistem yang benar sesuai hukum syara’, upah akan diberikan kepada para pekerja sesuai jenis pekerjaan yang dilakukan, apakah ringan atau berat pasti mendapat imbalan yang sesuai. Oleh karena itu, laki-laki akan dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan keluarga dan tidak stres memikul beban kehidupan.
 
Di sisi lain, Islam yang hadir tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai ideologi yang mengatur kehidupan masyarakat tentu memiliki sistem pendidikan yang unggul. Adapun tujuan pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Islam pada setiap individu rakyat. Sudut pandang kehidupan yang senantiasa berpegang pada hukum halal-haram dan bertujuan hanya meraih ridho Allah sunhanahu wa ta’ala semakin mendukung terciptanya masyarakat yang Islami. Adanya media yang mengedepankan kejujuran juga berperan mendukung terbentuknya keimanan yang kokoh bagi kaum muslimin. Negara tentu akan mengontrol informasi apa saja yang dapat diakses rakyat dan tidak segan untuk menutup segala celah kemaksiatan di tengah-tengah umat. 
 
Penerapan syariat Islam secara kaffah atau menyeluruh tentu akan mewujudkan optimalnya fungsi keluarga. Sang ayah dapat bertanggung jawab menunaikan kewajibannya mencari nafkah, tanpa harus memikirkan lagi beratnya jaminan pendidikan dan kesehatan karena sudah ditanggung oleh negara atau daulah. Kemudian, sang ibu yang memiliki peran penting sebagai ummu wa robbatul bait tentu akan dapat fokus mendidik dan merawat anak-anaknya. Masyarakat yang saling amar ma’ruf nahi munkar semakin mendukung terciptanya peradaban yang mulia. Hal ini hanya akan ditemui dalam Khilafah Islamiyah atau pemerintahan Islam. Dengan penerapan aturan Allah subhanahu wa ta’ala secara menyeluruh di tengah-tengah umat, kasus seperti ibu jual bayi yang menggambarkan naluri keibuannya telah mati sulit ditemukan bahkan nihil terjadi. 

Wallahu a’lam bishshowab.

Referensi:
https://metro.tempo.co/read/1904587/kesulitan-ekonomi-ibu-di-medan-jual-bayi-yang-baru-dilahirkannya-rp-20-juta
https://medan.kompas.com/read/2024/08/14/110416778/kesulitan-ekonomi-ibu-di-medan-menjual-bayinya-rp-20-juta
https://www.mahadsyarafulharamain.sch.id/kalau-bukan-khilafah-siapa-yang-akan-melindungi-umat/
https://www.youtube.com/watch?v=vTnhWIwQjyw