-->

Ilusi Ketahanan Pangan di Negeri Kapitalis

Oleh : Ummu Utsman

Dikutip dari mediaindonesia.com, Presiden Joko Widodo memaparkan anggaran ketahanan pangan di Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau RAPBN 2025 hanya sebesar Rp124,4 triliun. Pengamat Pertanian Syaiful Bahari melihat nominal itu sama sekali tidak mencerminkan adanya perencanaan strategis untuk penguatan sektor pertanian nasional. “Seharusnya pemerintah memperjelas apa yang dimaksud dengan ketahanan pangan, apakah dengan jalan peningkatan produktivitas atau penguatan cadangan pangan nasional atau memperbesar bantuan pangan seperti yang terjadi di 2023-2024,” ucap Syaiful saat dihubungi, Jumat (16-08-2024).

Mirisnya lagi, produktivitas pertanian yang merupakan salah satu satu kunci keberhasilan, anggarannya dipangkas hingga hampir 50% untuk tahun 2025. Pada 2024, anggaran untuk Kementan sebesar Rp14 triliun, tetapi pada 2025 merosot tajam menjadi hanya Rp8 triliun. Padahal di tahun 2015 saja anggaran untuk Kementan saja saat itu sudah mencapai Rp34 triliun. Namun setelahnya, setiap tahun anggarannya dipangkas. Melihat hal ini sepertinya di Konoha tak ada pengelolaan yang serius, termasuk kebijakan terkait ketahanan pangan. Kebijakan kontraproduktif seakan biasa terjadi.

Kebijakan Kapitalistik Biang Keladi

Berbagai kebijakan terkait ketahanan pangan memang dilakukan di negeri ini. Mulai dari praproduksi (subsidi pupuk, bantuan alat dan mesin pertanian, bantuan benih ikan dan pangan, hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat), produksi (food estate, pembangunan jaringan irigasi, serta pengembangan kawasan padi dan jagung), distribusi dan pemasaran (pembangunan pelabuhan, jalan tol, kereta api, usaha tani, cadangan pangan nasional, stabilitas pasokan dan harga pangan, revitalisasi pasar rakyat, hingga KUR UMKM), sampai sisi konsumen (kartu sembako, pemberian makan tambahan balita berisiko stunting, hingga Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi janji Prabowo saat kampanye Pilpres), namun semuanya gagal.

Asuhan kapitalisme menjadi sebab kegagalan kebijakan pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sistem politik ekonomi pangan yang bercorak kapitalistik itu telah jelas dan terbukti menjadi pangkal ketahanan pangan sulit terwujud. Negara hanya sebatas menjadi regulator dan fasilitator. Realisasinya, negara menjadi tidak memiliki tanggung jawab untuk mengurus urusan rakyatnya dan menyerahkan berbagai urusan rakyat pada korporasi. Jika sudah demikian, maka orientasi kebijakan bukan lagi pada kemaslahatan rakyat melainkan keuntungan perusahaan.

Penguasa dalam sistem kapitalisme demokrasi ini bekerja bukan untuk rakyat, tetapi untuk oligarki. Tidak heran, berbagai kebijakan akan menguntungkan segelintir elit dan menzalimi rakyat banyak.

Memprihatinkan. Saat ini fokus kebijakan ketahanan pangan ternyata malah pada aspek konsumsi. Program Makan Bergizi Gratis, kartu sembako, dan lainnya, implementasi realisasinya begitu rumit. Adaptasinya pun sulit dan berpotensi menjadi bancakan korupsi. Politik pragmatis berlalu lalang bagai debu beterbangan. Kondisi ini menjadi makin buruk akibat adanya paradigma bisnis ala kebijakan kapitalistik.

Pembangunan infrastruktur di negeri ini hanya untuk mendukung distribusi yang berfokus pada kemaslahatan korporasi. Buktinya, pembangunan infrastruktur lebih banyak di perkotaan. Padahal sebagian besar tanaman pangan ditanam di perdesaan yang jauh dari akses pasar. Dipersulit dengan subsidi BBM yang semakin minim, berdampak pada distribusi yang makin sulit dan mahal.

Sungguh sstem ekonomi kapitalisme telah menyerahkan faktor harga pada mekanisme pasar. Akibatnya memicu munculnya korporasi-korporasi raksasa yang bermodal besar. Seluruh rantai pasok mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi dikuasai oleh korporasi-korporasi besar. Praktik oligopoli pada beras dan gula, misalnya, telah menyebabkan harga jadi tidak stabil dan rakyat pun kesulitan dalam mengaksesnya.

Belum lagi kebijakan impor di negeri ini lebih disukai daripada meningkatkan produktivitas pertanian. Kebijakan saat ini, walau sudah ada program pengembangan sawah, tetapi realitas alih fungsi lahan pertanian menjadi hunian dan industri makin banyak dilakukan. Atas nama proyek strategis nasional (PSN), lahan sawah rakyat harus rela digusur.

Sudahlah lahan pertanian terus dialihfungsikan, food estate pun terbukti gagal memenuhi kebutuhan pangan nasional. Kebijakan impor yang terus terjadi, sejatinya akibat kuatnya para importir menyetir kebijakan negara. Semua ini makin nyata mengikis kedaulatan pangan negara yang akan berimbas pada ketahanan pangan yang diharapkan.

Bagai mimpi di siang bolong, ketahanan pangan seakan hanya sebuah harapan yang jauh dari jangkauan. Butuh paradigma pengganti yang mampu mengganti kebijakan yang tak pasti.

Paradigma Politik Pangan dalam Islam

Islam memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mewujudkan ketahanan pangan. Sistem ekonomi politik Islam akan mampu mewujudkan ketahanan pangan bahkan menjamin kesejahteraan rakyatnya karena tujuan utamanya adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat. Sedangkan negara adalah peran utama dalam seluruh urusan rakyat. Islam mewajibkan negara untuk mengurusi umatnya. Sabda Rasulullah Muhammad SAW

“Imam (khalifah) adalah ra’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” 
(HR Muslim dan Ahmad).

Hal ini meniscayakan kehadiran negara dalam mengurus urusan rakyatnya sehingga negara akan hadir dan berperan sentral mengurus ketahanan pangan dari mulai hulu hingga hilir.

Dalam sistem Islam, pada aspek produksi negara akan menjamin ketersediaan pasokan berbasis produksi dalam negeri untuk konsumsi dan cadangan pangan negara. Demikian juga dalam kebijakan intensifikasi (misalnya penyaluran benih berkualitas), negara akan mandiri memenuhinya. Jikalau swasta terlibat, keterlibatannya hanya sebatas teknis disertai dengan pengawasan yang ketat dari pemerintah. Dengan begitu, para petani bisa mendapatkan benih berkualitas. Sementara itu untuk kebijakan ekstensifikasi, negara akan mengelola SDA secara mandiri agar distribusi air untuk pertanian lebih efisien. Selain itu program penyuluhan pertanian dan kesejahteraan petani akan dilakukan dengan serius. Negara akan menjaga agar tidak ada lagi alih fungsi lahan pertanian sesuai kehendak korporasi, terlebih jika lahan tersebut masih produktif.

Begitu juga dengan hukum pertanahan, dalam sistem Islam negara menjamin seluruh lahan pertanian berproduksi secara optimal dan kemudahan kepemilikan tanah akan ditegakkan. Dengan begitu, para petani akan mudah memiliki tanah menurut mekanisme ihya’ al-mawat, yaitu syariat dalam memakmurkan dan memanfaatkan bumi untuk kepentingan kemaslahatan manusia. Rasulullah saw. bersabda,

“Siapa saja yang telah menghidupkan sebidang tanah mati, maka tanah itu adalah hak miliknya.” (HR Bukhari).

Dalam sistem Islam, pada aspek distribusi dan pemasarannya, negara akan mengawasi muamalah antara penjual dan pembeli agar tidak terjadi kecurangan dan terwujud harga yang wajar. Negara juga akan melarang penimbunan, riba, kartel, dan menegakkan sistem sanksi Islam yang menjerakan. Begitu pula pembangunan infrastruktur dalam rangka menunjang distribusi, dilakukan berdasarkan kemaslahatan rakyat, bukan korporasi. Pada aspek konsumsi, negara akan memastikan pangan pokok bisa diakses oleh semua warga, baik itu dalam bentuk subsidi maupun bantuan. Fokus kebijakan ini pada kesejahteraan rakyat. Negara memastikan pendataan bagi keluarga yang tidak memiliki ayah/suami yang bisa mencari nafkah tersebab sakit/cacat/meninggal dunia, juga tidak memiliki kerabat yang bisa membantu. Mereka termasuk kategori warga yang akan mendapatkan bantuan dari negara.

Sedangkan untuk kebijakan impor, negara akan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyat. Jangan sampai produktivitas pertanian menurun dan rakyat dirugikan. Negara tidak akan melakukan kerjasama dagang dengan negara kafir harbi fi’lan, atau negara kafir yang telah jelas memusuhi kaum muslim, seperti AS, Cina, dan entitas zionis Yahudi.

Namun demikian, kebijakan impor hanya akan diambil jika situasi genting saja seperti saat paceklik. Hal ini karena kebijakan yang ditetapkan sudah mampu meningkatkan produktivitas pertanian sehingga kebutuhan pangan di dalam negeri akan terpenuhi. Dengan aspek distribusi yang diawasi penuh oleh negara, niscaya ketahanan pangan akan mudah terwujud melalui sistem politik ekonomi Islam.

Sungguh, sistem ekonomi politik yang kapitalistik telah terbukti menyulitkan terwujudnya ketahanan pangan sebab negara abai dan menyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Berbeda dengan negara dalam sistem Islam. Negara memiliki peran utama dalam mengurusi seluruh urusan umat.

Dengan demikian, seluruh kebijakan yang ditetapkan akan berfokus pada kemaslahatan umat. Dan itu hanya bisa terwujud dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyyah yang mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan secara hak. Bukan ilusi. Bukan sekadar mimpi.

Wallaahu a’lam bisshawaab.